• November 22, 2024

Kawal kaum gay dan waria di Ciamis

BANDUNG, Indonesia – Selama tiga tahun, Anggi mencurahkan sebagian besar waktunya untuk melakukan pendampingan terhadap teman-teman gay.

Pemuda berusia 25 tahun ini merupakan petugas lapangan di Wisma, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus menangani HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Tugas Anggi yang juga seorang gay dan tak mau nama lengkapnya disebutkan, adalah mengedukasi masyarakatnya tentang cara mencegah penularan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh tersebut.

Pekerjaan itu tidak mudah. Ia harus ekstra sabar menghadapi teman-temannya yang secara psikologis merasa tersisih, terabaikan, dan terpojok.

“Jika Anda tergabung dalam kelompok gay, Anda harus berhati-hati karena mereka sensitif. Kalau salah ngomong, bisa jadi meluap-luap. Mereka suka mengatakan, ‘Apa yang sedang kamu lakukan menjaga nyawa orang, nyawa lagi adalah benar lelang (Apakah hidupmu sudah baik-baik saja)’?” kata Anggi saat ditemui Rappler pada 16 Maret lalu di Wisma Sekretariat LSM di Jalan Sadananya, Kabupaten Ciamis.

“Jadi kamu harus berhati-hati. “Mereka merasa itu semua memalukan dan bisa membuat malu orang tua bagi yang belum terbuka seperti saya,” ujarnya.

Meski seorang gay, Anggi harus memahami perbedaan karakter teman-temannya. Dengan begitu ia bisa menyampaikan bagaimana cara menghindari penyakit HIV/AIDS.

“Pencegahannya sekarang mudah. Kalau mau tes murah, tersedia juga kondom. “Ajari saja mereka tentang hubungan yang sehat,” ujar pria yang beberapa kali menjuarai kompetisi modeling di Ciamis ini.

Di Ciamis, Anggi mendampingi sekitar 600 kaum gay. Dari jumlah tersebut, sekitar 15 orang terinfeksi HIV.

“Saya membimbing dan menawarkan dukungan kepada mereka yang positif. Saya kebetulan salah satunya teman (layanan pertemanan ODHA), saya mendapat pelatihan,” kata Anggi.

‘Kaum gay dan transgender paling rentan terhadap HIV/AIDS’

Berbeda dengan Anggi, petugas lapangan Wisma LSM lainnya, Wine Sanjaya, mendampingi kelompok transgender tersebut.

Wine bergabung dengan petugas lapangan pada tahun 2013 setelah sekian lama hidup di jalanan. Ia merasa terpanggil untuk terlibat dalam penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di kelompoknya, apalagi setelah dua temannya meninggal karena tertular.

“Bagi kelompok lesbian, perilaku seksual mereka kurang berisiko dibandingkan GBT.”

“Saya menjelaskan kepada teman-teman saya bagaimana cara menghindari HIV. Banyak teman saya yang masih nongkrong (jualan seks, penyelamatan) karena kebutuhan ekonomi. Saya bilang pencegahan nomor satu. “Jangan lupa menggunakan kondom,” kata Wine.

Selain mengingatkannya untuk menggunakan kondom, Wine juga menganjurkan teman-temannya untuk melakukan tes secara rutin. Karena semakin dini infeksinya diketahui, maka semakin cepat pula pengobatannya. Saat ini, tiga orang temannya diketahui mengidap HIV positif.

“Sampai saat ini, banyak teman transgender saya yang belum mengetahui bahwa hubungan sesama jenis dapat menyebabkan mereka tertular atau menularkan HIV,” kata Wine.

Ketua LSM Wisma Deni Wahyudi mengatakan kelompok transgender dan gay merupakan populasi kunci atau kelompok masyarakat yang berisiko tinggi tertular HIV. Oleh karena itu dibutuhkan orang-orang seperti Anggi dan Wine untuk menjangkau kelompok ini.

Kelompok lain yang juga berisiko tinggi adalah biseksual. Gay, biseksual dan transgender (GBT) termasuk dalam kelompok laki-laki penyuka laki-laki atau LSL.

“Mengapa kelompok GBT rentan tertular? Karena perilaku seksual mereka. Sedangkan pada kelompok lesbian, perilaku seksualnya tidak terlalu berisiko dibandingkan GBT. “Tetapi kami juga menjalin komunikasi dengan mereka untuk memberikan bantuan,” kata Deni.

Kasus HIV/AIDS pada kelompok GBT mulai terungkap pada tahun 2013 ketika Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis mulai memasuki kelompok tersebut dengan melibatkan LSM Wisma.

Pada tahun itu, ditemukan 10 kasus HIV positif pada kelompok homoseksual. Temuan kasus terus meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2014, ditemukan 11 kasus baru HIV positif. Tahun berikutnya, ditemukan 17 kasus lagi. Total kasus dalam tiga tahun terakhir mencapai 38 kasus.

Berdasarkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Barat, saat ini terdapat sekitar 20 ribu orang yang terjangkit HIV/AIDS di Jabar, sedangkan 20 persennya adalah LSL. Khusus pada kelompok ini, jumlah kasusnya mengalami peningkatan, terutama pada kelompok perempuan berisiko rendah, yaitu ibu rumah tangga.

Untuk mengantisipasi penularan dari kelompok tersebut, KPA Jabar terus melakukan edukasi agar kelompok tersebut tidak menularkan HIV ke kelompok lain.

“Kami terus memberikan edukasi kepada kelompok ini. “Kami juga mengajarkan mereka untuk menerapkan pola hidup sehat, agar tidak menulari mereka,” kata Iman Tedja, Sekretaris KPA Hari.

Akibat dari perawatan yang salah

Berdasarkan Nova Dahliana, halpengelolaan program HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, pihaknya memiliki sejumlah langkah untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS di kalangan LSL.

Nova mengatakan, Dinas Kesehatan bekerja sama dengan KPA Kabupaten Ciamis dan lembaga swadaya masyarakat seperti LSM Wisma. Selain itu, layanan konseling juga diberikan di 14 puskesmas dan satu rumah sakit di wilayah Ciamis.

Fasilitas lain untuk kelompok risiko tinggi adalah tes HIV gratis dan layanan Care Support and Treatment (CST).

“Mudah-mudahan yang sudah menjadi LSL bisa mengubah perilakunya. Pencegahan juga kami lakukan dengan memberikan penyuluhan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Dinas Keluarga Berencana dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Jadi komunitas ini (LGBT) tidak berkembang. “Kalau sudah terjadi, kami akan menyediakan ruang konseling,” jelas Nova.

Mencegah pertumbuhan populasi LGBT, kata Nova, merupakan salah satu cara mengatasi peningkatan kasus di kalangan kelompok sesama jenis. Berdasarkan data LSM Wisma, jumlah LSL di Ciamis saat ini mencapai 1.600 orang.

Menurutnya, inti persoalan munculnya komunitas LGBT adalah pola asuh orang tua yang salah.

“Makanya kita bersinergi dengan P2TP2A dan juga PKK. “Jadi Mas tahu cara merawatnya dengan benar,” ucapnya.

Deni setuju dengan cara tersebut. Dari hasil pendampingannya terhadap komunitas LGBT, menurut Deni, akar masalahnya ada pada keluarga. Seperti pengakuan Anggi dan Wine yang merasa diabaikan oleh orang tuanya semasa kecil.

“Jadi sebaiknya pemerintah memberikan program peran sebagai orang tua, psikologi anak. Tiap bulan ada kelompok PKK, kenapa tidak dibuat saja? Ada pengajiannya, kenapa tidak dimanfaatkan untuk sosialisasi?” kata Deni.

Dengan begitu, lanjut Deni, benih-benih LGBT tidak lagi bermunculan. Menurutnya, percuma saja memberantas komunitas LGBT yang ada.

“Bukannya komunitas yang ada diberantas, mereka disuruh pindah agama. Namun jangan sampai muncul komunitas baru. “Mereka terpinggirkan, kecewa, tidak terdidik dan terabaikan,” ujarnya.

“Perumahan mengurangi dampak perilaku berisiko, bukan memberantas perilaku tersebut. Karena itu wajar sebagai manusia. Siapakah kita untuk menghentikannya?”

Namun Deni menyayangkan perhatian pemerintah masih minim. nomor N pihak yang berkepentingan malah mereka dianggap bekerja sendiri, tanpa koordinasi.

“Gerakan kita harus lebih masif, tapi perhatian pemerintah semakin lemah. Baru di levelnya ya, belum secara teknis. Antisipasinya masih bersifat sektoral dan sebatas seremonial. “Kalau undangan datang, belum ada program yang bisa menanganinya secara langsung,” kata Deni.

Di sisi lain, Bupati Ciamis Iing Syam Arifin mengaku telah melakukan sejumlah langkah untuk memerangi HIV/AIDS, termasuk di kalangan kelompok LGBT. Tapi, kata Iing, pengobatan pada kelompok ini berbeda dengan kasus penyakit lainnya.

“Jika Anda mengambil langkah, pasti ya. Sebagai ketua KPA, saya bertanggung jawab. Kedua, mereka juga mempunyai hak untuk melindungi diri mereka sendiri. Jadi kalau dibilang caranya ya, pasti beda caranya. Tapi upaya sudah dilakukan, kata Iing saat ditemui Rappler di Pendopo Kabupaten Ciamis.

Iing juga mengaku menggalakkan pola asuh yang baik di sekolah, PKK, Dharma Wanita, hingga kalangan pegawai Pemerintah Kabupaten Ciamis. Namun Iing menyadari ada kendala dalam menghadapi kelompok tersebut.

“Tetapi karena ada sesuatu yang mengkhawatirkan rahasia dari mereka, jadi kita tidak bisa mengumpulkan semua penyakit ini. “Ada cara khusus yang digunakan KPA,” ujarnya.

Namun Iing menolak mengungkapkan metode spesifik yang digunakan untuk melakukan hal tersebut. Upayanya sudah saya jelaskan. Aspek teknisnya belum bisa dibicarakan, ujarnya.

Soal keberadaan LGBT di lingkungannya, Iing mengaku khawatir. Meski demikian, pemerintah Kabupaten Ciamis tidak akan menampik keberadaannya.

“Khawatir. “Tidak (menolak), itu hak mereka sebagai rakyat,” kata Iing. —Rappler.com

BACA JUGA:

Toto HK