Dialita, grup vokal dibalik sisa senyuman tahun 1965
- keren989
- 0
Dialita menjadi subjek film dokumenter ‘Song For My Children’ yang menceritakan kisah para penyintas dan keluarga korban tragedi kemanusiaan tahun 1965.
JAKARTA, Indonesia — Lebih dari 50 tahun telah berlalu, namun stigma dan pandangan bias masih menghantui keluarga korban tragedi kemanusiaan tahun 1965. Berbagai upaya dilakukan untuk mengupayakan rekonsiliasi, seperti melalui film dokumenter.
Beberapa tahun lalu setidaknya ada dua film dokumenter yang mengangkat isu ini ke permukaan dan menjadi perbincangan nasional dan internasional. Tindakan pembunuhan (Tukang daging) Dan Tampilan Keheningan (Kesunyian) bahkan mendapat nominasi Oscar, meski gagal membawa pulang Oscar.
Sekarang Salahuddin Siregar, peraih Special Jury Prize di Dubai International Film Festival 2011, berani menceritakan kisah Dialita, kelompok paduan suara yang anggotanya menjadi korban kekerasan di masa kelam Indonesia. Dialita sendiri merupakan singkatan dari “Above Fifty Years”.
Melalui film dokumenter berjudul Lagu Untuk Anak-AnakkuBersama Ingrid Atmosukarto, Salahuddin mencoba mengubah cara pandang anak muda Tanah Air terhadap anggota keluarga yang dicap komunis oleh pemerintah.
“Penting untuk diingat bahwa Dialita mempunyai sudut pandang tersendiri mengenai hal ini. “Pada dasarnya saya setuju dengan posisi mereka,” kata Saladin saat diwawancara Rappler di Goethe-Institut, Jakarta, usai Goodpitch² Southeast Asia 2017.
Goodpitch² merupakan organisasi global yang memberikan wadah bagi para pembuat film dokumenter untuk mencapai keinginannya. Tahun ini mereka pertama kali berekspansi ke Asia Tenggara dan menjadikan Indonesia sebagai tuan rumahnya.
(BACA: Menciptakan Perubahan Sosial Melalui Film Dokumenter)
Melalui cuplikan yang diperlihatkan kepada penonton, terlihat bagaimana Dialita yang tak mau menunjukkan siapa yang harus disalahkan atas pengalaman kelam yang mereka alami. Yang paling penting adalah menyampaikan kepada generasi muda bahwa apapun latar belakang kita, tidak ada seorang pun yang berhak menilai seseorang berdasarkan satu hal itu. Sekalipun dari keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI).
Anggota Dialita menyanyikan lagu-lagu yang dilarang pada masa Orde Baru sebelumnya, bahkan lagu-lagu yang ditulis di balik tembok penjara tentang masa lalu yang kelam.
Salahuddin mengatakan, banyak upaya rekonsiliasi hukum dan struktural dalam beberapa tahun terakhir, dan Dialita mencoba menghadirkannya dalam bentuk rekonsiliasi budaya.
Meski demikian, Shalahuddin mengaku hal tersebut hanyalah perpanjangan tangan dari upaya rekonsiliasi tahun 1965 yang terhenti di tengah jalan.
“Bagus sekali kalau satu generasi sudah hilangkan stigma itu pada dirinya, pasti akan lebih mudah untuk turun,” ujarnya.
Meski merilis film berdurasi 30 menit ini, Saladin ingin melanjutkan ceritanya agar bisa berprestasi panjang atributatau lebih dari satu jam, seperti cerita layar lebar yang kita lihat di bioskop.
Melalui Goodpitch² ia bertemu dengan beberapa kelompok yang dapat membantu produksi film melalui bantuan keuangan, serta memastikan bahwa karya tersebut dilihat oleh penonton yang dibidik Saladin dan rekan-rekannya.
Sebelumnya, Salahuddin menyebut membutuhkan dana sebesar 112.836 dolar AS (atau Rp 1,5 miliar) untuk menyelesaikan proyek ini. Setelah tampil sebagai pembuka di Goodpitch², Lagu Untuk Anak-Anakku sekarang tinggal mencari 15% dari dana yang diperlukan.
“Hitung kasarnya, dari sini kita sudah mencakup 75 persen, tapi tidak semuanya dalam bentuk uang. Ada juga yang ingin membuat website seharga US$ 5.000 dan juru kampanye media sosial,” kata Shalahuddin.
Ia tampak senang dengan penampilan filmnya sejauh ini. Meski pekerjaan belum sepenuhnya selesai, namun dampak positifnya sudah mulai terlihat.
“Melihat bagaimana ibu-ibu Dialita mendapat sambutan hangat saat tampil di hadapan anak muda, diajak berfoto bersama, bisa menjadi bukti bahwa stigma negatif yang ada di sekitarnya mulai memudar,” ujarnya.
rencana, Lagu Untuk Anak-Anakku dijadwalkan rilis pada bulan Mei 2018 di berbagai acara pemutaran film dan komunitas, sesuai dengan target audiens yang dibidik.
Komunitas ini juga mencakup sekolah dan akademisi, karena hingga saat ini sejarah kelam Indonesia seringkali dipilah melalui kurikulum pendidikan negara.
Namun meski melihat ada perubahan positif dalam pendidikan sejarah negara kita, Saladin tetap ingin berbagi kisah Dialita kepada anak-anak yang masih mengenyam pendidikan.
“Saat ini saya tidak terlalu memperhatikan pendidikan, tapi menurut seorang guru sejarah dari Santa Ursula yang kenalannya terlibat dalam Lagu Untuk Anak-Anakku, secara perlahan mereka mengungkap kisah nyata tahun 1965 atau 1998 kepada para pelajar. Saya ingin film ini bisa menjadi referensi juga, kata Saladin. —Rappler.com
BACA JUGA: