Jokowi ingin mendengar langsung kesaksian para penyintas 1965
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Jokowi disarankan untuk menggunakan forum resmi dalam sesi mendengarkan para penyintas.
JAKARTA, Indonesia (UPDATED)—Presiden Joko “Jokowi” Widodo ingin mendengar langsung kesaksian para korban atau penyintas pelanggaran HAM pembantaian tahun 1965.
Keinginan tersebut disampaikan kepada Rappler melalui juru bicaranya, Johan Budi SP, pada Selasa malam, 26 April.
“Presiden ingin mendengar pernyataan dari para korban itu sendiri, sebenarnya bukan hanya korban tahun ’65 saja, tapi seluruh pelanggaran HAM,” kata Johan.
Menurut Johan, Jokowi juga akan mengundang sejumlah tokoh yang dinilai bisa memberikan pertimbangan. “Baru nanti presiden akan memutuskan apa yang perlu dilakukan,” katanya.
Johan tidak menyebutkan kapan Jokowi akan bertemu dengan para penyintas dan tokoh masyarakat.
Keinginan Jokowi bertemu para penyintas muncul seminggu setelahnya pemerintah mengadakan Simposium Nasional ’65 yang mana pelaku dan korban bertemu untuk pertama kalinya, dengan halPemerintah yang diwakili Dewan Pertimbangan Presiden menjadi mediator.
Hadir dua tokoh kondang yang kerap dikaitkan dengan tragedi ’65, yakni Agus Widjojo, anak Jenderal Sutoyo, salah satu korban peristiwa 1965, dan Ilham Aidit, putra tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Agus Widjoyo juga sekaligus sebagai ketua panitia direktur simposium.
Diadakan pada pembukaan simposium di Jakarta pada 18 dan 19 April, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah tidak akan meminta maaf kepada para penyintas tragedi berdarah 1965.
(BACA: Kesaksian Korban 1965)
Lalu bagaimana tanggapan masyarakat korban terhadap rencana presiden tersebut?
Wakil Koordinator tim Pengadilan Rakyat Indonesia 1965 (IPT 1965), Ayu Wahyoningroem menyambut baik keinginan Presiden untuk bertemu langsung dengan para korban. Namun, dia mengingatkan, bentuk pertemuan harus disusun sesuai kerangka pencarian kebenaran.
“Tidak bisa acuh begitu saja, karena risiko terbesar ada pada korban,” ujarnya saat ditanya, Rabu, 27 April.
Opsi pertama yang bisa diambil presiden, menurut Ayu adalah menyusun pertemuan dalam bentuk yang lebih formal, mirip simposium. Sehingga masyarakat bisa mengakses hasil rapat tersebut. “Jangan informal, apalagi kalau itu urusan politik yang menimbulkan keputusan negara,” ujarnya.
Opsi kedua, Jokowi akan menggelar pertemuan informal yang difasilitasi Dewan Pertimbangan Presiden.
Meski demikian, Ayu berharap Jokowi akan melakukan pertemuan lebih serius. Idealnya, ini dijadikan panggung pengungkapan kebenaran oleh negara. Agar masyarakat bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, ujarnya.
Sementara itu, Ilham Aidit, putra tokoh sentral Partai Komunis Indonesia, DN Aidit, yang juga merupakan penyintas berusia 65 tahun, juga menyambut baik keinginan Presiden tersebut. “Ini akan lebih baik,” kata Ilham kepada Rappler.
“Karena bisa terjadi distorsi informasi, kalau tidak langsung,” kata Ilham lagi.
Bejo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, pun mengaku senang dengan kabar tersebut.
“Jika saya benar-benar bertemu dengannya, sebagai korban tahun ’65, saya akan menyampaikan keinginan korban, yaitu segera rehabilitasi, dan memastikan saya tidak melupakan proses hukum dalam menangani kasus ini,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA