• November 25, 2024
Kesempatan hidup kedua bagi Dian Syarief Pratomo

Kesempatan hidup kedua bagi Dian Syarief Pratomo

BANDUNG, Indonesia – Tiga dari panca inderanya tidak berfungsi normal karena penyakit lupus. Namun kondisi tersebut tidak membuat Dian Syarief Pratomo menyerah pada penyakit yang saat ini sulit disembuhkan.

Wanita berusia 51 tahun itu bahkan mendapat sejumlah penghargaan atas kiprahnya membantu orang-orang yang bernasib sama dengannya.

Pada tahun 1999 Dian didiagnosis mengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Lupus merupakan penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh tidak melindungi, melainkan menyerang sel, jaringan, dan organ sehat sehingga menyebabkan peradangan kronis.

Dian mulai mengidap penyakit ini saat ia berusia 33 tahun dan menjalani kehidupan yang nyaman dan produktif.

Lima tahun pertama setelah terdiagnosis Lupus merupakan tahun-tahun perjuangan antara hidup dan mati bagi alumnus Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Terapi obat lupus dosis tinggi yang dijalaninya terbukti berdampak fatal bagi kesehatan Dian.

Nyawanya terancam akibat abses otak yang merupakan efek samping obat yang diminumnya. Abses otak juga menyebabkan kebutaan pada mata.

Dian harus dilarikan ke rumah sakit di Singapura untuk menjalani operasi otak. Namun operasi besar yang dilakukan Dian bukannya tanpa risiko. Ia terancam kehilangan ingatan atau kelumpuhan setelah menjalani operasi otak.

“Jadi saya setengah buta, setengah tuli, dan anosmik (tidak bisa mendeteksi bau). Lima dari tiga indera hilang.”

Namun keajaiban datang. Setelah kurang lebih satu bulan tak sadarkan diri pasca operasi, Dian kembali sadar tanpa mengalami risiko yang ditakutkan. Ia terbangun dengan kesadaran penuh dan anggota tubuh masih berfungsi. Indra penglihatannya yang tadinya gelap gulita, mulai melihat cahaya.

Saat terbangun, Dian merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup. Selain itu, pasien lain yang menjalani operasi yang sama dengannya diyakini tidak selamat. Dian merasa mendapat “pesan” dari Sang Pencipta.

“Itu pelajaran pertama. “Kenapa ya, tindakannya sama, penyakitnya sama, yang satu hidup lagi, yang lain selesai, tutup bukunya,” kata Dian kepada Rappler saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

“Artinya Tuhan memberi saya kesempatan kedua dalam hidup. Ya, di sana lega dapatkan bonus hidup dulu, tidak bisa disia-siakan.”

Hal inilah yang akhirnya membuat Dian bertekad melakukan sesuatu untuk orang-orang yang senasib dengan dirinya, yakni Odapus (penderita lupus) dan pengidap penyakit lupus. Penglihatan rendah atau yang disebut dengan Sahabat LoVi. Tekad tersebut ia ungkapkan kepada suaminya yang tak henti-hentinya mendukungnya.

Namun rencana tersebut baru terwujud lima tahun kemudian. Selama lima tahun itu, Dian masih berjuang untuk hidupnya.

Usai operasi otak, Dian harus menjalani beberapa kali operasi yang menguras kondisi fisiknya. Ia harus menjalani operasi pengangkatan kantung empedu.

Selain itu, Dian juga harus menjalani operasi pemotongan tulang hidung akibat peradangan yang membuatnya tidak bisa bernapas. Prosedur medis menyebabkan dia kehilangan indra penciumannya. Pemeriksaan berikutnya adalah peradangan pada telinga kiri yang menyebabkan hilangnya fungsi pendengaran.

“Jadi ini aku setengah buta, setengah tuli, dan anosmia (tidak dapat mendeteksi bau). “Lima dari tiga inderanya hilang,” akunya.

Pada tahun 2007, rahim Dian terpaksa diangkat karena pendarahan terus menerus. Namun semua itu tidak menyurutkan tekadnya untuk membantu sesama, termasuk kembali beraktivitas.

Hilangnya penglihatan memaksa Dian mengikuti sejumlah pelatihan untuk mengasah indra lainnya. Selama tujuh tahun, Dian menjalani pelatihan dengan bantuan tongkat, braille, dan pelatihan yang dapat membantu keterbatasan penglihatannya.

Semua latihan ini dilakukan dengan asumsi dia bisa melihat. Padahal dokter memvonisnya fungsi penglihatannya hanya 5 persen dan tidak bisa dipulihkan. Menurut dokter, saraf penglihatannya rusak akibat abses otak.

Namun keajaiban datang lagi. Berkat kegigihannya berolahraga, Dian mampu meningkatkan fungsi penglihatannya hingga 15 persen.

“Mungkin bagi masyarakat awam tidak ada artinya 5 sampai 15 persen. Tapi bagi saya yang tadinya nol, saya dapat 5 persen keajaiban karena sudah ada cahaya lagi,” ucapnya penuh syukur. “Dari 5 sampai 15 persen, saya bisa melihat siluetnya, itu sudah cukup.”

Hingga saat ini, perbaikan penglihatan Dian masih belum bisa dijelaskan secara medis. Namun alhasil, Dian bisa kembali beraktivitas tanpa menggunakan tongkat atau bergantung pada orang lain. Kondisi ini memungkinkannya mewujudkan keinginannya untuk membuat organisasi sosial yang dapat dijadikan wahana untuk menjadikan hidupnya lebih bermakna.

Pada tahun 2003, Dian dan suaminya mendirikan organisasi nirlaba bernama Yayasan Syamsi Dhuha (SDF). Setahun kemudian, yayasan ini mulai melaksanakan pendidikan, sosialisasi, pendampingan dan penelitian melalui divisi Peduli Lupus & Peduli Sahabat LoVi.

Tiga divisi lainnya menyasar bidang kegiatan yang berbeda, yaitu Mirsa untuk kegiatan motivasi dan spiritual; Medisa untuk memenuhi kebutuhan pengobatan Odapus dan Sahabat LoVi; dan Finsa beroperasi di sektor keuangan dan bisnis.

Sasaran kegiatan SDF tidak hanya para penderita Lupus dan Sahabat LoVi, namun juga keluarga dan kerabat, serta masyarakat umum. Sejauh ini SDF telah mendampingi sekitar 700 Odapus dan 100 teman LoVi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Dalam sepuluh tahun pertama, SDF mulai berpartisipasi di tingkat internasional. Pada tahun 2007, SDF berpartisipasi dalam Kongres Lupus Internasional, Shanghai, China. Pada tahun 2012, SDF mewakili Indonesia terpilih menerima Sasakawa Health Prize dari World Health Organization (WHO) atas segala kreativitas dan inovasi yang dilakukan di bidang kesehatan pada kategori Non-Governmental Organization.

Sebagai inisiator dan relawan SDF, Dian juga telah mendapatkan penghargaan dari berbagai organisasi dan lembaga, baik nasional maupun internasional.

Saat ini SDF sedang bertransformasi menjadi lembaga wirausaha sosial. Tujuannya agar bantuan kepada Odapus dan Sobat LoVi terus berlanjut. Salah satunya dengan memproduksi buku, CD dan DVD bertema Lupus dan Low Vision.

Buku SDF berjudul Luppy Teman Nakalku telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan Belanda dan didistribusikan ke seluruh Eropa bekerja sama dengan Lupus Europe. Selain itu juga diterbitkan buku-buku inspiratif seperti Keajaiban Cinta yang bercerita tentang perjuangan Dian mengatasi penyakitnya.

Di bidang penelitian, SDF menawarkan beasiswa kepada para peneliti yang memfokuskan penelitian pada bahan-bahan alami Indonesia yang berpotensi menjadi suplemen terapi lupus. Penelitian juga sedang dilakukan untuk mengembangkan alat bantu Low Vision.

“Ada keengganan untuk mendatangkan barang (alat bantu Low Vision) dari luar negeri, kenapa kita tidak membuatnya sendiri,” kata Dian yang pernah bekerja sebagai pegawai di salah satu bank nasional.

“Itulah sebabnya kami kemarin awal belajar. Belum cukup berhasil, masih gagal. Tetapi setidaknya kita mulai, jadi Satu harikami membuat alat kami sendiri.”

Sejumlah prestasi telah diraih SDF. Namun, masih banyak harapan yang ingin dicapai. Dian berharap penelitian yang dilakukan SDF dapat menemukan bahan alami sebagai terapi lupus yang aman dan efektif dengan harga terjangkau. Ia pun berharap bisa membuat sendiri alat bantu penglihatannya untuk Sobat LoVi.

Yang terpenting, Dian berharap karyanya di SDF Odapus dan LoVi Friends dapat memotivasi dan menginspirasi, bahwa hidup adalah anugerah Sang Pencipta untuk diisi dengan hal-hal yang bermakna dan rasa sakit adalah cara untuk menunjukkan rasa cinta Yang Maha Penyayang pada orang lain. formulir.

“Tidak perlu menderita sakit, karena yang sakit itu fisik, sedangkan jiwa tidak harus sakit. Kelak, jiwa yang berusaha menjaga kita tetap sehat akan mendatangkan kesakitan fisik agar tetap bertahan bertahan hidupuntuk bisa menjalani hidup,” kata Dian. —Rappler.com

Togel Sydney