4 Hal yang Perlu Dipertimbangkan Saat Tetapkan Ahok Sebagai Tersangka
- keren989
- 0
Polisi akhirnya menetapkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menjadi tersangka kasus dugaan penodaan agama, pada Rabu pekan ini, 16 November.
Protes Muslim skala besar pada tanggal 4 November sejauh ini telah membuahkan hasil. Di hadapan awak media, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan meski ada perbedaan pendapat antar penyidik, polisi akhirnya sepakat untuk meningkatkan status hukum kasus ini dari penyidikan ke penyidikan.
Ada beberapa hal menarik yang bisa dibahas dari kasus ini.
artikel karet
Kasus yang menjerat Ahok kembali memunculkan perdebatan mengenai pasal karet yang selalu menghantui masyarakat Indonesia.
Ada dua pasal yang digunakan polisi untuk menjerat Ahok, yakni pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kedua pasal ini, dan beberapa pasal karet lainnya, membawa perkara yang dapat dan mungkin harus diselesaikan di luar pengadilan ke dalam ranah hukum formal.
Misalnya, ketika seseorang dianggap menodai suatu agama, siapa sebenarnya yang berhak mengatakan bahwa hal tersebut benar?
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, saya yakin mayoritas masyarakat Indonesia sepakat bahwa tindakan penodaan agama atau pelecehan agama adalah tindakan yang sangat tidak pantas.
Namun permasalahannya, dalam masyarakat tidak selalu, bahkan seringkali, terjadi kesatuan pendapat ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang berkaitan dengan agama. Kondisi ini semakin rumit ketika pasal-pasal yang digunakan juga menawarkan ruang multitafsir yang luas.
Misalnya, ketika seseorang dianggap menodai suatu agama, siapa sebenarnya yang berhak mengatakan bahwa hal tersebut benar? Apakah semua aliran dalam agama ini kemudian setuju dengan tudingan tersebut? Dan seterusnya.
Kita melihat lebih banyak penggunaan pasal karet dalam kasus pencemaran nama baik, terutama terkait komentar seseorang di media elektronik. Bahkan terdapat tumpang tindih aturan dalam kasus pencemaran nama baik karena diatur dalam KUHP dan UU ITE. Namun banyak masyarakat yang menggunakan pasal dalam UU ITE karena hukumannya lebih berat.
Dan seperti pasal karet lainnya, pasal yang mengandung pencemaran nama baik juga berpotensi menimbulkan banyak penafsiran, penafsiran yang muncul cenderung subjektif sesuai pandangan masing-masing individu.
Keberadaan pasal karet dalam sistem hukum Indonesia seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab namun mempunyai kekuasaan atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik untuk menjatuhkan pihak lain.
Akhir karir politik Ahok?
Masih terlalu dini untuk mengatakan karir politik Ahok akan berakhir dengan kasus ini. Meski berbagai survei menunjukkan tren penurunan dukungan, Ahok masih punya banyak pendukung di Jakarta. Di mata para pendukungnya, Ahok dinilai masih menjadi sosok yang tepat untuk memimpin kota sebesar Jakarta dengan sejuta permasalahan dan tantangan yang dihadapi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta beberapa kali menegaskan, statusnya sebagai tersangka tidak serta merta menghilangkan hak Ahok sebagai peserta pemilihan gubernur Februari tahun depan. Berdasarkan aturan KPU, pencalonan seseorang dalam Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) akan batal apabila yang bersangkutan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan divonis minimal lima tahun penjara sebelum pemilihan umum.
Kemungkinan besar kasus hukum yang menjeratnya saat ini tidak akan berlanjut ke pengadilan setidaknya selama tiga bulan. Sedangkan uji cobanya bisa memakan waktu lebih dari enam bulan. Oleh karena itu, fokus Ahok saat ini adalah berkampanye dan memastikan setiap warga Jakarta mengetahui prestasi apa saja yang telah diraihnya dan program lanjutan apa yang akan ia laksanakan jika terpilih.
Persoalan baru akan muncul, dengan asumsi Ahok menang pilkada, jika kemudian ia terbukti bersalah dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam keadaan seperti ini dia harus melepaskan posisinya.
Jika hal ini terjadi, bukan berarti karir politik Ahok akan mati. Yang menjadi kunci kebangkitannya adalah bagaimana ia terus membangun jaringan politik yang telah ia bangun selama ini, termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang kini mau tidak mau menjauhkan diri.
Pemaksaan mayoritas?
Banyak pihak menilai keputusan polisi atas kasus penodaan agama yang melibatkan Ahok penuh dengan tekanan publik, atau tepatnya tekanan mayoritas. Betapa tidak, proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian bisa dikatakan sangat cepat dibandingkan kasus-kasus lain pasca aksi unjuk rasa yang salah satunya dimotori oleh kumpulan ormas keagamaan yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kawal Fatwa MUI (GNPF MUI).
Pasca pengumuman pihak kepolisian, nampaknya beberapa pihak yang menentang ucapan Ahok pun berlomba-lomba memuji kinerja kepolisian dan netralitas Presiden Jokowi, seperti Din Syamsuddin selaku Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. (MUI). Apakah pujian itu masih akan mereka berikan jika kemarin polisi tidak menetapkan Ahok sebagai tersangka?
Berdasarkan aturan KPU, pencalonan seseorang dalam pilkada akan batal apabila yang bersangkutan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan divonis minimal 5 tahun penjara sebelum pemilihan umum.
Pihak-pihak tersebut juga memuji kinerja polisi yang dinilai sangat profesional dan transparan dalam menjalankan tugasnya. Lagi-lagi yang jadi pertanyaan sekarang, apakah pujian itu masih akan terucap jika nanti Ahok dinyatakan tidak bersalah di pengadilan?
Banyak oknum yang mengaku mewakili pelapor di media massa mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan bukan sekadar mewakili satu agama tertentu, melainkan menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Apakah itu benar?
Kedewasaan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam yang mayoritas, akan diuji setelah kasus Ahok selesai. Jika di kemudian hari ada pejabat publik yang kebetulan beragama Islam dan dituduh melakukan penodaan agama, apakah masyarakat akan memberikan tekanan yang sama seperti kasus Ahok atau justru sebaliknya?
Senjata Guru
Ungkapan “mulutmu, macanmu” sepertinya sangat tepat menggambarkan situasi yang dihadapi Ahok saat ini. Ucapannya saat berkunjung ke Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu terekam dan kemudian viral di media sosial, meski Ahok menuding ada pihak tertentu yang mengedit video tersebut sehingga ucapannya tidak terekam secara utuh hingga berujung fitnah.
Ironisnya, Ahok justru merupakan salah satu pejabat publik pertama yang suka merekam rapat kerjanya dan membagikannya ke publik melalui media sosial.
Peristiwa yang dialami Ahok patut menjadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya di seluruh Indonesia. Saat berada di depan umum, mereka jelas tidak bisa sembarangan berbicara, apalagi membahas topik sensitif. Orang lain akan dengan mudah merekamnya, memfotonya dan kemudian menyebarkannya ke khalayak luas. —Rappler.com
Tasa Nugraza Barley adalah konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta selama dua tahun. Dia suka membaca buku dan bertualang, dan dia sangat menikmati rasa kopi yang diseduh. Ikuti Twitter-nya @garsbanget