Petugas parkir menyelamatkan anak-anak yang mengidap HIV/AIDS
- keren989
- 0
SOLO, Indonesia – Putri baru saja bangun dari tidur siangnya. Tubuhnya masih lemas saat ia duduk di lantai, namun wajahnya menampakkan senyuman saat menyaksikan kemeriahan teman-temannya di ruang tamu sambil menikmati mainan.
Gadis berusia 3 tahun itu dulunya tinggal bersama neneknya di sebuah hutan di kawasan Jepara, Jawa Tengah. Kedua orang tuanya meninggal karena AIDS. Warga kemudian mengusir Putri yang sudah mengidap HIV sejak lahir karena dianggap pembawa bencana yang bisa menulari warga lainnya.
Kini Putri tinggal di rumah dua lantai seluas 70 meter persegi yang terletak di gang kecil di Sondakan, Solo, Jawa Tengah. Rumah kontrakan ini digunakan sebagai shelter bagi Lentera, a tempat berlindung untuk menampung anak-anak yatim piatu yang terlantar karena mengidap penyakit HIV/AIDS.
Selain Putri, ada dua gadis seusianya yang tinggal di rumah singgah, Lisa dan Akila. Mereka dibuang karena tertular HIV dari rahim ibunya. Tidak ada keluarga yang mau merawatnya.
Sejak orang tuanya meninggal di Kudus akibat virus yang melemahkan daya tahan tubuhnya, Lisa dibuang dan tinggal di kandang ayam. Kondisi kesehatannya memburuk dan terabaikan.
Sementara itu, Akila masih trauma karena sering diejek dan dilempari batu oleh warga desa. Bocah ini harus menahan rasa sakit dan mengalami kekerasan di usia dini hanya karena mengidap HIV sejak lahir.
Tinggal bersama
Rumah singgah Lentera didirikan pada tahun 2012 atas prakarsa Puger Mulyono, 42 tahun, seorang juru parkir di kota Solo yang hatinya terharu saat pertama kali bertemu dengan Yosef, bocah lelaki berusia 2 tahun yang tanpa ditelantarkan oleh orang tuanya dan oleh keluarganya karena dia terinfeksi HIV. Puger kemudian membawanya masuk dan merawatnya.
“Alasannya sederhana, hanya rasa kasihan. Anak kecil memasak dilarang, ditangguhkan dan dikucilkan,” kata Puger.
Puger membawa anak-anaknya untuk tinggal serumah dengan keluarganya. Istrinya, Dewi Setiawati, tak keberatan merawat mereka seperti anak sendiri. Bahkan, keempat anak kandung Puger dan Dewi kini sudah menganggap mereka seperti kakak beradik, bermain bersama, dan berbagi makanan.
Awalnya, anak bungsu mereka, Athala (8 tahun), merasa iri karena ayah dan ibunya sering menggendong dan menjaga balita tersebut. Mereka pun memanggil mereka berdua Pak’e dan Buk’e, sebagaimana dia dan saudara-saudaranya memanggil orang tuanya.
Namun seiring berjalannya waktu, si bungsu mengetahui bahwa anak-anak tersebut kurang beruntung dan membutuhkan kasih sayang. Dia akhirnya merasa menyesal.
Puger kemudian dikenal sebagai tempat penampungan anak dengan HIV/AIDS (ADHA) yang ditinggalkan di Kota Solo. Ia sering dihubungi pihak rumah sakit yang ingin menitipkan ADHA yang sengaja tidak diambil oleh keluarganya.
Rata-rata anak yang ditampung di rumah singgah sudah positif mengidap AIDS dan memerlukan perawatan intensif untuk memperpanjang usia harapan hidupnya. Bahkan ada dokter yang mengatakan hal itu tidak akan bertahan lama.
Soalnya tidak mudah mencari dokter ramah ADHA di Solo. Banyak dokter yang belum siap untuk mengobatinya.
“Tidak sedikit dokter yang merasa jijik dan tidak mau menyentuhnya, bahkan ada yang menolak untuk mengobatinya,” kata Puger.
Kondisi beberapa anak yang tinggal di rumah singgah sudah mulai membaik, namun mereka tetap rutin mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) untuk memperlambat perkembangan virus. Di ruang tengah, terpasang papan putih Tandanya menunjukkan jadwal pengobatan yang besar yang tidak boleh dilewatkan.
Ada anak yang masih memiliki bintik-bintik merah di sekujur tubuhnya, namun ada pula yang sudah hilang, menandakan adanya peningkatan daya tahan tubuh, meski belum terbebas dari HIV.
Sayangnya, ada juga anak yang tidak bisa tertolong. Dua anak meninggal karena kondisinya yang terlalu parah saat Puger ditemukan.
Dari 17 anak yang diasuhnya, kini hanya 9 anak yang tinggal di rumah singgah. Ada pula yang diambil keluarga (kerabatnya) setelah kondisi kesehatannya membaik. Anak-anak terbanyak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di luar shelter, Puger juga merawat ADHA yang tinggal bersama keluarganya. Jumlahnya mencapai 101 anak dan remaja. Setiap bulan ia rutin mengunjungi mereka dan membawanya ke dokter untuk berobat.
Ia pun menikahkan empat anak asuhnya yang sudah dewasa.
“Rumah singgah ini ruangnya terbatas, hanya diperuntukkan bagi anak-anak terlantar. “Yang masih punya keluarga lebih baik tinggal bersama mereka, tapi kami tetap membantu mereka dalam pengobatannya,” kata Puger.
Diusir dari kota
Niat Puger untuk membantu dan menampung ADHA yang ditinggalkan tidak selalu dipandang baik oleh orang-orang di sekitarnya. Masyarakat desa menolak kehadiran mereka karena takut tertular HIV. Puger dan keluarganya terpaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya.
Awalnya ia tinggal di Kartasura, Sukoharjo, lalu pindah ke Laweyan, Solo. Akhir tahun lalu, pemilik rumah di Laweyan enggan memperpanjang sewa. Salah satu alasannya adalah warga desa merasa keberatan dengan kehadiran anak-anak pengidap HIV/AIDS di wilayahnya.
Puger kemudian berencana pindah rumah ke Pasar Kliwon, dekat salah satu keluarga istrinya. Sesaat sebelum pindah, warga sekitar melakukan protes terhadap rumah kecil yang akan ditempatinya. Mereka menolak lokasi tersebut dijadikan rumah singgah ADHA.
“Walikota turun tangan membantu mencarikan berbagai tempat untuk rumah singgah, namun selalu berakhir dengan penolakan warga,” kata Puger.
Namun, dia tidak marah kepada orang-orang yang menolaknya. Puger menyadari pengetahuan masyarakat mengenai penyakit ini masih rendah.
Banyak orang mengira HIV ditularkan melalui udara, seperti virus flu, atau melalui kontak kulit. Banyak orang tua yang merasa jijik dan melarang anaknya bermain ADHA.
Puger akhirnya bertemu dengan seorang ustadz yang sangat berpengaruh di sebuah desa di Sondakan yang membantunya menemukan rumah sewaan – yang saat ini ditempati sebagai rumah singgah – dan menawarkan perlindungan dari pelecehan warga. Hingga saat ini belum ada yang berani mengganggu dan mengusir Puger atau anak-anak di rumah singgah tersebut.
Untuk menyekolahkan anak
Puger membiayai kebutuhan ADHA dari uang pribadinya meski sehari-harinya hanya bekerja sebagai juru parkir di kawasan Slamet Riyadi. Istrinya membuka toko kelontong kecil di rumahnya.
Meski penghasilannya tidak menentu, Puger dan istrinya selalu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk anak asuhnya. Mereka juga memenuhi hak anak atas pendidikan dengan menyekolahkan anak berusia tujuh tahun ke atas ke sekolah dasar terdekat.
Setiap pukul 06.00 dia mengantar mereka satu per satu ke sekolah dengan sepeda motornya, lalu datang menjemput mereka pada waktu sekolah.
Mencari sekolah bukanlah proses yang mudah. Mereka mengalami diskriminasi dalam hal akses terhadap pendidikan formal, karena banyak guru dan sekolah yang menolak pendidikan dan pengajaran anak dengan HIV/AIDS tanpa memberikan alasan yang jelas.
Bahkan, ada anak yang terpaksa pindah sekolah karena penolakan guru dan orang tua. Meski demikian, Puger tak menyerah untuk mencarikan mereka sekolah yang bersedia menerima anak asuhnya.
“Bagi anak-anak seperti mereka, yang terpenting adalah melawan penyakitnya agar bisa hidup lebih lama. “Namun sekolah tetap dibutuhkan,” kata Puger.
Sedangkan Puger selalu mengutamakan biaya pengobatan meski terkadang kekurangan uang.
Biaya ini menjadi pengeluaran terbesar karena Puger harus menyiapkan pengobatan lain selain terapi HIV/AIDS, karena anak-anak yang dibesarkannya mudah sakit. Karena sistem kekebalan tubuh lemah, anak-anak sangat rapuh dan rentan tertular virus dan bakteri dari orang HIV-negatif.
Saat ini, biaya hidup bulanan tidak pernah kurang dari Rp10 juta. Tentu saja penghasilan Puger dan istrinya tidak begitu besar, namun nyatanya mereka selalu bisa menghidupi anak asuhnya. Mereka hanya percaya bahwa wawancara semua orang – termasuk anak-anak – sudah diatur.
“Kami bersyukur, selalu ada makanan untuk mereka. “Ada donatur yang memberikan uang, barang, dan bantuan lainnya,” kata Puger.
Hilangkan stigma negatif
Pada tahun 2015, untuk melegitimasi kegiatan sosial yang dilakukan Puger, rumah singgahnya diubah menjadi Yayasan Lentera berdasarkan SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan bantuan seorang teman. Selain mengelola bantuan, yayasan ini juga merekrut relawan yang bertugas menangani ADHA.
Berawal dari tukang parkir, profesi yang masih dijalaninya, Puger kemudian menjadi aktivis kemanusiaan dan anak. Ia kerap diundang ke acara-acara di berbagai daerah, seperti Jakarta dan Bali, terkait kepengurusan ADHA.
Selain berbagi pengalaman, Puger juga selalu mengajak masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif dan diskriminasi terhadap anak pengidap HIV/AIDS. Karena anak-anak ini berjuang melawan penyakitnya sendiri sejak lahir.
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak menjauhi ADHA dan tidak takut tertular karena HIV hanya menular melalui cairan darah dan hubungan seksual, bukan melalui sentuhan, makanan, dan udara. – Rappler.com