• November 23, 2024

Memahami pawai mengokohkan kaki petani Kendeng

JAKARTA, Indonesia – Lapangan Monas di seberang Istana Negara hari ini terlihat lebih sepi dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tak terlihat lagi puluhan petani asal sekitar Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang sebelumnya menggelar aksi unjuk rasa melemparkan kaki dengan semen.

Malam sebelumnya, salah satu dari mereka bernama Patmi meninggal karena serangan jantung. Bersamaan dengan upacara pemakaman dan penghormatan terakhir di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, para petani juga melepas belenggu semen yang ada di kaki mereka.

Mereka bersama-sama mengantarkan jenazah ibu dua anak itu ke kampung halamannya, yang ironisnya masih belum lepas dari ancaman pabrik semen PT Semen Indonesia.

Namun, hal ini tidak berarti perjuangan telah usai. Antusiasme para petani dilanjutkan oleh aktivis yang melakukan aksi serupa. “Kami bertekad untuk terus melanjutkan sampai harapan Ny. Patmi dan Kendeng bersaudara menjadi kenyataan,” kata Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta, Rabu 22 Maret 2017.

Ia bersama 7 orang lainnya – semuanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) – juga melakukan aksi simbolis dengan mengokohkan kaki mereka. Pembelaan mereka tidak hanya diperuntukkan bagi Kendeng, namun juga bagi masyarakat lain yang terlibat konflik pertanian melawan korporasi dan pemerintah.

Proses sementasi

Proses penyemenan kaki ini tidak dilakukan sembarangan atau sembarangan. Mereka yang secara sukarela dipasung semen akan menjalani pemeriksaan kesehatan oleh dokter relawan.

Aksi ini mendapat bantuan dari relawan dokter Alexandra Herlina dari Surabaya. Selain itu, ada pula tenaga medis dari Rumah Sakit Islam Muhammadiyah (RSI) dan Dompet Dhuafa yang bergantian memeriksa kesehatan para petani.

Rappler menemui Alexandra di lokasi saat aksi semen tulang mencapai hari ke-8. Ia mengatakan saat itu tidak ada masalah kesehatan di kalangan petani. “Secara umum bagus, kondisi kakinya juga bagus. Artinya tidak ada komplikasi apa pun, ujarnya.

Selain pemeriksaan kesehatan rutin yang dilakukan tim medis dari pagi hingga malam, ada juga tim relawan yang melakukan penyemenan jenazah dan kaki para petani agar peredaran darah tetap lancar.

Untuk makanan, tim relawan dokter juga menyiapkan makanan yang telah diperhatikan gizinya. Ada pula warga Kendeng lainnya yang belum mengikat kaki dan memasak secara sukarela.

Menurutnya, tidak ada kendala berarti yang dihadapi karena kondisi tubuh para petani tersebut pada dasarnya sehat. “Jadi rata-rata mereka dalam kondisi (kondisi) yang baik. “Mereka petani, terbiasa bekerja keras, sehingga umumnya sehat,” ujarnya.

Namun, kata dia, faktor utama yang membuat para petani tetap dalam kondisi baik meski sudah seminggu lebih menggeluti semen adalah semangat mereka yang membara. Salah satu veteran operasi semen tulang, Sukinah membenarkan hal tersebut.

Saat pertama kali sebatas semen tahun lalu, aksinya hanya berlangsung 3 hari sebelum para petani ditemui Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Sekarang kakinya dikurung di semen selama 8 hari, yang akan sangat menyakitkan bagi orang biasa.

Sukinah mengaku ikhlas memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng. Meski harus dipasung lebih lama, ia tidak merasakan adanya perubahan atau perubahan pada kesehatannya.

Semangatnya tetap terjaga karena dia tahu apa yang dia perjuangkan. “Saya yakin, kalau ikhlas dan ikhlas dalam perjuangannya, pasti ada hasilnya,” ujarnya. Tak ada penyesalan dan keluh kesah yang keluar dari mulutnya kecuali Jokowi yang tak kunjung bertindak.

Alexandra mengatakan, belum ada data empiris mengenai bahaya pembalseman jenazah karena bisa dikatakan petani Kendeng lah yang pertama kali memulainya. Namun, dia kembali menegaskan, tidak ada dampak fatal dari tindakan tersebut.

“Indikator stresnya ada 3: bisa tidur, makan, lalu buang air besar. Mereka bisa melakukan ketiganya. Kami ada daftar periksa daftar keluhan atas semua ini,” ujarnya. Sama halnya dengan meninggalnya Patmi yang menurutnya disebabkan oleh sebab alamiah dan bukan terkait gips kaki.

Selain itu, takaran campuran semen juga dibuat khusus agar mudah hancur. Kaki petani juga dibalut dengan perban tebal agar tidak terjadi kontak langsung dengan kulit yang mungkin dapat melukainya.

Bukan eksploitasi

Aktivis Dhyta Caturani yang sempat ikut lempar kaki mengatakan, jika ada yang menyebut aksi tersebut sebagai eksploitasi, khususnya terhadap perempuan, maka itu merupakan sebuah penghinaan. “Sepertinya mereka mengira ibu-ibu ini tidak punya kemampuan untuk menggunakan tubuhnya,” ujarnya.

Wanita punya banyak cara untuk memperjuangkan sesuatu, termasuk menggunakan tubuhnya. Misalnya saja mencoret-coret dan menari tubuh Anda. Para ibu ini memilih untuk menyerah berdasarkan keputusan mereka sendiri karena tidak punya pilihan lain.

Berbagai cara ditempuh, mulai dari mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung, hingga mengambil tindakan perjalanan panjang, doa bersama, dan sebagainya. Namun pemerintah bungkam dan terus membangun pabrik semen tersebut.

Komnas Perempuan juga menyampaikan, aksi ini bisa menjadi contoh bagi perempuan lainnya agar tidak lelah berjuang menyelamatkan alam. Pengamatan mereka menunjukkan bahwa dampak perkembangan ini sangat serius bagi perempuan.

“Bagi perempuan, air, tanah, dan udara yang sehat adalah haknya. “Hilangnya lahan adalah hilangnya sumber kehidupan dan awal dari pemiskinan,” kata Azriana, Ketua Komnas Perempuan.

Mereka juga meminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, PT Semen Indonesia, dan pihak lain tidak berbuat apa-apa hingga Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terbit. “Hindari juga kriminalisasi terhadap petani Kendeng yang memperjuangkan haknya,” ujarnya.

Pembangunan pabrik semen di Kendeng memang menimbulkan ancaman besar bagi lingkungan sekitar. Pertama adalah hilangnya sumber air dari sungai bawah tanah. Hingga saat ini, warga sekitar mendapatkan air dari mata air yang ada di kawasan tersebut karst Orang kulit putih.

Belum lagi, desakan pemerintah untuk menambah pabrik semen juga membingungkan karena produksinya sudah surplus hingga 30 juta ton. Mengingat Jokowi mempunyai rencana reforma agraria untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan, konflik Kendeng menimbulkan pertanyaan.

Untuk siapa sebenarnya tanah pemerintah: rakyat atau korporasi? –Rappler.com

lagu togel