• November 28, 2024
Sebarkan video intimidasi, bukan?

Sebarkan video intimidasi, bukan?

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Penyebaran video penindasan juga merupakan bagian dari penindasan itu sendiri

DEPOK, Indonesia – Saat menerima video dengan konten kontroversial, seperti aksi bullying terhadap anak sekolah di mall, reaksi pertama orang yang menerimanya tentu saja akan membagikannya. Padahal, tanpa disadari, hal tersebut juga merupakan tindakan bullying.

Tindakan spontan tersebut dapat berdampak pada korban dan keluarganya. “Kita belum tahu apa dampak dari video viral tersebut, keluarga dan korban akan malu, begitu juga dengan pelakunya,” kata Lara Sekarasih, Peneliti Media, Anak dan Keluarga dari Universitas Indonesia (UI). . kawasan Kampus UI Depok, pada hari Rabu, 26 Juli 2017.

Ia kemudian mempertanyakan alasan utama dan manfaat penyebaran video tersebut. Menurutnya, penyebaran video hanya sekedar pelampiasan emosi dan dianggap sebagai bentuk bantuan atau simpati. Namun belum diketahui secara jelas kontribusi apa yang didapat dari penyebaran video tersebut.

Faktanya, penyebaran informasi dapat memperburuk kondisi mental keluarga dan korban, serta mempengaruhi tindakan di sekolah. Misalnya, hinaan dari netizen atau masyarakat yang langsung menyalahkan pendidik tanpa berusaha menyelidiki permasalahannya lebih dalam dapat membuat lembaga pendidikan takut untuk mengambil tindakan dan mengambil tindakan gegabah.

Menurut Laras, ketika mendapat informasi seperti perundungan atau tindakan kekerasan lainnya, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melaporkannya ke pihak berwajib. Apabila terjadi di lingkungan sekolah, dilaporkan kepada Dinas Pendidikan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Sedangkan bagi yang melakukan kejahatan bisa langsung melapor ke polisi.

Belum lagi, penyebaran video tersebut berpotensi menginspirasi tindakan lain, misalnya bunuh diri. Jadi harus ada prosedur untuk menyikapi video atau melaporkan tindakan perundungan, ujarnya.

Saksi yang bergerak

Laras juga mengamati tindakan para saksi dalam menyikapi kasus perundungan. Ia melakukan penelitian di Amerika untuk melihat bagaimana perilaku anak remaja ketika melihat temannya sebagai korban atau pelaku.

Dalam kasus melihat temannya sebagai korban, mayoritas responden mengaku akan langsung membela temannya. “Mereka akan berkomentar halaman Facebook itu seperti, ‘Hei, ini temanku dan komentarmu menyinggung dia,'” kata Laras.

Sedangkan ketika melihat temannya yang menjadi pelaku, anak-anak tersebut cenderung diam. Penyebabnya, karena sama-sama memandang korban sebagai “orang yang pantas di-bully” atau tak mau jadi pelapor.

Ia mengapresiasi tindakan anak-anak tersebut meski menyayangkan perbedaan ketika temannya menjadi penjahat. Namun, tindakan defensif yang diambil masih belum efektif.

Karena hanya berkomentar saja tidak menutup kemungkinan bullying akan bertambah parah. Belum lagi akan muncul halaman-halaman intimidasi baru.

“Sebenarnya ada fiturnya laporan Mana yang lebih baik untuk digunakan,” kata Laras. Atau tidak, sebaiknya laporkan pada orang dewasa yang berwenang seperti guru atau orang tua yang bersangkutan.

Merupakan tugas sekolah untuk mendirikan pusat pengaduan yang aman. Salah satu alasan anak enggan mengeluh adalah karena takut kehilangan muka karena disebut pengadu.

Selain itu, Psikolog sosial UI Ratna Djuwita juga menambahkan, anak-anak harus dididik tentang etika sosial dan empati sejak dini. Sejak usia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, mereka harus diajarkan untuk meminta sesuatu atau memperlakukan orang lain tanpa kekerasan dan paksaan.

Perlu juga empati, mereka tahu bagaimana rasanya menjadi korban sekaligus pelaku agar bisa bertindak, kata Ratna. Dalam kasus bullying yang masih menjadi masalah tingkat pertama di sekolah, yang terpenting adalah berhenti mengabaikannya. -Rappler.com

Pengeluaran Sidney