• November 26, 2024
Bisakah agama mencegah perilaku korup?

Bisakah agama mencegah perilaku korup?

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Ada yang berpendapat korupsi masih bisa dilakukan asalkan tidak meninggalkan ibadah

JAKARTA, Indonesia – Apakah korupsi masih dianggap haram di negeri ini? Pertanyaan inilah yang terlintas di benak sebagian besar masyarakat Indonesia ketika melihat angka korupsi yang semakin meningkat. Jika dahulu perbuatan tersebut dianggap tabu, kini pelaku dan masyarakat seolah-olah bersikap permisif.

Pemberitaan pejabat yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi sepertinya sudah menjadi topik yang lumrah didengar masyarakat. Lantas, apakah korupsi masih haram? Dalam diskusi santai yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Kamis sore, 8 Juni, para tokoh yang hadir, termasuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dengan tegas menyatakan tindakan tersebut jelas dilarang.

Ajaran agama berperan penting dalam membentuk karakter seseorang agar enggan dan takut melakukan praktik korupsi. Namun, menjadi sulit jika menganggap agama hanya sebagai pedoman pribadi antara Tuhan dan manusia.

“Masih banyak orang yang menganggap agama hanya urusan pribadi antara manusia dan Tuhan. “Sebenarnya agama juga mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam ruang sosial, antara manusia dan manusia,” kata Lukman mengawali dialog.

Ia tidak menutup mata terhadap fenomena masyarakat yang terkesan religius namun justru terjebak dalam praktik korupsi. Orang seperti ini, kata Lukman, tidak memaknai kedudukan agama sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga kurang empati dan enggan melakukan tindakan korupsi yang merugikan banyak orang.

“Mereka pikir TIDAK Tidak ada korupsi, yang penting salatnya lancar. Tepat sikap “Kita harus berubah seperti itu,” katanya.

Idris Mas’ud yang mewakili Nahdlatul Ulama mengatakan, dalam hukum Islam, korupsi merupakan perbuatan tercela dan haram dilakukan. Dijelaskannya, dalam ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW terdapat hal yang mengandung makna bahwa mengambil hak orang lain atau dalam konteks ini melakukan tindakan korupsi merupakan tindakan yang tidak boleh dilakukan.

Berdasarkan hal tersebut, MUI pun mengeluarkan fatwa haram untuk Risywah (penyuapan), Ghulul (korupsi) dan pemberian hadiah kepada pejabat. Namun di sisi lain, ia menyadari fatwa MUI tidak mengikat. Fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa tersebut.

Oleh karena itu, ia menyarankan kepada pihak-pihak yang mengeluarkan fatwa “haram” perilaku koruptor untuk mengkaji lebih jauh hubungan antara religiusitas dan religiusitas serta hubungannya dengan perilaku koruptif untuk mengukur sejauh mana keterikatan masyarakat terhadap fatwa tersebut.

Wakil Sekretaris Lakspedam NU juga menyarankan agar panitia pemberantasan korupsi melakukan sosialisasi kepada ulama dan madrasah terkait kepuasan. Sebab, menurut tradisi NU, tamu yang berkunjung untuk menemui ulama atau kyai kerap memberikan amplop.

“Saya mohon bantuan KPK dalam menyosialisasikan hal ini, untuk memberikan perbedaan yang jelas antara sekadar menerima hadiah dan gratifikasi yang tergolong perilaku koruptif,” ujarnya.

Masyarakat yang permisif

Sementara itu, Anggota Komisi Yudisial Farid Wajdi berpendapat, untuk menghukum dan memberikan jera bagi para koruptor, tidak cukup hanya dengan memberikan hukuman fisik berupa penjara. Namun, hal itu juga harus dihukum secara sosial.

“Namun kenyataannya, koruptor atau perilaku koruptif diterima secara terbuka oleh masyarakat. “Bahkan terkadang tidak dianggap sebagai kejahatan,” kata Farid yang khawatir dengan sikap masyarakat yang permisif.

Bahkan, selain mendapat hukuman fisik, para pencuri ayam tersebut juga diusir dari rumahnya karena dianggap telah mempermalukannya. Farid mengatakan hal itu berdasarkan pengalaman pribadinya.

“Di daerah saya ada mantan walikota yang ditangkap karena melakukan tindakan korupsi. Namun ketika keluar, ia mendapat sambutan istimewa bahkan kembali dicalonkan menjadi kepala daerah, ujarnya.

Jika fenomena ini berkembang, maka amanah publik yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas perilaku korupsi tidak akan terwujud. Sebab KPK hanya sebagian kecil dari upaya pemberantasan korupsi.

“Yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat memandang kejahatan ini. “Kalau kita masih permisif terhadap perilaku korupsi, maka jangan harap KPK bisa menyelesaikan semuanya,” ujarnya.

Jadi, menurut Anda korupsi itu perbuatan terlarang? Tulis pendapatmu di kolom komentar. – Rappler.com

sbobet mobile