Kisah Alanda Kariza di Balik Novel ‘Sophismata’
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Menulis novel bertema politik dan cinta memang menjadi tantangan tersendiri bagi penulis Alanda Kariza. Meski sempat bingung memilih judul yang tepat untuk buku fiksi tersebut, Alanda mengaku menyesatkan dianggap paling cocok.
Alanda mengaku punya 20 pilihan gelar, salah satunya Aspirasi dan rencana. Judulnya sepertinya mewakili mimpi dan gairah. Namun judul tersebut pada akhirnya tidak dipilih karena dirasa memberikan kesan yang berat bagi pembaca yang melihat judul tersebut.
Ketika menyesatkan sendiri dipilih karena kedengarannya menarik dan mempunyai arti ambiguitas. Makna tersebut sepertinya sesuai dengan isi novel yang bercerita tentang politik, karena jarang sekali ada kepastian dalam dunia politik.
(BACA: ‘Sophismata’: Kisah cinta politik di kalangan anak muda)
Meski aktif terlibat dalam gerakan pemuda di Indonesia sejak kecil, Alanda mengaku banyak juga melakukan riset saat menulis novel ini. Dalam satu bulan, perempuan kelahiran 23 Februari 1991 ini bisa melakukan lima kali panggilan Skype untuk mendapatkan referensi seputar kehidupan anggota DPR dan lanskap politik di Indonesia.
“Sisanya adalah penelitian sambil berjalan. kebetulan aku juga punya minat di ranah politik,” kata Alanda saat diwawancara Rappler melalui Skype. Saat ini, pendiri komunitas Sinergi Muda ini sedang mengambil gelar master di salah satu universitas di Inggris.
Persamaan Karakter dengan Wanita Indonesia
menyesatkan bercerita tentang liku-liku seorang remaja putri, Sigi, yang bekerja sebagai staf administrasi anggota DPR RI. Sigi memandang dunia secara hitam putih, sama seperti ia memandang politik. Namun rupanya ia telah jatuh cinta pada politisi muda, Timur, yang sukses menjejakkan kaki di dunia politik Indonesia.
Alanda sendiri yang menciptakan karakter Sigi sebagai seorang remaja putri yang sedang mengalami masa pencarian jati dirinya. “Karakter Sigi ini seperti kebanyakan target pembaca saya,” ujarnya.
Banyak wanita saat ini, meski merasa mandiri, namun hidupnya hanya diisi dengan “pekerjaan saja”. Namun perempuan-perempuan tersebut juga kerap terkekang oleh lingkungan sosial karena gendernya, seperti Sigi yang sulit mengembangkan karir di lingkungan yang kental dengan budaya patriarki.
Di Indonesia sendiri, masih banyak pemikiran mengenai bagaimana seharusnya perempuan bersikap. Namun Sigi sepertinya sempat menghadirkan karakter perempuan Indonesia yang serupa, namun mencoba mengubahnya sedikit.
Bagi Alanda sendiri, tidak terlalu sulit untuk menciptakan karakter Sigi. “Sigi sama seperti kebanyakan perempuan di Indonesia. “Jadi sepertinya mudah untuk mengembangkan Sigi,” kata Alanda.
Namun, Sigi berbeda jauh dengan Timur yang sangat culun dengan sejarah dan menyukai politik.
“Timur kontras dengan Sigi. “Dia (Timur) punya banyak mimpi, termasuk partai politiknya,” kata Alanda yang sudah menerbitkan delapan buku, baik fiksi maupun nonfiksi.
Di seluruh wilayah Timur terdapat banyak prasangka politik yang muncul. Apalagi Timur merupakan tokoh yang selalu menyebut partainya sosialisme demokratis.
“Dalam diri kita ada semacam prasangka terhadap politik. Ibaratnya ada sisi kanan dan kiri. “Meskipun sisi ini mempunyai arti yang berbeda-beda di setiap negara,” kata Alanda.
Mengapa generasi muda masih belum tertarik dengan politik?
Alanda yang duduk di dewan penasehat organisasi sosial Sinergi Muda yang dikenal dengan Inisiatif Konferensi Pemuda Indonesia ini memiliki ketertarikan pribadi pada dunia politik.
Namun, ia melihat masih banyak generasi muda di Indonesia yang belum memikirkan bagaimana politik di Indonesia. Padahal menurutnya demokrasi di Indonesia sangat seru.
“Di Indonesia, pesta demokrasi sangat seru. Apalagi saat pemilu, masyarakat Indonesia sendiri yang bisa memilih calon yang diinginkannya, ujarnya.
Menurut Alanda, banyak hal yang membuat generasi muda di Indonesia kurang tertarik terjun ke dunia politik.
“Ada banyak alasan. Bisa jadi karena citra politik yang kotor di mata mereka, atau bisa juga karena ketidaktahuan mereka terhadap proses politik, ujarnya.
Banyak pemberitaan buruk tentang politik di media Indonesia. Orang seperti ini sudah mempunyai persepsi buruk terhadap politik, dan pada akhirnya tidak mau mencoba dunia politik.
Atau bisa juga seperti kata Timur, anak muda tidak punya partai yang cocok untuknya, kata Alanda.
Ada banyak partai politik di Indonesia. Sayangnya, belum ada partai politik yang fokus menyasar anak muda. Kebanyakan partai politik yang ada saat ini nampaknya lebih condong ke arah orang-orang yang lebih senior.
Generasi muda di Indonesia seolah-olah tidak bisa berkoalisi dengan salah satu partai yang ada, kata Alanda.
(BACA: Yang perlu Anda ketahui tentang DPR RI)
Selain itu, literasi politik di kalangan generasi muda juga dirasakan masih kurang. Masih banyak orang yang belum mengetahui cara kerja politik. Bagaimana kabar DPR? Bagaimana cara kerja anggota DPR? dan hal-hal khusus lainnya.
Oleh karena itu, sukseslah menyesatkanAlanda berharap bisa menceritakannya tanpa terdengar seperti sedang mengajar.
“Itulah sebabnya saya memilih menulis fiksi. “Biasanya saya menulis buku nonfiksi, tapi untuk yang ini fiksi rasanya lebih cocok,” kata Alanda. —Rappler.com