Menolak untuk melupakan kenangan oleh Museum Pindahan tahun 1965
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Museum Bergerak 1965 diadakan di Yogyakarta pada tanggal 20 November hingga 5 Desember
YOGYAKARTA, Indonesia – Pakaian, sepeda, sepatu, dan sejumlah perabot dipajang di museum keliling tahun 1965 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Barang-barang tersebut bukanlah barang biasa. Bagi pemiliknya, barang-barang tersebut menghubungkan kenangan akan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965.
Setiap benda yang dipamerkan di Museum Bergerak 1965 mempunyai cerita tersendiri. Misalnya saja sepeda Theresia. Theresia menggunakan sepeda setiap hari untuk sekolah. Sepeda itulah yang menjadi saksi bisu saat ditangkap karena dituduh bergabung dengan Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) pada 10 Oktober 1965.
Ada juga beberapa sepatu milik Panut. Sepatu kulit tak bertanda itu menjadi saksi ketidakadilan setelah Panut ditahan tanpa pengadilan di Pulau Buru selama 14 tahun.
Kisah-kisah di atas diceritakan dalam sebuah video yang ditayangkan di Museum Keliling tahun 1965. Selain bisa melihat langsung barang-barang tersebut, pengunjung museum juga bisa mendengar langsung kisah para penyintas tragedi 1965.
Salah satu penggagas Museum Bergerak 1965, Yerry Wirawan mengatakan, museum ini dibuka untuk mengenang tragedi tahun 1965 dan berharap kejadian serupa tidak terulang kembali.
“Kami di sini untuk berbicara dengan generasi muda tentang tahun ’65. “Kita pakai media artefak-artefak yang masih bertahan, lalu kita berdialog,” kata Yerry saat ditemui Rappler Pusat Kebudayaan Kusnadi Hardjasumantri (PPKH) UGM akhir pekan lalu.
“Tujuannya agar generasi muda masa kini mengetahui sejarah kelam yang dilalui bangsa ini. Apapun itu, itu adalah bagian dari masa lalu kita.”
Museum Bergerak 1965 merupakan bagian dari Ruang Kelas Jembatan Tragedi yang diselenggarakan oleh Biennale Jogja XIII dan PKKH UGM.
Rangkaian acara ini merupakan upaya membangun jembatan kecil di masa kini untuk menghubungkan kenangan masa lalu atas tragedi kemanusiaan yang dialami bangsa dan warga negara Indonesia.
Jembatan Tragedi Kelas juga diharapkan dapat mendorong dialog kreatif untuk menemukan bahasa kemanusiaan generasi sekarang yang sering dianggap sebagai “ingatan yang terlupakan”.
Tak hanya itu, pelaksanaan Museum Bergerak 1965 juga melibatkan generasi muda dari berbagai kalangan. Mulai dari mengembangkan konsep, membuat video, hingga mewawancarai para penyintas 1965, semuanya dilakukan oleh anak muda.
“Bagi yang belum tahu, maka ketahuilah. Kami melibatkan generasi muda agar mereka berinteraksi, berdialog langsung dengan masa lalu. Menjadi dialog lintas generasi,” kata Yerry.
Sementara itu, Romo Baskara T. Wardaya yang juga salah satu penggagas Museum Bergerak 1965 mengatakan, museum ini dibuka sebagai salah satu cara untuk menyajikan narasi lain mengenai tragedi 1965.
Menurutnya, banyak anak muda saat ini yang tidak mengetahuinya, bahkan ingatannya telah dimanipulasi oleh narasi-narasi yang dibuat oleh penguasa di masa lalu.
“Generasi muda sudah memiliki versi tertentu yang dikaitkan dengan tahun ’65. Kami menawarkan perspektif yang berbeda. Melalui seni dan artefak, kami ingin mendiskusikan perspektif tersebut. Kami tidak punya kepentingan. “Bukan politik, apalagi kekuasaan,” kata Romo Baskara.
Melalui Museum Bergerak 1965, para penggagas ingin menunjukkan bahwa sebenarnya yang dituding ingin mengubah ideologi negara hanyalah masyarakat biasa.
“Ini masyarakat biasa, ada yang baru pulang dari festival sudah ditangkap. Mereka bukan karakter. “Sebenarnya mereka masih muda saat itu, 19 tahun, 18 tahun,” kata Pastor Baskara.
Ia juga berharap Museum Bergerak 1965 dapat mendorong proses rekonsiliasi. Sebab menurutnya, semua orang terlibat dalam tragedi 1965 satu bangsa.
“Meminta maaf itu penting, tapi bukan satu-satunya. Permintaan maaf mudah untuk diputarbalikkan. Rekonsiliasi ini penting. Saling menghormati sebagai sebuah bangsa. “Kita semua adalah satu bangsa,” katanya. —Rappler.com