Transmisi kesedihan Leonardo Bonucci
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Bagi Milanisti, kepindahan Leonardo Bonucci ke AC Milan merupakan sebuah berkah. Bahkan dalam mimpi terliar saya pun, saya tidak pernah terpikir untuk melihat Bonucci berseragam Rossoneri.
Bagi pendukung tim Merah Hitam, bursa transfer memang tak pernah menarik dalam beberapa tahun terakhir. Rutinitas reguler, para pemain
pemain yang sudah melewati masa emasnya datang memperkuat tim. Umumnya mereka berusia di atas 30 tahun atau hanya memiliki sisa 2-3 musim sebelum pensiun.
Kalaupun ada pemain muda, kehadirannya hanya berstatus pinjaman. Tidak secara permanen. Bermain selama satu atau dua musim dan kemudian kembali ke klub lamanya.
Bursa transfer yang membosankan sedikit memanas musim panas ini. Bukan karena kabar kedatangan pemain besar, melainkan kiper produk akademi mereka, Gianluigi Donnarumma, yang menolak memperpanjang kontraknya di klub.
Alhasil, penderitaan Milanisti semakin lengkap jika melihat kiprah tim kesayangannya di bursa transfer.
Namun pada pertengahan Juli ini, semuanya berbeda. Donnarumma akhirnya memperpanjang kontraknya. Tak sampai di situ, ikon Juventus selama tujuh tahun, Leonardo Bonucci, tiba-tiba memutuskan pindah ke AC Milan.
Bonucci jelas haus di tengah minimnya rekrutan nama besar Milan. Dia tidak hanya ada dalam DNA permainan Juventus, tapi juga salah satu bek terbaik dunia.
Kehadirannya bagaikan berkah bagi penghuni San Siro. Sebab, jika mau, Bonucci bisa saja memutuskan pindah ke Liga Inggris karena Chelsea dan Manchester City menginginkan tanda tangannya sejak musim lalu.
Kemampuan Bonucci sebagai seorang bek yang memiliki game awareness (mampu mendikte permainan dari lini belakang) serta kemampuan bertahan yang baik membuatnya menjadi incaran yang bagus. Manajer Chelsea Antonio Conte yang gagal mendapatkan tanda tangannya akhirnya memilih David Luiz untuk mengambil alih pekerjaan tersebut.
Bonucci jelas diburu oleh dua pelatih top dunia keahlian luar biasa.
Bahkan, bukan tidak mungkin di masa depan dia tiba-tiba berada di posisi lebih depan dan berperan seperti Andrea Pirlo sebagai gelandang bertahan“kata kolumnis Susy Campanale di Sepak Bola Italia.
AC Milan sebagai strategi pelarian
Banderol yang dikeluarkan Milan sebesar 42 juta euro jelas tak seberapa dibandingkan kapasitasnya. Dan Juventus bisa melepasnya dengan harga dua kali lipat jika Bonucci ingin pindah ke Inggris.
Apalagi menjual Bonucci ke tim yang sama aktifnya di Serie A jelas akan membahayakan posisi Juventus. Artinya dominasinya di tingkat lokal akan terganggu.
Memang di sisi lain, Bonucci juga tidak mungkin dijual ke tim selain Milan di Serie A dengan banderol sebesar itu. Kecuali Inter Milan, tidak ada yang bisa menandingi harga seorang bek, seorang pemain. posisi yang pasokannya begitu melimpah di negeri spageti.
Lantas kenapa Juve rela menjualnya ke AC Milan? Raksasa tidur yang bisa bangun kapan saja dan menjadi lawan sengitnya?
Salah satu jawaban yang paling mungkin atas pertanyaan tersebut adalah: karena transfer tersebut merupakan keinginan Bonucci sendiri. Pemain berusia 30 tahun itu ingin hengkang dari Juventus Stadium, namun juga enggan pindah ke luar negeri karena faktor keluarga.
Sejumlah media Italia menyebut Bonucci enggan berangkat ke Inggris karena anaknya sedang sakit parah dan tak mungkin ia mengalami perubahan lingkungan ekstrem dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Juve juga tak mungkin menjualnya dengan harga murah. Jadi perpindahan mengejutkan ini terjadi dengan sangat cepat.
Tapi apa yang membuat Bonucci pergi?
Sudah menjadi rahasia umum jika hubungan Bonucci dengan pelatihnya di Juve, Massimiliano Allegri, kurang harmonis. Dalam sebuah pertandingan, Bonucci mengumpat kepada Allegri karena masalah taktis.
Rusaknya hubungan kedua tokoh sentral tersebut membuat manajemen harus mengambil tindakan. Dan dalam konflik antara dua matahari, salah satu matahari harus disingkirkan. Rupanya manajemen memilih mengorbankan Bonucci demi mempertahankan stabilitas yang dibawa Allegri.
Dalam dunia sepak bola, konflik antara pelatih dan pemain merupakan hal yang lumrah. Bahkan, konflik menjadi begitu tajam hingga salah satunya harus disingkirkan.
Dalam kasus Bonucci, ia harus rela hengkang dan pindah ke Milan. Pemain lebih sering menjadi korban. Mungkin karena lebih mudah mencari pemain pengganti dibandingkan mencari pelatih baru – meski di kasus lain seperti di Chelsea dan Leicester City, pemain kerap mempengaruhi manajemen untuk memecat pelatih.
Bagaimanapun, Roma tidak dibangun dalam sehari. Dan satu pemain tidak bisa membuat Anda tampil scudetto. Kehadiran Bonucci bukanlah sebuah hal yang berlebihan membingungkan yang hilang dari AC Milan, tim hebat yang hanya mampu finis di posisi keenam musim lalu. Bonucci tidak bisa membuat mereka datang dan menang.
Ia berpeluang memperkuat lini pertahanan Milan dengan kemampuannya mengalihkan serangan begitu cepat. Operan dari lini belakang ke lini depan akan sering terjadi. Namun menjadi juara adalah kasus lain. Benar kan, Vincenzo?—Rappler.com