• November 23, 2024
Waspadai tindakan persekusi di dunia maya

Waspadai tindakan persekusi di dunia maya

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Para penganiaya mencari akun-akun di dunia maya yang dianggap menyinggung agama atau ulama.

JAKARTA, Indonesia – Ada tindakan baru-baru ini menyapu dilakukan oleh organisasi keagamaan tertentu. Mereka menyasar akun-akun di media sosial yang dianggap menyinggung atau mencoreng nama baik ulama tertentu.

Salah satu sosok yang menjadi korban dan banyak diperbincangkan secara online adalah dokter Fiera Lovita. Beliau adalah seorang ahli hemodialisis yang bekerja di RSUD Kota Solok, Sumatera Barat.

Dalam kurun waktu 19-21 Mei, Fiera menuliskan di akun media sosialnya status yang dianggap sebagian masyarakat mencemarkan nama baik pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab. Fiera menulis: ‘Terkadang fanatisme sudah membuat akal sehat dan logika tidak berfungsi lagi, sudah menjadi zina, kabur lagi, masih disembah dan dipertahankan’.

Status lain yang dia tulis adalah: “Kalau tidak salah kenapa lari? Toh, ada 300 pengacara dan 7 juta orang yang siap mendampingi Anda. Jangan lari lagi, Bib’.

Status media sosial tersebut kabarnya diturunkan dan disebarluaskan ke akun lain. Alhasil, Fiera mendapat teror dan intimidasi. Sontak, akun media sosialnya dibanjiri komentar pedas dan hinaan jorok.

Fiera mengaku dalam keterangan tertulisnya hanya mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya, tanpa ada maksud apa pun. Apa yang diunggahnya di media sosial rupanya juga didengar oleh atasannya di RSUD Solok.

Manajemen rumah sakit memintanya untuk menghapus status dan menghapus informasi tentang tempat kerjanya. Fiera segera melaksanakan permintaan ini.

Pada Senin, 22 Mei, Kasat Intel Polres Solok Kota, Ridwan tiba-tiba menemui Fiera untuk mengklarifikasi kejadian tersebut. Sayangnya, Ridwan tak memberikan solusi. Sebaliknya, Fiera diimbau meminta maaf kepada umat Islam dan meminta agar tindakan serupa tidak terulang lagi.

Bahkan, saat ditanya, Ridwan Fiera menanyakan apakah dirinya termasuk kelompok masyarakat yang mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo dan mantan Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Ketakutan Fiera tampak semakin lengkap saat berada di dalam mobil, kendaraannya dihadang gerombolan laskar FPI. Padahal, di dalam mobil tersebut terdapat dua anak Fiera berusia 8 dan 9 tahun. Mereka merasa takut dan menangis di dalam mobil.

Terakhir, Fiera menandatangani surat permintaan maaf bermaterai dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Surat permintaan maaf itu diunggah ke dunia maya, namun teror terhadap Fiera tak kunjung berhenti. Ia bahkan ingin meninggalkan Solok dan pindah ke tempat lain.

Ancaman terhadap demokrasi

Rupanya kejadian tersebut tidak hanya dialami oleh Fiera saja. Kejadian serupa juga dialami seorang pelajar di Malang karena mengolok-olok video poligami Ustadz Arifin Ilham. Belakangan, mahasiswa tersebut mendatangi Arifin dan langsung meminta maaf.

Fenomena ini sangat meresahkan masyarakat, khususnya pengguna media sosial. Organisasi Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) berharap pemerintah Indonesia mengambil tindakan serius terhadap perilaku semacam ini. Mereka khawatir jika hal ini dibiarkan maka akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi.

Koordinator wilayah SAFEnet, Damar Juniarto mengatakan kejadian seperti ini semakin banyak terlihat setelah Ahok dinyatakan bersalah di pengadilan dengan pasal penodaan agama. Ketika Ahok dinyatakan bersalah, tuntutan ditingkatkan.

Pelaku di media sosial mencari akun-akun yang dianggap menyinggung agama atau ulama, kata Damar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 27 Mei.

Dijelaskannya, tindakan penindakan dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:

  • Admin mengikuti orang-orang yang dianggap menghina ulama atau agama
  • Setelah ditemukan, pelaku menginstruksikan massa untuk memburu sasaran yang terungkap identitas, foto, pekerjaan, atau alamat rumahnya
  • Mereka kemudian menggerebek tempat dia tinggal atau bekerja
  • Massa kemudian membawa oknum yang dianggap menodai agama atau ulama itu ke kantor polisi dan mengancam akan menjeratnya dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE atau pasal 156a KUHP.

“Indonesia adalah negara hukum. Jadi, tidak seharusnya penindakan ini dilakukan karena ada langkah hukum yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, kata Damar.

Prosesnya bisa dimulai dari pemanggilan hingga mediasi. Bukan dengan langsung menggerebek tempat tinggal atau tempat kerja Anda dan main hakim sendiri. Oleh karena itu, SAFEnet mengimbau pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang menjadi sasaran penganiayaan ini.

Karena pada dasarnya setiap orang harus dijamin dilindungi dengan asas praduga tak bersalah dan terlindungi dari ancaman yang membahayakan nyawanya, ujarnya. – Rappler.com

Togel Singapura