• November 27, 2024
Polusi udara Jakarta meningkatkan risiko stroke

Polusi udara Jakarta meningkatkan risiko stroke

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

AC Jakarta hanya masuk kategori sehat selama 20 hari pada semester I tahun 2017

JAKARTA, Indonesia – Jakarta bukanlah kota yang terkenal dengan kebersihannya. Tingginya tingkat polusi menjadi masalah yang selalu menghantui ibu kota.

Penggiat iklim dan energi Greenpeace Bondan Andriyanu mengatakan jumlah partikel berbahaya di Jakarta jauh melebihi standar aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Hasil tersebut diperoleh melalui analisis peralatan pemantauan udara yang dilakukan Greenpeace dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Alat tersebut menghitung jumlah Particulate Matter (PM) 2,5 yang merupakan polutan berbahaya. Standar mutu yang ditetapkan WHO adalah 25 µg/m3; sedangkan baku mutu udara nasional adalah 65 µg/m3.

Angka polutan di Jakarta, DEPOK, BOGOR, TANGERANG dan BEKASI (Jabodetabek) rata-rata bervariasi antara 70 hingga lebih dari 100 µg/m3. Pencemaran tertinggi terdapat di kawasan Cibubur, Warung Buncit dan Gandul.

“Konsentrasi polutan yang tinggi (PM 2,5) sangat berbahaya bagi kelompok sensitif seperti anak-anak, ibu hamil, dan orang lanjut usia,” ujarnya, Minggu, 30 Juli 2017 di Jakarta. Salah satu ancaman yang menjadi serius adalah kematian akibat serangan stroke.

Greenpeace melakukan pemantauan di 21 lokasi dan menemukan bahwa risikonya meningkat dua kali lipat seiring dengan meningkatnya konsentrasi PM 2.5. Anak-anak juga lebih rentan terhadap penyakit pernafasan akut seperti yang terjadi di Cibubur dan Warung Buncit.

Bondan berpendapat pemerintah harus memperbanyak alat pemantau udara, terutama yang mampu memantau PM 2.5 di beberapa lokasi. Saat ini, perangkat tersebut hanya dimiliki oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta Selatan; Data pantauan di situsnya hanya memberikan informasi untuk wilayah Jakarta Pusat dan Selatan.

Sementara perangkat pemerintah hanya mampu memantau partikel berukuran besar atau PM10. Khusus Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) hanya memantau lima lokasi yang belum memiliki data berkualitas waktu sebenarnya.

Dengan memperbanyak perangkat tersebut, masyarakat dapat mengetahui kondisi udara terkini dan melakukan tindakan pencegahan.

“Salah satunya dengan menggunakan masker, atau mengurangi aktivitas di tempat yang kadar PM2,5 tinggi,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih agresif dalam mengkampanyekan dampak buruk polusi; dan merancang kebijakan untuk mencegah kondisi udara memburuk.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komisi Pemberantasan Bahan Bakar Minyak (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, 58,3 persen warga Jakarta menderita penyakit terkait polusi udara.

“Akibatnya, biaya pengobatan terus meningkat. “Kalau tahun 2010 mencapai Rp38,5 triliun, tahun 2016 sebesar Rp51,2 triliun,” ujarnya. —Rappler.com

Result SDY