• September 27, 2024

Sejauh mana Australia terlibat dalam genosida tahun 1965?

JAKARTA, Indonesia – Keputusan Pengadilan Rakyat Internasional menyebutkan Australia turut andil dalam pembunuhan massal tahun 1965 di Indonesia.

Australia bahkan disebut-sebut mewaspadai dan membantu aktivitas pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto yang membasmi ratusan bahkan jutaan warga negara yang diduga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut.

Tapi, sejauh mana keterlibatan negeri kanguru itu dalam kepunahan massal ini?

Sebuah postingan oleh Asisten Peneliti Universitas Monash Marlene Millott di situs web Urusan luar negeri menjelaskan bagaimana rangkaian hubungan pemerintah Australia dan Indonesia disebut “bahu-membahu” untuk menghilangkan anggota PKI dan simpatisannya.

Dalam tesisnya, Millott berkata, Pasca peristiwa 30 September 1965, negara-negara Barat dengan tegas mendukung tentara Indonesia untuk menumpas PKI. Saat itu, Amerika Serikat dan Inggris sebagai negara adidaya didukung oleh sekutunya, Australia.

Millot membuka artikelnya dengan dokumen dari Arsip Nasional Australia yang menyatakan bahwa Kedutaan Besar Australia dan Departemen Luar Negeri memiliki hubungan dekat dengan militer Indonesia pada saat itu. Mereka memberikan dukungan untuk menggulingkan Sukarno dan menyingkirkan PKI.

Hubungan Australia dari tahun 1965 hingga 1966

Pada bulan Februari 1966, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Australia di Indonesia, JM Starey, mengunjungi Bali, Flores dan Timor Timur. Ia berbincang dengan mahasiswa asal Australia yang singgah di Lombok, Nusa Tenggara Timur.

Starey mendengar kesaksian mereka, seperti melihat beberapa kepala ditusuk di desa-desa. Ia bahkan menyebut militer Indonesia adalah pihak yang bertanggung jawab atas operasi pembantaian tersebut.

Sebelumnya, berdasarkan data yang diterima Kedutaan Besar Australia, Duta Besar Keith Shann menjadi saksi langsung penangkapan 250 WNI oleh militer pada awal Oktober 1965.

Saat itu, Shann juga menghubungi Departemen Luar Negeri Australia dengan harapan pihak militer bisa tegas menghadapi PKI. Ia bahkan diketahui pernah mengatakan, sudah saatnya organisasi komunis tersebut diberantas, atau tidak sama sekali.

Sebuah dokumen pada 12 November 1965 kembali menyebutkan Shann membahas kampanye antikomunis yang dilakukan tentara Indonesia dan kampanye militer Australia di Kalimantan untuk membantu Indonesia melakukan agresi di Malaysia.

Saat itu, Menteri Luar Negeri RI AY Helmi meminta pasukan Amerika Serikat dan Inggris meningkatkan patroli di Kalimantan agar militer Indonesia bisa fokus menumpas PKI. Shann bahkan mengatakan pasukannya siap bekerja.

Pada pertengahan tahun 1966, Perdana Menteri Australia Harold Holt menyatakan kepuasannya terhadap kebijakan ekonomi dan luar negeri Indonesia yang pro-Barat.

Holt bahkan dengan santainya mengatakan kepada Asosiasi Australia-Amerika di New York bahwa 500.000 hingga satu juta simpatisan komunis telah disingkirkan, dan ini pertanda sedang terjadi reorientasi di Indonesia.

Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa ketika militer Indonesia membunuh ratusan ribu hingga jutaan tersangka anggota PKI, Kedutaan Besar Australia dan militer Indonesia membahas gerakan anti-PKI.

Australia juga disebut telah menawarkan bantuan kepada militer selama masa transisi.

Propaganda militer melalui Radio Australia

Menurut Millott, peran terbesar Australia dalam tragedi 1965 adalah membantu propaganda militer Indonesia melalui penyiaran.

Media Australia memainkan peran yang sangat penting pada saat itu. Salah satu metode propagandanya adalah dengan menggunakan Radio Australia untuk menyebarkan propaganda militer di Indonesia yang turut meningkatkan sentimen terhadap komunis.

Misalnya, pada minggu-minggu pertama setelah upaya kudeta, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menguasai hampir seluruh media di Indonesia. Militer kemudian melancarkan kampanye agresif untuk menyebarkan pesan anti-PKI.

TNI kemudian menggunakan Radio Australia yang mendapat bimbingan dari Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar Australia.

Dubes Shann secara khusus meminta Radio Australia untuk fokus pada keterlibatan PKI dalam kudeta tersebut dan membombardirnya dengan informasi dan pesan propaganda anti-PKI.

Pada November 1965, Shann bahkan ditanya oleh seorang pejabat tinggi militer agar Radio Australia fokus menyebut organisasi pemuda dan organisasi lain, baik Muslim maupun Kristen, yang terlibat dalam gerakan antikomunis untuk menutupi keterlibatan militer.

Saat itu, Radio Australia tidak hanya dikuasai oleh militer, tetapi juga seluruh media di negara tersebut.

Apa pendapat peneliti Australia lainnya?

Dosen Australian National University sekaligus warga Indonesia Ross Tapsell mengatakan, data yang disampaikan Millott sudah diketahui luas oleh para akademisi di Australia.

“Masalahnya sekarang adalah mencari tahu sejauh mana dan seberapa besar keterlibatan Australia?” kata Tapsell kepada Rappler pada Senin malam, 23 November.

Ia menambahkan, situasi dunia yang menganut kapitalisme sedang melawan komunisme saat itu sangat mendukung. “Amerika baru saja melawan Vietnam, yang juga merupakan kantong komunisme,” kata Tapsell.

Kemudian muncul gerakan komunisme di Indonesia yang notabene menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara. Jika Indonesia menjadi negara komunis, maka akan menyulitkan negara-negara barat.

Tapsell sendiri pernah menulis Jurnal Politik dan Sejarah Australia dengan judul Pelaporan Australia mengenai pembunuhan di Indonesia pada tahun 1965-66: Media sebagai ‘draf kasar pertama sejarah’.

Artikel yang ditulisnya sempat dibahas oleh Sydney Morning Herald (SMH), salah satu media terkemuka di Australia, ketika meliput tragedi pembantaian tahun 1965 dan 1966.

Tapsell menemukan dalam penelitiannya bahwa liputan media tentang Australia sebagai negara tetangga sangat terbatas.

Meski koresponden SMH di Jakarta menanyakan alasan peristiwa itu terjadi, artikel tersebut terkesan terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa yang terjadi saat itu adalah pergantian kepemimpinan di Jakarta dan kekalahan komunisme.

Laporan lengkap Tapsell dapat dibaca Di Sini.

Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi yang juga kandidat PhD bidang studi Asia di Murdoch University, menambahkan pernyataan Tapsell.

Seperti yang diungkapkan David Easter (2005), kata Airlangga dalam artikelnya Adakan Intervensi Terselubung Barat di Indonesia, Oktober 1965-Maret 1966, Posisi Indonesia sebagai kekuatan politik radikal disebut-sebut berada di negara dunia ketiga, dengan pemimpinnya yang karismatik, Presiden Sukarno.

Sukarno merupakan sosok yang secara eksplisit menyerukan perjuangan anti-imperialis, membangun aliansi dengan negara-negara sosialis, mendukung perjuangan anti-kolonialisme Vietnam Utara dalam Perang Vietnam, dan terakhir berupaya merebut Malaysia melalui slogan ‘Konfrontasi Hancurkan Malaysia’.

“Semua hal tersebut menjadikan aliansi Barat yang meliputi Amerika Serikat, Inggris dan juga Australia, posisi politik Indonesia di era Soekarno sebagai ancaman komprehensif terhadap kepentingan politik-ekonomi mereka, khususnya di kawasan Asia Tenggara,” ujarnya kepada Rappler.

Australia juga memainkan peran aktif dalam hal ini. Pemerintah Australia menekankan kepada Radio Australia untuk memberitakan informasi yang mendukung posisi militer Soeharto dan tidak memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia bahwa media massa Indonesia berada di bawah kendali militer.

Lebih lanjut, sebagaimana disampaikan Easter, para elite pemerintahan Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Selandia Baru mengadakan pertemuan rahasia sekitar bulan November 1965 untuk mengkoordinasikan kebijakan mereka mengenai Indonesia.

Dalam diskusi mereka, pembantaian rakyat Indonesia oleh militer tidak dihiraukan, dan mereka fokus pada bagaimana membangun hubungan dan memberikan dukungan kepada militer Indonesia selama Sukarno masih berkuasa.

Dari gambaran singkat ini, memang benar bahwa Australia sebagai bagian dari aliansi strategis Blok Barat memainkan peran yang sangat penting, terutama dalam kerja propaganda untuk mendukung kekuatan militer guna melemahkan pengaruh Sukarno, dengan mengabaikan pembantaian tahun 1965 yang dilakukan oleh militer. dan membungkam informasi bahwa media massa dan “informasi di Indonesia dikuasai dan dikuasai oleh militer melawan Sukarno,” ujarnya.

Apa berikutnya?

Keterlibatan Australia dalam tragedi 1965 akan menjadi salah satu fokus tim IPT 1965.

Setelah mendapat rekomendasi awal, tim IPT 1965 kini menunggu hingga Maret tahun depan untuk mengambil keputusan akhir juri dengan alasan keterlibatan negara lain, termasuk Australia.

Dari berbagai alat bukti yang dipaparkan, majelis hakim mungkin masih menemukan tindak pidana berat lainnya yang bisa dimasukkan dalam putusan akhir.

Keputusan ini penting untuk kemudian menjadi dasar pengungkapan kebenaran dan upaya ke depan untuk meyakinkan pemerintah agar menyelesaikan masalah 1965 secara bermartabat.

Salah satu upayanya adalah meyakinkan dunia internasional agar mendukung penyelesaian kasus 1965.

“Kami juga akan berusaha meyakinkan masyarakat internasional untuk mendukung upaya penyelesaian ’65, termasuk melobi mekanisme khusus PBB untuk meninjau dan mengakomodasi inisiatif pemukiman tahun 1965,” demikian bunyi pesan tim IPT 1965 kepada Rappler melalui surel.

Namun, apakah pemerintah Australia akan buka suara? —Rappler.com

BACA JUGA:

Angka Sdy