• May 13, 2025
Saksi kasus KTP Elektronik menyayangkan proyek tersebut korup

Saksi kasus KTP Elektronik menyayangkan proyek tersebut korup

KTP elektronik awalnya disiapkan sebagai kartu identitas baru bagi WNI untuk memudahkan penerbitan dokumen seperti SIM, paspor, dan nomor pokok wajib pajak.

JAKARTA, Indonesia – Mantan Direktur Jenderal Administrasi Kementerian Dalam Negeri periode 2004 hingga 2009, Rasyid Saleh, menyayangkan kesempurnaan sistem KTP Elektronik yang digarapnya terhambat kendala. Menurutnya, program KTP Elektronik harus memenuhi kewajiban pemerintah terhadap masyarakatnya. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi dan meningkatkan kehidupan warganya.

“Program ini merupakan proyek besar negara untuk memenuhi kewajibannya kepada masyarakat. Negara wajib memberikan KTP kepada warganya karena itu hak mereka, kata Rasyid saat sidang ketiga kasus megakorupsi KTP elektronik, Kamis, 23 Maret 2019.

KTP elektronik awalnya disiapkan sebagai kartu identitas baru bagi WNI untuk memudahkan penerbitan dokumen seperti SIM, Paspor, Nomor Pokok Wajib Pajak, Hak Atas Tanah dan dokumen lainnya. Dengan KTP elektronik, pemerintah juga dapat mencegah terjadinya identitas ganda, penghindaran pajak, dan korupsi.

Ironisnya, program yang bertujuan mencegah penyelewengan dana, khususnya di luar negeri, sebagaimana tertuang dalam Panama Papers, justru menjadi skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Proyek ini menyumbang kerugian sebesar Rp 2,3 triliun bagi negara. Angka tersebut tiga kali lipat dari kasus korupsi Wisma Atlet di Hambalang yang sebelumnya menduduki peringkat pertama dengan kerugian mencapai Rp706 miliar.

Rasyid mengatakan, sebelum proyek KTP Elektronik terealisasi, ia terlebih dahulu membuat “desain besar” bersama tiga dokter muda Universitas Indonesia. Segala rencana baik tersebut akan berjalan lancar dan sempurna seandainya beliau masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Administrasi.

“Tahun 2006 sudah ada undang-undang KTP elektronik. Di dalamnya tertulis harus dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun,” kata Rasyid di hadapan majelis hakim yang dipimpin John Halasan Butar-Butar.

Grand Design saya buat bersama tiga dokter muda Universitas Indonesia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PNN/Bappenas) mematok anggaran Rp6 triliun, ujarnya lagi.

“Kalau diberi kuasa menjalankan sistem pasti (berjalan) lancar. “Seharusnya tidak jadi masalah, tapi kondisinya sekarang berbeda,” ujarnya.

Grand Design yang diluncurkan Rasyid berfokus pada sistem informasi administrasi kependudukan, meliputi nomor registrasi, plafon indikatif, dan KTP elektronik. Dalam persidangan, Rasyid mengaku belum bisa menjawab soal penetapan sumber dana yang akhirnya menggunakan uang APBN murni. Pasalnya Rasyid pensiun dari jabatannya pada tahun 2010.

Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kementerian Dalam Negeri Wisnu Wibowo dalam sesi yang sama menjelaskan, usulan dana KTP Elektronik sebesar Rp 2,4 triliun, sedangkan pagu indikatifnya ditetapkan sebesar Rp 1 triliun. Tim jaksa yang mewakili Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menambahkan, negara mengeluarkan dana sebesar Rp1,4 triliun hanya untuk blanko KTP elektronik.

Saat ditanya apakah Wisnu juga menerima uang dari hasil proyek pengadaan KTP Elektronik, dia membenarkannya. Uang yang diberikan Sugiharto di kantornya berjumlah Rp 10 juta.

Wisnu mengaku uang tersebut digunakan untuk pengobatan istrinya yang sakit. Menurut dia, pemberian uang tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih setelah anggaran perolehan KTP Elektronik menjadi multiyears.

Uang tersebut dimasukkan ke dalam amplop yang ditutup map. Selain membagikan uang kepada Wisnu, Sugiharto juga memberikan uang tersebut kepada tiga pegawai direktorat anggaran Kementerian Keuangan bernama Indra, Asni, dan Asfahan.

“Saya serahkan (uang) ke Indra, sedangkan Pak Suparmanto (Kementerian Dalam Negeri) serahkan ke Asni dan Asfahan,” kata Wisnu yang mengaku tidak mengetahui berapa jumlah uang yang diterimanya di rumah tersebut. waktu tidak punya .

Sementara Suparmanto yang turut dihadirkan sebagai saksi, Kamis pekan lalu, membantah menerima uang dari Sugiharto. Sayangnya, terdakwa kedua, Sugiharto, justru membenarkan adanya pemberian uang tersebut kepada pegawai Direktorat Anggaran Kementerian Keuangan.

“Uang yang mereka terima 40-10-10. “Untuk Indra Rp 40 juta, sedangkan Asni dan Asfahan masing-masing Rp 10 juta,” kata Sugiharto.

Sidang ketiga kasus megakorupsi pengadaan KTP Elektronik pada Kamis pekan lalu hanya dihadiri enam orang dari tujuh saksi. Saksi, Anggota DPR Miryam S. Haryani, datang terlambat dan baru bisa bersaksi setelah dua rekannya, Teguh Juwarno dan Taufik Effendi sudah menempati tempat duduknya.

Namun, Miriam memberikan pengakuan yang mengejutkan. Sambil terisak-isak di hadapan majelis hakim, dia mengaku mendapat tekanan dari penyidik ​​KPK saat memberikan keterangannya. Karena itu, dia mencabut empat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah ditandatanganinya.

Sidang dilanjutkan pada Senin, 27 Maret, untuk mempertemukan pernyataan Miryam dengan tiga penyidik ​​KPK yang mencari keterangan dari anggota Komisi V Partai Hanura itu. – Rappler.com

lagutogel