• November 26, 2024
Dwi Aryani mempertanyakan niat baik Etihad Airways

Dwi Aryani mempertanyakan niat baik Etihad Airways

Dwi Aryani mempertimbangkan untuk membawa Etihad Airways ke pengadilan, jika tidak ada niat baik dari pihak maskapai.

JAKARTA, Indonesia – Dwi Aryani, perempuan penyandang disabilitas yang ditolak menaiki Etihad Airways, mempertanyakan niat baik maskapai tersebut setelah secara sepihak membatalkan pertemuan pada Senin, 11 April. Awalnya, kedua belah pihak akan bertemu untuk menindaklanjuti perlakuan diskriminatif yang diterima Dwi pada 5 April lalu.

“Etihad Airways telah membatalkan panggilan konferensi pada hari Sabtu 9 April. “Mereka beralasan Mba Dwi melanggar syarat yang ada, yakni tidak menggunakan pengacara dan tidak melaporkan hal ini ke media,” kata Kepala Divisi Minoritas dan Kelompok Rentan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Pratiwi Febri kepada Rappler. Kamis. 14 April.

Wanita yang biasa disapa Tiwi ini menjelaskan, LBH hanya memfasilitasi tempat pertemuan dan tidak ada tujuan lain.

“Selain itu, kami tidak pernah mempromosikan isu ini di media. Faktanya, kami mengetahui dari rekan media bahwa Etihad Airways sendiri telah mengirimkan pernyataan tertulis berupa permintaan maaf kepada media, kata Tiwi.

Etihad Airways, lanjut Tiwi, juga diduga mengeluarkan balasan berisi berita Pilot bersedia memutarbalikkan pesawat karena beberapa penumpang mendapat informasi bahwa anggota keluarganya ada di ICU.

Sebenarnya Mba Dwi siap melakukan mediasi keluarga sesuai isi surat elektronik yang mereka kirimkan, kata Tiwi.

Lantas apa isi email yang diterima Dwi dari Etihad Airways?

“Dalam email tersebut, Etihad Airways mengakui bahwa atas kejadian yang menimpa Mba Dwi, mereka memang salah. Namun mereka membantah melakukan tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan berjanji akan mengirimkan pembinaan terkait masalah ini, ujarnya.

Namun hingga saat ini panduan tersebut belum dikirimkan oleh maskapai Etihad.

LBH Jakarta sebenarnya menduga Etihad Airways belum memiliki prosedur penanganan penumpang disabilitas. Sebab, jika dicek di situs resminya, Etihad sebenarnya mewajibkan penumpang pengguna kursi roda untuk mengisi formulir medis.

Padahal, dalam peraturan internasional tertulis bahwa penyandang disabilitas bukanlah suatu penyakit, ujarnya.

Hal lain yang disoroti LBH Jakarta adalah standar ganda yang diterapkan maskapai tersebut. Dwi sebelumnya menggunakan maskapai yang sama.

“Saat itu Mba Dwi memang sedang bersama suami dan balitanya. Namun saat itu suaminya sedang sibuk mengurus anak, sehingga Mba Dwi lebih banyak dibantu oleh kru, ujarnya.

Sementara itu, dalam kejadian 5 April lalu, Dwi disalahkan pilot karena duduk di kursi darurat dan tidak memberi tahu awak pesawat bahwa dirinya cacat.

Klaim pemulihan hak

Tiwi menjelaskan, Dwi akan terus berjuang agar haknya sebagai penumpang disabilitas dikembalikan oleh Etihad Airways. Bahkan, dia juga siap jika harus menggugat maskapai Uni Emirat Arab tersebut.

Namun Mba Dwi tetap akan berusaha mengadakan pertemuan lanjutan setelah dibatalkan secara sepihak. “Dalam pertemuan ini kami akan berdialog dan memberikan masukan kepada Etihad Airways,” ujarnya tanpa memberikan informasi kapan dan di mana pertemuan tersebut akan digelar.

Dwi juga meminta Etihad Airways secara terbuka meminta maaf atas perlakuan diskriminatif yang mereka terima.

Sebelumnya, pada Selasa, 12 April, Dwi didampingi LBH Jakarta melapor ke Ombudsman. Alvin Lie, anggota ombudsman, mengatakan, dirinya akan bertemu dengan otoritas bandara Soekarno-Hatta untuk menanyakan prosedur yang diterapkan petugas bandara kepada Dwi sebelum ia naik ke pesawat.

Pada Senin, 11 April, Dwi juga bertemu dengan Kementerian Perhubungan. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan berjanji akan memanggil semua pihak dan meminta keterangan atas tindakan diskriminasi yang dialami Dwi.

“Pemerintah harusnya punya kekuatan lebih untuk menekan Etihad Airways karena pasar Etihad di Indonesia sangat besar, khususnya untuk ibadah haji,” kata Tiwi.

Dalam pertemuan tersebut, Dwi juga membawa 42 ribu tanda tangan dukungan masyarakat yang dikumpulkan melalui petisi di laman Change.org

Namun janji mempertemukan pihak terkait hingga saat ini belum terealisasi.

Menurut Tim Advokasi Anti Diskriminasi LBH Jakarta, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok disabilitas ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia pada tanggal 23 Maret 2014 pernah meminta seorang penumpang bernama Dani Suntoro untuk menandatangani surat yang menyatakan bahwa dia berada di kursi roda karena sakit.

Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa Garuda tidak bertanggung jawab jika penyakitnya semakin parah. Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi.

LBH Jakarta menyebutkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas sejak tahun 2011 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Selain itu, pada tanggal 17 Maret 2016, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas.

Namun dengan adanya kejadian tersebut, LBH Jakarta menilai peraturan tersebut tidak sejalan dengan praktik di lapangan, karena masih banyak tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. – Rappler.com

BACA JUGA:

Hongkong Pools