• November 21, 2024
Terdapat 364 kebijakan daerah yang mendiskriminasi perempuan

Terdapat 364 kebijakan daerah yang mendiskriminasi perempuan

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Kebebasan berpakaian sebagai salah satu bentuk ekspresi dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 E no.2


JAKARTA, Indonesia – Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia Ninik Rahayu menilai masih banyak peraturan daerah yang berpotensi menjadi alat diskriminasi terhadap perempuan.

Berdasarkan pantauan kami, hingga November 2014, terdapat 364 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, kata mantan Komisioner Komnas Perempuan ini dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu.

Menurut penelitian yang dilakukan Ninik Institute, pembatasan hak-hak perempuan dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

  1. Aturan berbusana
  2. Aturan qanun halwat
  3. Perlindungan pekerja migran

Pertama, pembatasan hak kebebasan berekspresi melalui kebijakan daerah terkait dress code. “Kebebasan berpakaian sebagai salah satu bentuk ekspresi dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 E no. 2,” ujarnya mencontohkan.

Ia menilai kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan tafsir agama tertentu merupakan tindakan negara yang membatasi hak berekspresi seseorang berdasarkan perbedaan keyakinan.

Selanjutnya, berkurangnya perlindungan hak dan kepastian hukum akibat kriminalisasi melalui peraturan daerah tentang prostitusi dan Qanun Khalwat (Peraturan Daerah Provinsi Aceh). Kebijakan-kebijakan seperti ini menjadikan perempuan rentan terhadap tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak melanggar hukum.

“Contohnya di Aceh, perempuan yang berinteraksi dengan laki-laki rentan mendapat hukuman karena kebijakan yang melarang kerahasiaan antar jenis kelamin dan bisa dihukum cambuk,” ujarnya mencontohkan.

Potensi diskriminasi yang terakhir adalah pengingkaran hak atas perlindungan dalam peraturan daerah tentang pekerja migran. Beberapa kebijakan daerah mengenai pekerja migran mengabaikan perlindungan perempuan, katanya.

“Khususnya tindakan kekerasan seksual dan diskriminasi berbasis gender. “Akibatnya, perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dalam usahanya mencari nafkah,” jelas Ninik.

Peraturan daerah merupakan produk otonomi daerah yang merupakan salah satu ujung tombak demokrasi, dengan tujuan mewujudkan bangsa yang mandiri, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Kebijakan desentralisasi ini juga diatur dalam undang-undang tahun 1945 yang memberikan kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan otonomi daerah agar mempunyai kemandirian dalam kemajuan masyarakatnya.

Undang-undang pemerintahan daerah juga menegaskan bahwa pembuatan peraturan daerah dapat dilakukan untuk kebijakan kriminalisasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 143 ayat 2 yang menyatakan bahwa peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana, baik penjara maupun denda. – Rappler.com dengan laporan dari Antara

BACA JUGA: