5 Wanita Yogyakarta mengolah ampas tahu menjadi kulit
- keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia – Lima perempuan di Yogyakarta membuat bahan baru dari air limbah tahu.
Mereka yang tergabung dalam XXLAB mempunyai misi memberdayakan sekelompok kecil ibu rumah tangga di Desa Srandakan, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul untuk mengolah limbah cair tahu menjadi bahan baru menyerupai kulit.
Kini XXLAB mencoba mengembangkan temuannya dengan menggunakan konsep equal business, tanpa menempatkan pekerja desa sebagai buruh yang tenaga kerjanya hanya dieksploitasi.
“XXLAB mengacu pada kromosom perempuan, XX,” kata Ratna Djuwita, salah satu dari lima pendiri XXLAB. “Awalnya karena kami semua perempuan, kami ingin memberdayakan perempuan untuk lebih memahami elektronik, tanpa harus bersekolah di sekolah khusus atau laboratorium sains.”
Bersama keempat temannya—Irene Agrivina, Asa Rahmana, Atina Rizkiana, dan Eka Jayani—Ratna berkumpul dan menciptakan XXLAB pada tahun 2014.
“Proyek ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial perempuan di Indonesia. Kita mengkritik diri kita sendiri. “Tujuannya bagaimana hal ini dapat bermanfaat dan dirasakan oleh perempuan di Indonesia.”
Saat itu seorang ilmuwan dari Austria datang untuk memasok bengkel tentang elektronika dasar bagi wanita di Yogyakarta. Dari workshop ini, XXLAB mampu menyampaikan temuannya, yaitu krim kedelai.
“Bengkelini lebih tentang elektronik dasar. Tujuannya agar perempuan dapat mengetahui dan memahami elektronika dasar tanpa terlalu bergantung pada laki-laki, kata Ratna. “Tetapi karena kita semua memiliki latar belakang yang kuat desain busanaOleh karena itu lahir krim kedelai Dia.”
krim kedelai adalah lembaran bahan mirip kulit yang terbuat dari air limbah tahu. Cara pembuatannya, air ampas tahu direbus bersama cuka, gula pasir, dan urea dengan komposisi tertentu. Setelah dingin, air dimasukkan ke dalam nampan dan diberi bakteri khusus untuk merangsang pertumbuhan selulosa. Selama proses perkembangbiakan bakteri, air dalam nampan tidak boleh terkena sinar matahari langsung untuk mencegah tumbuhnya jamur.
Dalam waktu 7 hari, selulosa terbentuk dan kulit ditiriskan hingga kering. Proses ini, menurut Ratna, tidak menghasilkan scrap atau limbah nol limbah.
“Bakteri itu disebut Acetobacter xylinum. “Sisa endapan air limbah bisa dijadikan pupuk,” kata lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung ini. “Potongan materialnya juga bisa dibuang ke tanah karena bersifat organik. Pengolahan bahan ini dapat disebutkan nol limbah.”
Temuan tersebut kemudian diajarkan kepada sejumlah ibu rumah tangga di Desa Srandakan, Bantul. Mereka adalah pengrajin krim kelapa di sana. Ibu-ibu rumah tangga di daerah tersebut mengambil air limbah tahu dari tetangganya dan mengelolanya krim kedelai.
Sekitar seminggu yang lalu, Ratna mengambil 100 lembar krim kedelai dari 4 ibu rumah tangga yang mereka latih di Srandakan. Bahan lembaran ini harganya cukup terjangkau dan dapat menambah pendapatan ibu rumah tangga.
“Itu semua sampah. “Bisa dibilang mereka hanya mengeluarkan sedikit uang untuk membeli gula, sedikit urea, dan gas untuk merebus air,” tambah mantan jurnalis majalah fashion di Bandung ini. “Para pengrajin krim kelapa Ia memiliki peralatan yang dapat digunakan untuk membuatnya krim kedelai.”
Ratusan lembar kain tersebut kemudian diolah kembali di dapur anggota XXLAB agar lebih halus dan berwarna dengan pewarna alami. Bahan mirip kulit tersebut kemudian diubah menjadi sepatu, tas, dan berbagai pakaian.
Kata Ratna, materi krim kedelai Memiliki karakteristik mirip dengan kulit sapi, tahan air, ringan, tahan lama dan tidak mudah sobek. Kini XXLAB menjalankan operasinya di Honfablab, sebuah laboratorium terbuka di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta.
Saya merasa bersalah terhadap perempuan Indonesia
Kulit kedelai atau kulit kedelai Temuan XXLAB mengantarkan 5 perempuan ini meraih penghargaan bergengsi pada kompetisi Prix ars Electronica di Austria pada tahun 2015, sebuah kompetisi seni dan media digital. Para juri terkesan dengan konsep tersebut kulit kedelai yang berkelanjutan terbuat dari air limbah tahu.
Temuan ini berasal dari konsep yang mirip dengan metode yang digunakan untuk menciptakannya krim kelapa dan bisa dilakukan oleh ibu rumah tangga manapun dengan peralatan sederhana.
Sejak saat itu, banyak penghargaan dan undangan berdatangan dari Eropa, mulai dari Austria, Prancis hingga Norwegia. Namun, rasa bersalah merayapi benak kelima Kartini tersebut.
“Kalau kita balik ke sini nanti dikritik, kalau tidak ada perhatian dari perempuan di sini, apa gunanya semua ini? “Bagaimanapun, semua proyek ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial perempuan di Indonesia,” kata Ratna. “Kami mengkritik diri kami sendiri. Tujuan kami berikutnya adalah bagaimana hal ini dapat bermanfaat dan dirasakan oleh perempuan di sini.”
Saat ini, siapapun bisa melakukannya krim kedelai seperti temuan XXLAB. Hal ini mudah ditemukan di berbagai media sosial, salah satunya YouTube—situs video yang juga menjadi tempat Ratna dan kawan-kawan mendapatkan informasi awal dan cara krim kedelai.
Kondisi tersebut pula yang menyebabkan Ratna dan keempat temannya menggunakan label tersebut kreatif pada umumnya pada kreasi mereka. Artinya siapapun bisa membuat hal yang sama tanpa perlu khawatir dengan masalah paten.
Sebuah angka bengkel masih dilakukan untuk mendorong perempuan agar lebih terlibat dalam sains. Bantuan di Desa Srandakan juga terus berlanjut.
Mencari konsep bisnis yang setara
Meskipun kulit kedelai Saat ini produksi perempuan di Desa Srandakan hanya diserap oleh XXLAB. Ratna tak mau mengejar investor yang kemudian merugikan produsen kulit kedelai dieksploitasi.
Sejak menjuarai kompetisi di luar negeri, nama XXLAB mulai dikenal beberapa produsen merek ternama di Eropa dan Australia. Sejumlah tawaran datang untuk mengajak XXLAB berkolaborasi, salah satunya dari merek kelas atas di dunia, Cartier.
Namun tawaran tersebut tidak terealisasi karena XXLAB khawatir investasi tersebut hanya dilakukan oleh ibu rumah tangga dan pengrajin krim kedelai, dieksploitasi dan menjadi kelompok yang paling dirugikan.
“Kami khawatir akan ada masalah dengan hak paten. “Kami juga tidak ingin keuntungan besar hanya didapat oleh kami yang berada di kota dan berpendidikan tinggi,” aku Ratna. “Sementara krim kedelai Ini melibatkan banyak pihak, mulai dari perajin tahu hingga ibu-ibu rumah tangga yang membuat kerajinan tangan krim kelapa di kota.”
XXLAB saat ini sedang merencanakan sebuah konsep untuk berkolaborasi dengan investor dan menciptakan produk kerja nyata secara berkelanjutan yang dapat digunakan oleh konsumen. Kerja sama juga diharapkan mampu memperbaiki kekurangan yang ada kulit kedelai Saat ini ukuran kulitnya belum bisa sepanjang dan selebar kulit sapi.
“Targetnya tahun ini ada kerja nyata. Konsepnya berkolaborasi, mengembangkan dan meneliti dengan investor dan semua orang mendapat manfaat yang sama, kata Ratna. —Rappler.com