Penderitaan korban tsunami Aceh menanti di rumah
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia – “Selamat datang di Stand Pengungsi Korban Tsunami Barak Bakoy.” Tulisan berwarna kuning berlatar belakang biru itu tertulis di spanduk yang terbentang di gerbang kantor Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Jalan Pelangi, Kampung Keramat, Banda Aceh.
Sejumlah korban tsunami tinggal di kantor Yara: laki-laki tinggal di garasi, sedangkan perempuan tinggal di ruang belakang dan dapur. “Ini nasib kami setelah diusir dari barak,” kata Nuruzzahri (38 tahun) kepada Rappler, Senin 22 Mei 2017.
Barak Bakoy merupakan tempat penampungan korban tsunami Aceh yang berdiri di tepi Krueng (Sungai) Aceh, Desa Bakoy, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Barak yang dibangun pada akhir tahun 2005 ini menjadi pusat pemukiman terakhir sebelum para korban diberikan rumah.
Seperti diketahui, bencana tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 menyebabkan lebih dari 200 ribu orang meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.
Sepanjang tahun, jumlah barak selalu berkurang. Misalnya, pada tahun 2014 hanya tersisa lima barak yang dihuni 30 Kepala Keluarga (KK). Satu barak lonjong berisi enam kamar untuk enam keluarga. Pada Desember 2016, dua barak dibongkar karena sebagian korban yang menemukan rumahnya pindah. Tujuan pembongkaran adalah untuk memastikan barak kosong tersebut tidak ditempati orang lain, serta untuk menentukan lokasi tanggul.
Hingga 26 Maret 2017, meski masih ada korban tsunami yang bermukim di sana, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar membongkar sisa 3 bangunan barak yang ditempati 18 kepala keluarga. Satpol PP dan polisi setempat menggusur tempat tersebut, yang masih tersisa diminta pindah. “Kami tidak tahu harus ke mana,” kata Nuruzzahri.
Mereka yang masih tinggal kehilangan tempat berlindung. Ada pula yang masih berusaha bertahan hidup di sana dengan mendirikan tenda, namun keesokan harinya mereka terusir dari tanah pemerintah. Beberapa korban tsunami kemudian tinggal bersama keluarganya. Hanya 6 kepala keluarga yang tinggal di kantor YARA.
Berlin Silalahi adalah salah satunya. Seorang pria lumpuh yang memohon untuk disuntik mati setelah menjadi pengungsi dan semakin tidak berdaya. Namun kemudian Pengadilan Negeri Banda Aceh menolak permohonannya dalam putusan pada 19 Mei 2017.
***
Perjuangan mencari rumah bukan perkara mudah bagi Habibah, salah satu korban tsunami. Saat ditanya Rappler, perempuan paruh baya itu segera menunjukkan surat keterangan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR), tertanggal Maret 2009. Surat ini cukup menjadi bukti baginya, sebagai korban tsunami, berhak mendapatkan rumah buatan BRR. , terletak di Desa Labuy, Baitussalam, Aceh Besar.
BRR merupakan lembaga khusus bentukan pemerintah yang bertugas menangani segala hal terkait rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami. Badan yang dipimpin Kunturo Mangkusubroto ini berhenti bertugas pada 16 April 2009. Pada tahun berikutnya, tugasnya diambil alih oleh Badan Keberlanjutan Rekonstruksi Aceh (BKRA) untuk melanjutkan sisa tugasnya.
Habibah bercerita tentang awal mula kesedihannya. Tsunami pada 26 Desember 2004 menghancurkan tempat tinggal yang disewanya di Desa Ajun Lampasie, Aceh Besar. Meski suaminya selamat, salah satu anaknya meninggal dan banyak kerabatnya yang hilang akibat bencana dahsyat tersebut.
Dia melarikan diri bersama ribuan penduduk desa yang masih hidup. Awalnya dia tinggal di tenda di Desa Lambisnis, pindah ke tenda di sekitar Pendopo Gubernur Aceh, kemudian ke Barak di Lampasie dan Barak di Sibreh dan terakhir tinggal di Barak Bakoy sejak tahun 2007.
Di penghujung tahun 2009, ia mendapat kabar bahwa rumah yang diperuntukkannya sudah siap ditempati. Saat kami hendak pindah ke rumah yang dimaksud, penghuninya sudah ada di sana. “Rumah saya dibobol oleh warga di sana yang juga mengaku korban tsunami,” ujarnya.
Ia mengadu kepada pihak terkait, namun juga tidak mampu mengusir orang yang tidak berkepentingan tersebut dari rumah yang disediakan untuknya. Pemerintah kemudian menjanjikannya sebuah rumah yang dibangun oleh lembaga donor di Desa Lam Ujong, Aceh Besar. Sekali lagi rumah itu juga penuh. Dia kembali ke barak, tak berdaya. “Saya sudah mengeluh sana-sini, tapi kenyataannya saya masih di sini sampai sekarang,” ujarnya.
Hal senada juga dituturkan Abdullah dan istrinya Puspa Dewi. Sebelum terjadi tsunami, mereka menyewa rumah di Lhoknga, tempat yang juga hancur diterjang gelombang raksasa. “Setelah lebih dari 12 tahun, hak kami atas rumah hilang,” ujarnya.
Rekan mereka, Nurul, sedikit lebih bahagia. Korban tsunami yang awalnya menyewa toko untuk usaha kateringnya di kawasan Jeulingke, Banda Aceh, juga tinggal di Bakoy Barak. Pada tahun 2009, ia mendapat rumah di Jantho, ibu kota Aceh Besar, sekitar 50 kilometer dari Banda Aceh. “Saya sudah punya rumah, tapi saya selalu memperjuangkan teman-teman yang tidak punya rumah,” ujarnya.
Nurul dipercaya rekan-rekannya untuk memperjuangkan rumah bagi mereka dan menyimpan seluruh dokumen penting bagi korban tsunami yang tidak memiliki tempat tinggal. “Berikut semua dokumennya lengkap, mulai dari surat keputusan bagi yang berhak atas rumah, hingga sertifikat lainnya dari pemerintah,” ujarnya sambil menunjukkan dua tas.
***
Keluhan terakhir korban tsunami adalah ketika barak mereka digusur. Mereka meminta perlindungan hukum kepada YARA dan mengadukan kondisi mereka ke Komnas HAM. “Kami akan terus berjuang, semuanya harus diberi rumah,” kata Safaruddin, Ketua YARA.
Menurutnya, pihaknya terus memperjuangkan hak-hak mereka. Targetnya, setidaknya para korban bisa keluar dari kantornya dengan jaminan dari pemerintah bahwa mereka akan mempunyai rumah. “Sejauh ini pemerintah mempunyai niat baik terhadap mereka,” lanjutnya.
Sekretaris Daerah Aceh Besar Iskandar mengatakan, rencana pembongkaran seluruh barak tersebut sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2012, namun karena masih ada warga yang tinggal di sana, rencana tersebut selalu ditunda. “Sebenarnya bukan hanya tanggung jawab Aceh Besar saja, tapi juga Provinsi Aceh dan pusat,” ujarnya.
Pada akhir April 2017, Pemerintah Aceh Besar bersikeras untuk membongkar seluruh barak tersebut karena sedang diadakan acara nasional di Banda Aceh, yaitu Pekan Nasional Kontak Tani-Nelayan Subsisten (Penas KTNA). Tekanannya agar tidak ada lagi pengungsi tsunami di Aceh.
Menurut Iskandar, ada hal lain yang lebih penting. Warga di Desa Bakoy tidak menyukai keberadaan barak di sana. Di barak tersebut, diduga ada satu kontainer berisi barang curian. Selain itu, pernah digerebek polisi dan menjadi tempat jual beli sabu. “Karena dianggap meresahkan, warga kota tidak mau peduli.”
Padahal, kekuasaan Aceh Besar hanya pada 3 kepala keluarga. Dua di antaranya meninggal dan hanya tersisa satu keluarga. Selebihnya sebelumnya menjadi tanggung jawab BRR karena bukan warga ber-KTP Aceh Besar.
Selain itu, Pemerintah Aceh Besar terus berupaya membantu memfasilitasi perumahan bagi mereka. Pihaknya, kata Iskandar, berkoordinasi dengan Dinas Sosial Aceh bahkan Kementerian Sosial datang ke Jantho untuk membicarakan permasalahan tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) juga akan membantu.
Lokasi tanah di Jantho, ibu kota Aceh Besar, sebenarnya bisa disiapkan untuk mereka. Namun ada juga yang menolak tinggal di sana karena jauh dari tempat kerja mereka. Pemkab Aceh Besar tengah menyelidiki Kantor Keuangan Negara untuk menghibahkan sisa lahan di Neuhen, Aceh Besar, di kompleks perumahan korban tsunami yang sebelumnya dibeli BRR. “Kami juga duduk bersama YARA untuk memikirkan masalah ini bersama-sama.”
Iskandar mengaku sebenarnya mereka semua sudah menerima bantuan perumahan. Namun diambil alih oleh masyarakat sekitar lokasi. Alasannya bermacam-macam, misalnya rumah yang diperuntukkan sudah lama tidak dihuni. Permasalahan ini pun sudah dilaporkan ke Muspika dan pihak kepolisian, namun mereka juga tidak mampu mengusir penghuni yang tidak berkepentingan tersebut.
Dari ruang belakang kantor YARA, Habibah, Puspa Dewi, Berlin dan Nuruzzahri masih mengharapkan haknya. “Tolong tanyakan kepada pemerintah, kapan kita akan mendapat rumah,” seru Habibah. —Rappler.com