Akankah Abu Sayyaf membebaskan 10 sandera WNI tersebut?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Suara zikir dan doa terdengar dari kediaman keluarga Bayu Oktaviyanto, salah satu awak kapal tunda Brahma 12 yang ditangkap kelompok Abu Sayyaf di lepas pantai Kepulauan Sulu, Filipina. diculik. pada hari Sabtu, 26 Maret. Artinya, Bayu dan 9 awak kapal lainnya disandera selama lebih dari dua minggu oleh kelompok yang didirikan pada tahun 1990-an itu.
Ayah Bayu, Sutomo mengaku khawatir anaknya akan dirugikan oleh anggota kelompok teroris tersebut.
“Kami meminta foto atau video kondisi terakhir para sandera. Setidaknya agar kami sedikit lega, kata Sutomo saat ditemui Rappler di kediamannya, Klaten, Jawa Tengah, Jumat, 8 April.
Sutomo mengaku kegelisahannya semakin bertambah ketika media memberitakan batas waktu penyerahan uang tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp 14,2 miliar jatuh pada Jumat pekan lalu. Namun ketika pihak perusahaan menerima kabar bahwa penculik tidak pernah menetapkan tenggat waktu, dia merasa sedikit lega.
Sutomo dan keluarganya kemudian mendesak pihak perusahaan segera mengambil keputusan untuk menebus para sandera.
“Kami ingin putra kami segera bebas. “Kami berbicara dengan perwakilan perusahaan melalui telepon untuk segera membeli sandera tersebut,” kata Sutomo.
Apakah perlu membayar uang tebusan?
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan pengamat Filipina Adriana Elisabeth mengatakan, meski membayar uang tebusan merupakan cara tercepat untuk membebaskan para sandera, namun hal tersebut bukanlah satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan nyawa 10 WNI tersebut.
Dari data yang dilacak di media on linesebagian besar sandera baru dibebaskan setelah keluarga atau kerabatnya menyerahkan uang tebusan.
“Tetapi sejak awal pemerintah menolak membayar uang tebusan. Kalau pemerintah tidak mau membayar, bisakah mereka meminta perusahaan pemilik kapal untuk membayar?” tanya Adriana saat dihubungi Rappler melalui telepon, Senin, 11 April.
Adriana mengingatkan, dalam upaya pembebasan para sandera, komunikasi intensif harus dilakukan dengan kelompok Abu Sayyaf. Sebab, jika nantinya opsi pembayaran uang tebusan disepakati, Indonesia sudah memiliki orang-orang di grup tersebut yang bisa dihubungi.
Selain itu, fungsi menjalin komunikasi bertujuan untuk lebih memahami faksi mana yang menyandera 10 WNI tersebut. Sebab di Filipina bagian selatan, ada beberapa faksi yang melakukan kejahatan serupa.
“Saya tidak tahu siapa yang melakukan kontak dengan mereka. Namun bisa saja perusahaan melakukan perjanjian tersebut karena pemerintah tidak ingin berhadapan langsung dengan teroris, ujarnya.
Adriana menyarankan, orang-orang yang tergabung dalam tim perunding sebaiknya adalah individu-individu yang pernah melakukan kontak dengan kelompok tersebut.
“Teroris disebut sebagai pelaku tindak pidana transnasional. Artinya kita juga perlu mengetahui siapa saja yang ada di dalam jaringan tersebut. “Jadi salah satunya bisa melalui individu (yang tergabung dalam jaringan),” kata Adriana.
Narapidana Bom Bali I, Umar Patek dikabarkan mengajukan diri sebagai negosiator untuk membebaskan 10 sandera. Sebagai imbalannya, mantan anggota Jemaah Islamiyah itu meminta hukumannya diringankan. Namun Wakil Presiden Jusuf Kalla menolak usulan tersebut.
Adriana tak memungkiri, jika uang tebusan diberikan, bisa jadi penculikan serupa akan terulang lagi di lain waktu.
Artinya keamanan di wilayah laut antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia harus ditingkatkan. “Kelompok yang beroperasi di kedua wilayah tersebut mungkin berbeda, tetapi mereka pasti saling terkait,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, kelompok Abu Sayyaf mencari penghasilan melalui pembajakan. Hal ini sudah mereka lakukan sejak tahun 1990an.
Lantas langkah apa lagi yang dilakukan Indonesia jika tak mau membayar uang tebusan?
Adriana menilai Indonesia harus terus menekan pemerintah Filipina untuk mengupayakan pembebasan 10 sandera tersebut.
“Oleh karena itu, tekanan terhadap pemerintah Filipina harus terus ditingkatkan. Jangan hanya menunggu. “Harus ada upaya paralel antara pemerintah Indonesia dan Filipina dalam upaya pembebasan para sandera,” ujarnya.
Adriana menilai upaya pembebasan sandera ini merupakan ujian bagi negara-negara anggota ASEAN. Harus ada, kata dia, mekanisme yang dimiliki organisasi Asia Tenggara untuk mempermudah penanganannya.
Membangun kepercayaan
Menurut sumber Rappler yang terlibat dalam upaya pembebasan 10 WNI tersebut, pemerintah sementara membangun kepercayaan dengan Abu Sayyaf untuk memfasilitasi realisasi berbagai opsi yang akan ditempuh, termasuk pembayaran uang tebusan.
Sumber tersebut juga membenarkan adanya rencana melibatkan Umar Patek dalam proses perundingan. Namun kemungkinan besar rencana tersebut tidak akan terwujud karena bocor ke media.
“Dia sudah lama tinggal di Filipina selatan dan memiliki koneksi dengan jaringan tersebut. “Intinya kami tetap melakukan semua komunikasi yang dianggap perlu,” kata sumber tersebut menjelaskan alasan keterlibatan Umar Patek.
Sumber tersebut juga mengatakan bahwa opsi yang paling mungkin dilakukan Indonesia adalah membayar uang tebusan. Namun yang membayar adalah PT Patria Maritime Lines.
“Tapi, kalau memang begitu didirikan mau bayar, pertanyaan selanjutnya ditaruh dimana uangnya? Jika uang ditempatkan di pulau, maka harus dikirim melalui kapal. “Apakah Abu Sayyaf yakin kapal yang mengantarkannya kosong?” sumber itu bertanya, mengatakan itulah gunanya membangun kepercayaan.
Lanjutnya, uang tersebut akan digunakan Abu Sayyaf untuk membiayai pergerakannya dan membeli logistik. Mereka saat ini kekurangan bahan logistik.
Di masa lalu, Indonesia punya pengalaman berhasil membebaskan sandera dari cengkeraman Abu Sayyaf tanpa membayar uang tebusan. Saat itu, nakhoda kapal Bonggaya 91, Ahmad Officialadi, berhasil dibebaskan pada Maret 2005 melalui operasi rahasia terpadu. Operasi yang berlangsung berbulan-bulan ini melibatkan berbagai unsur seperti TNI, BIN, BAIS, dan Polri.
Purnawirawan Inspektur Jenderal Benny Joshua Mamoto memimpin proses perundingan saat itu dan berhasil membebaskan Ahliadi tanpa membayar uang tebusan dan tanpa cedera.
Jadi, bisakah operasi yang sama terulang? Sumber tersebut mengatakan situasinya berbeda sekarang. Apalagi, Angkatan Bersenjata Filipina melakukan operasi militer pada Sabtu, 9 April dan gagal. Sebanyak 18 pasukan elit mereka tewas di tangan Abu Sayyaf.
Peristiwa itu terjadi di Pulau Basilan dan jauh dari tempat penahanan 10 WNI tersebut.
“Namun mereka kini semakin waspada, jadi kita juga harus waspada. “Seiring berjalannya tentu kami akan mencari solusi terbaik demi keselamatan 10 WNI tersebut,” ujarnya. – Rappler.com
BACA JUGA: