Akibat sengketa tanah, siswa SD Makassar terpaksa belajar di pinggir jalan
- keren989
- 0
Siswa ketiga sekolah dasar tersebut terancam tidak bisa mengikuti ujian nasional pada 15 Mei mendatang jika sengketa lahan tidak segera diselesaikan.
MAKASSAR, Indonesia – Siswa SD Makassar terpaksa belajar di pinggir jalan pada Kamis pagi, 4 Mei. Sebab, gedung sekolah tempat mereka belajar berada dalam wilayah sengketa antara ahli waris dengan Pemerintah Kota Makassar.
Ahli waris mengaku Pemkot Makassar belum membayar tanah tersebut. Karena kesal, sang pewaris akhirnya menyegel tiga gedung sekolah yakni SD Negeri Pajjaiang, SD Inpres Pajjaiang, dan SD Inpres Sudiang yang terletak di Jalan Pajjaiang, Kelurahan Sudiang Raya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Kepala Sekolah SD Negeri Pajjaiang, Intang mengaku kaget melihat banyak siswa yang menunggu di depan pagar. Ternyata kedua pintu masuk kompleks SD tersebut disegel oleh ahli waris tanah sehingga tidak bisa masuk.
“Daripada memulangkan siswa, kami tetap melanjutkan proses belajar mengajar. Awalnya kami melakukannya tepat di depan sekolah, namun karena banyak kendaraan yang lalu lalang, akhirnya kami pindah ke kantor Samsat II Makassar, kata Intang, Kamis, 4 Mei.
Sementara itu, Kepala UPTD Dinas Pendidikan Makassar Masdir mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan koordinasi awal dengan keluarga ahli waris. Ia berharap ahli waris mau membuka segel di pintu masuk sekolah.
Hasil diskusi dengan ahli waris, dia meminta agar tanah tersebut segera dibayarkan. “Kami akan berusaha mengembalikan proses belajar mengajar di setiap sekolah,” kata Masdir.
Di tempat lain, Kepala Desa Sudiang Andi Wahyu Rasyid Azis mengatakan, usai berbincang dengan ahli waris, dirinya sepakat memfasilitasi pertemuan ahli waris dengan Komisi A DPRD Kota Makassar. Ia juga membujuk ahli waris untuk membuka segel pintu masuk sekolah agar siswa dapat kembali belajar normal.
“Status tanah sekolah memang belum bersertifikat, sedangkan gedung sekolah merupakan aset negara. “Sekolah ini sudah lama diusulkan renovasi pada Musrembang, namun tidak pernah disetujui karena tanahnya bukan aset pemerintah,” ujarnya.
Tidak pernah mendengar hal tersebut
Melihat ke belakang, ahli waris tanah, Said B mengatakan, sengketa tanah sekolah sudah berlangsung sejak tahun 1975. Sejak awal, kata Said, status tanah tersebut adalah hak pakai hasil dan bukan tanah wakaf.
Pihak keluarga beberapa kali melakukan upaya negosiasi dengan Pemerintah Kota Makassar untuk membayar biaya ganti rugi atas tanah seluas 5.000 meter persegi yang digunakan sebagai gedung sekolah. Sayangnya, tidak pernah ada tanggapan.
Oleh karena itu, ia berinisiatif menutup atau menutup sekolah hingga ada kepastian dari pemerintah mengenai pembayaran ganti rugi.
“Kami turut menyayangkan melihat siswa belajar di pinggir jalan. Tapi kami juga punya hak untuk menuntut hak kami. “Kami berharap pemerintah bisa memberikan kepastian secepatnya kepada kami,” kata Said.
Dalam surat yang ditujukan kepada Pemkot Makassar, ahli waris mencantumkan harga penawaran tanah sebesar Rp 2,5 juta per meter. Namun Pemkot Makassar tak menanggapi surat tersebut. Selanjutnya tawar menawar harga tanah.
“Kalau itu tanah wakaf tolong tunjukkan bukti dokumennya. Itu bukan tanah wakaf, melainkan tanah warisan,” kata Said.
Dapat mengganggu ujian nasional
Penyegelan halaman sekolah yang dilakukan oleh ahli waris tanah menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru dan siswa. Pasalnya siswa harus menghadapi Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar pada 15 Mei mendatang.
“Ujian sudah dekat, sementara kami sekarang harus melaksanakan proses belajar mengajar di sini. “Kasihan para siswa,” kata Kepala SD Inpres Sudiang, Hadina.
Meski gedung sekolah disegel, ia mengaku aset sekolah masih aman dan tidak tersentuh. Proses penyegelan baru dilakukan tadi malam.
Ia berharap Pemkot Makassar dan ahli waris tanah bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya. Hadina khawatir jika ahli waris terus menyegel sekolah tersebut, proses pembelajaran akan terganggu hingga Ujian Nasional berikutnya.
“Kami ingin cepat kembali bersekolah, bagaimana nasib siswa tahun terakhir? Mereka membutuhkan persiapan ujian. “Kami hanya mendapat satu pelajaran lalu kami pulang,” kata Hadina.
Ia mengaku tidak sanggup membiarkan siswanya belajar di pinggir jalan hingga siang hari karena membahayakan keselamatan mereka. – Rappler.com