Aksi 212 dan sekilas semangat NKRI
- keren989
- 0
Kasus Ahok pun dilimpahkan ke pengadilan. Tidak perlu menunjukkan kemarahan dalam protes damai
Kalimat-kalimat tersebut menyampaikan semangat NKRI, Harga Mati, dan pemajuan Bhinneka Tunggal Ika yang kini sedang gencar-gencarnya. Kalimat-kalimat tersebut digunakan oleh panitia dan peserta aksi ini dan itu, termasuk yang bertema bela agama Islam dan menggalakkan rasa cinta tanah air.
Di antara keduanya, muncul suara-suara berbeda pendapat, termasuk mereka yang ingin menggulingkan kepemimpinan secara inkonstitusional. Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang outlier. Jumlahnya kecil. Suaranya keras. Tidak bisa dianggap enteng. Namun juga tidak perlu mengeluarkan terlalu banyak tenaga untuk merawatnya.
Sejak Oktober lalu, masyarakat disuguhi berbagai demonstrasi, aksi, dan parade. Terakhir, pada Rabu, 30 November, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menggelar Konferensi Nusantara Bersatu. Acara yang juga dihadiri Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian itu dihadiri ribuan peserta yang memadati Lapangan Monumen Nasional Jakarta Pusat. Acara serupa digelar serentak di beberapa kota. Besar sekali.
Pada Jumat, 2 Desember, ratusan ribu peserta aksi ibadah bersama juga akan memenuhi Monasplein. Mabes Polri memperkirakan #Aksi212 akan diikuti sekitar 250 ribu orang. Drama yang berujung pada aksi Bela Islam yang akhirnya dikemas dalam Ibadah Jumat bersama ini berlangsung sangat lama dan membuat tegang seluruh tanah air. (BACA: Polisi menyentuh hati peserta aksi 2 Desember dan mengerahkan pasukan Asmaul Husna).
Kepada mereka yang aktif dalam memperjuangkan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika, saya ingin mengajak anda untuk mengingat beberapa hal. Undangan ini juga berlaku untuk saya alias #note2self.
Semangat NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan semangat yang harus diterapkan secara konsisten dari waktu ke waktu dan melandasi lapisan masyarakat paling bawah, termasuk mereka yang pernah mengalami diskriminasi baik secara ekonomi, sosial, agama, agama, suku. , gender dan perlakuan hukum. Hari ini saya sedih dengan apa yang dialami sejumlah masyarakat Papua dalam aksi menuntut referendum. Perasaan serupa juga terjadi ketika terjadi tindakan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah dan/atau Syiah.
Ketika sebagian warga masih merasa diperlakukan tidak adil (injustice), maka ada ancaman bagi NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Saya teringat kalimat pedas Buya Syafii Maarif: “Kejahatan membusuk dari kepala mereka.” Hukuman ini dijatuhkan terkait sikap korupsi yang dilakukan pejabat publik.
Saya rasa hal ini berlaku bagi para pemimpin dalam segala hal, termasuk memberikan contoh kepada warga negara. Popularitas seorang pemimpin bisa terkikis ketika masyarakat melihat pemimpin tersebut bertemu dengan tokoh-tokoh yang dikenal memiliki rekam jejak buruk, termasuk dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi.
Koruptor, perusak lingkungan hidup, pelanggar HAM, teroris kekerasan, pejabat publik yang mengutamakan korporasi di atas kepentingan rakyatnya, nyatanya merupakan ancaman bagi NKRI. Saya ingat ada slogan politik pada kampanye pemilu presiden 2014, “orang baik, dukung orang baik”.
Menurut saya, ini adalah slogan yang buruk dan berujung pada perpecahan masyarakat Indonesia, dan masih terasa hingga saat ini. Memposting orang yang tidak tergabung dalam grup atau mendukung grup sebagai orang adalah hal yang tidak baik. Membangun tembok pembatas. Menciptakan masyarakat yang terpecah oleh pilihan politik.
Slogan-slogan seperti ini sama berbahayanya dengan slogan-slogan yang mengatakan orang yang tidak seiman adalah kafir sehingga darahnya halal. Coba kita renungkan ketika kita meneriakkan NKRI, dan ketika kita memupuk seseorang sebagai ikon Bhinneka Tunggal Ika.
Dua minggu setelah janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menangani kasus dugaan penodaan agama yang menimpa Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama, kita melihat tindakan cepat yang dilakukan polisi dan jaksa. Hari ini, kejaksaan melimpahkan berkas perkara Ahok ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Semuanya terjadi dalam waktu kurang dari satu bulan.
Saya paham masih banyak pihak yang mempertanyakan integritas proses hukum, termasuk institusi peradilan kita. Namun, saya berharap tindakan cepat aparat dapat membantu meredam tensi politik terkait Pilkada DKI Jakarta. Tuntutan proses hukum telah dilakukan. Polisi pun memberikan jalan tengah dengan memberikan jalan dan dukungan terhadap pelaksanaan aksi ibadah bersama #212 di Lapangan Monas. Jika Jokowi bisa ikut salat Jumat berjamaah hari ini, maka situasi akan semakin tenang.
Catatan bagi para penggiat politik, termasuk para pendukung Jokowi, agar tidak menyia-nyiakan upaya-upaya buruk yang dilakukan Jokowi.
(BACA: Apakah Aksi Bela Islam pada 2 Desember Masih Perlu?)
Kamis siang, 1 Desember, saya menyimak langsung kisah di balik layar perundingan dan persiapan pengamanan aksi ibadah 2 Desember, dari kisah Kapolri Tito Karnavian. Ia berusaha tampil ceria dan optimis aksi akan berlangsung damai. Salah satunya karena komitmen koordinator aksi. Sejumlah kritik dan masukan saya sampaikan.
Kapolri terbuka terhadap kritik masyarakat dan media. Saya harap protes ini berlangsung damai. Bukan karena Tito atau Jokowi. Tapi karena saya yakin, jika ada yang ingin melakukan kerusuhan dan melakukannya saat ini, maka korban pertama adalah masyarakat biasa, peserta aksi, yang memang ingin beribadah agama dan menunjukkan rasa cinta.
Minggu ini saya bertemu dengan 3 sumber asing. Semua orang bertanya, “bagaimana situasi di Indonesia saat ini? Saya mendapat informasi bahwa kondisinya kritis.” Saya menjawab, “Memang ada kerusuhan, ketegangan meningkat, tapi saya yakin Indonesia baik-baik saja.
Dan Jokowi sebagai presiden, penguasa, dan kita semua mendapat hikmah penting dalam dua bulan terakhir ini, yaitu kita tidak bisa menganggap enteng aduan warga. Tidak peduli seberapa kecilnya mereka. Karena ketidakpuasan bisa tumbuh kapan saja. Ketika ukurannya menjadi terlalu besar, pengelolaannya menjadi semakin sulit. – Rappler.com