Akulturasi Islam dan tradisi lokal pada batik Al-Quran
keren989
- 0
SOLO, Indonesia – Ramadhan tidak hanya istimewa bagi umat Islam karena merupakan bulan puasa, tetapi juga karena Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, pembawa ajaran Islam, di bulan suci tersebut. Setiap tanggal 17 Ramadhan, hari turunnya ayat pertama, umat Islam di berbagai negara memperingatinya dengan berbagai cara, seperti menghafal Al-Qur’an.
Di Desa Laweyan, Solo, Jawa Tengah, sejumlah masyarakat membatik dengan menggunakan teks Alquran malam (lilin batik panas) di atas kain putih ukuran 80 x 115 cm berbingkai motif batik kawung. Untuk pertama kalinya di dunia, mereka membuat mushaf Alquran dari batik.
Ide ini datang dari Yayasan Penulisan Al-Quran Indonesia, Yayasan Yasin Amal dan kelompok perajin batik Laweyan sebagai bagian dari gerakan Solo Batik Quran (SBQ) tahun ini. Gerakan ini tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan karya monumental berupa mushaf batik pertama di dunia, namun juga untuk menggugah semangat kajian Al-Qur’an.
Oleh karena itu, mereka melibatkan masyarakat umum, termasuk pelajar, pelajar, dan siapapun yang tertarik untuk menulis (menyalin) Al-Qur’an. Sedangkan membatik hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai keterampilan, karena membatik pola keramat memerlukan ketelitian yang tinggi agar tidak terjadi kesalahan.
Menetes malam sebuah canting (pena tradisional untuk membatik) yang secara tidak sengaja dapat membuat titik-titik yang membingungkan huruf hijaiyah jika lepas.
“Ini bukan batik komersil, tapi gerakan bersama yang melibatkan semua pihak, mulai dari pembatik hingga ulama,” kata Alpha Fabela Priyatmono, penggagas pembuatan batik mushaf Al-Quran.
Orang-orang yang terlibat dalam penyalinan ayat secara langsung akan membaca teks Al-Qur’an dan kemudian menuliskannya di atas kain. Metode ini terinspirasi dari Follow the Line, yaitu metode menulis dan membaca Al-Qur’an dengan menebalkan garis-garis tipis huruf hijaiyah bersambung yang menghubungkan ayat-ayatnya.
“Bukan sekedar berkarya, tapi gerakan mengenal Al-Quran dan lebih dekat lagi,” kata Heru Joko Waluyanto dari Yayasan Penulisan Al-Quran Indonesia.
Proses manual
Pembuatan mushaf batik semuanya dilakukan dengan tangan, dimulai dengan memotong kain polos menjadi lembaran seperti halaman buku, kemudian menggambar pola batik pada bingkainya dengan pensil. Bagian tengahnya berisi ayat-ayat Alquran, persis disalin dari kitab suci yang diperbesar.
Setelah pola dibuat dengan pensil, pembatik mengentalkannya dengan bantuan malam yang dimasak. Proses ini paling rumit karena pola yang dibuat dengan cara dimiringkan akan menghasilkan naskah akhir berwarna putih atau krem karena tidak diwarnai pada proses pewarnaan. malam berfungsi untuk menutupi benang rajutan pada kain terhadap penetrasi pewarna serat.
Setelah pembatikan selesai, kain diperiksa bersama oleh penghafal Alquran dan ahlinya. Jika dalam proses koreksi ditemukan kesalahan, cacat atau huruf atau karakter yang berlebihan, maka akan diperbaiki sebelum dicap untuk proses akhir yaitu pengecatan warna.
Lembaran kain yang bertuliskan ayat suci ini akan dicelupkan ke dalam larutan pewarna alami (pewarna alami) berbahan dasar kayu soga yang menghasilkan warna coklat klasik khas batik Solo. Pencelupan dilakukan hingga lima kali untuk mendapatkan intensitas warna yang cemerlang.
“Proses terakhirnya adalah menyusun halaman-halamannya secara berurutan seperti Al-Quran,” kata Alpha.
Pembuatan mushaf batik ini diperkirakan memakan waktu sekitar satu tahun dan baru selesai pada Ramadan 2017 dengan melibatkan ratusan orang. Empat orang mengerjakan setiap helai kain, mulai dari membuat pola, membatik, mengoreksi tulisan Arab sesuai standar Al-Quran, hingga mewarnai kain.
Diperkirakan batik quran akan menggunakan kain katun putih sepanjang ribuan meter. Berbeda dengan halaman kertas yang bisa memuat teks bolak-balik atau satu lembar untuk dua halaman, batik hanya bisa dibuat dari satu lembar kain untuk satu halaman. Jadi jumlah lembar kain yang dibutuhkan adalah dua kali halaman bubur kertas.
Islam dan budaya lokal
Pembuatan Al-Quran, menurut Alpha, merupakan proses akulturasi antara teks asli Arab dengan proses pembuatan batik Jawa, serta melibatkan motif tradisional Indonesia. Pembuatan mushaf batik ini juga merupakan wujud bahwa Islam selaras dengan nilai-nilai adat.
“Karena buatan Indonesia, kami ingin menonjolkan karakter lokal pada ornamen Al-Quran. “Dalam bingkai halamannya, kami akan mencantumkan seluruh motif tradisional Indonesia, tidak hanya motif Jawa, tapi juga motif Kalimantan, Papua, dan daerah lainnya,” kata Alpha.
Batik Al-Qur’an merupakan upaya untuk menegaskan kembali risalah Islam di Pulau Jawa yang disebarkan oleh Wali Songo secara damai – penerimaan budaya dan adat istiadat setempat sebagai media dakwah.
Hubungan Islam dan batik sudah berlangsung lama di Desa Laweyan. Desa seluas 24 hektar ini telah hadir sebagai pusat industri sejak tahun 1540-an unduh (anyaman benang) pada zaman Pajang, kerajaan Islam di Jawa setelah Demak. Di desa ini juga terdapat salah satu masjid tertua yang didirikan oleh Ki Ageng Henis, nenek moyang raja-raja dinasti Mataram Islam (Surakarta dan Yogyakarta).
Konon Laweyan merupakan desa yang modern pada masanya karena sudah akrab dengan perdagangan dengan bangsa lain terutama bangsa Eropa dan Arab, hal ini terlihat dari arsitektur rumah aslinya yang merupakan perpaduan gaya Jawa, Islam, dan Eropa. mencuci. Bahkan, para pedagang Laweyan disebut-sebut mendatangkan keramik untuk ubin rumahnya langsung dari Eropa.
Laweyan dilintasi sungai yang terhubung dengan Bengawan Solo, jalur perdagangan sibuk yang menghubungkan pedalaman Jawa dengan daerah luar seperti Tuban dan Gresik. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah JawaThomas Stamford Raffles menuliskan kesaksiannya tentang sungai yang menjadi jalur perahu-perahu besar mengangkut komoditas dari hulu ke hilir dan sebaliknya.
Sejak masa Mataram Islam, desa ini menjelma menjadi kawasan industri batik yang makmur, kawasan elite di luar keraton – dan mengalahkan pamor keraton Surakarta – yang dihuni bukan oleh bangsawan, melainkan saudagar batik. Pada masa pergerakan nasional tahun 1900an, di Laweyan berdirilah organisasi usaha pribumi yang pertama, yaitu Perusahaan Dagang Islam (SDI) – cikal bakal Perusahaan Islam (SI) – yang dipelopori oleh KH Samanhudi, seorang saudagar batik dan ulama. di kota.
menjadi Islam roh gerakan pedagang batik untuk membebaskan masyarakat pribumi dari penjajahan. Sejak saat itu, Desa Laweyan dimata-matai oleh Belanda. Di balik tembok tinggi sekitar rumah, para pedagang batik membuat pintu penghubung antar tetangga yang berguna untuk mengevakuasi masyarakat dan pekerja pabrik saat pemeriksaan oleh Belanda.
“Islam sudah ada di sini berabad-abad, bahkan sebelum kota Solo berdiri, agama sudah bercampur dan semangat perubahan positif menyebar,” kata Heru dari Yayasan Penulisan Al-Quran Indonesia. —Rappler.com
BACA JUGA: