Alasan mengapa masyarakat suka melecehkan para lajang
- keren989
- 0
Status hubungan seseorang seolah-olah bisa menjadi indikator dari banyak hal yang tidak langsung terlihat: kebahagiaan seseorang, kesejahteraan lahir dan batinnya, bahkan kualitasnya sebagai pribadi.
Jika sudah menikah, maka ia adalah sosok yang stabil, mapan, dan berkualitas. Jika dia lajang, orang akan langsung menuduhnya sengsara, tidak berharga, dan bernasib buruk. Ketika seseorang, terutama perempuan, bersikap kasar dan tidak ramah, sering kali muncul komentar: Dia belum menikah, kan? (baca: dia kurang berhubungan seks, makanya dia mudah tersinggung).
Menjadi lajang dianggap sama saja dengan melawan alam. Orang mengira pasti ada yang salah dengan dirinya. Dia pasti kesepian. Mungkin dia tidak normal. Dan karena dia tidak normal, dia menjadi sasaran perundungan, atau sasaran lelucon. Ungkapan seperti: “Apa kamu tidak bosan sendirian?”, “Ini hadiah lagu untuk semua single di malam Sabtu, jadi jangan terlalu ceroboh”, “Aku punya dia yang siap menemaniku, aku kasihan buat kalian yang jomblo, jadi tolong buruan. .
Ejekan terhadap para lajang ini juga datang dari publik figur. Misalnya saja Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang sukses dengan kebijakan tunggalnya, dan baru-baru ini disusul oleh Wakil Gubernur Jakarta Sandigaga Uno. Orang-orang baik ini tentu tidak mempunyai niat jahat. Ridwan mungkin termasuk sosok yang terlalu suka menjadi pusat perhatian, namun ia bukanlah sosok yang jahat. Entahlah Sandiaga, saya curiga dia hanya bingung harus berkata apa kepada media dan hanya bicara soal single.
“Satu lelucon adalah lelucon yang mudah, seperti gaun hitam yang tidak akan pernah gagal untuk Anda kenakan ke pesta atau pesanan nasi goreng yang tidak akan pernah salah.”
Menurut saya, setidaknya ada dua hal yang membuat orang suka melecehkan para jomblo. Pertama, karena kebiasaan otomatis meniru perilaku mayoritas orang, tanpa pernah memikirkan alternatif lain yang lebih baik. Satu lelucon adalah lelucon yang mudah, seperti gaun hitam yang tidak akan pernah bisa Anda tolak untuk dikenakan ke pesta atau pesanan nasi goreng yang tidak akan pernah salah.
Kedua, dan ini penting, pasangan suka melakukan pelecehan terhadap orang lajang karena mereka membutuhkannya sebagai mekanisme kelangsungan hidup (dalam hubungan). Karena membangun sebuah hubungan, apalagi yang monogami, membutuhkan banyak kerja keras, mereka sangat perlu menguatkan diri lagi dan lagi. Mencela orang lajang sebenarnya adalah cara orang-orang ini bertahan hidup, seperti mengunyah permen sambil terengah-engah mendaki gunung. Mereka harus berkata kepada diri mereka sendiri dan dunia, “Lihatlah orang yang sendirian itu, itu tidak baik, kan.” Mereka perlu menguatkan diri mereka setiap saat karena hubungan monogami adalah perjalanan menanjak yang panjang, seperti serial maraton tanpa akhir (sampai maut memisahkan kita).
Walaupun saya belum menikah, saya mempunyai topik penelitian yang terus saya amati: pernikahan kakak-kakak dan teman-teman saya, dan terutama pernikahan ayah dan ibu saya yang tahun ini menginjak usia 52 tahun.
Berdasarkan pengamatan selama bertahun-tahun, saya berani menyimpulkan bahwa pernikahan orang tua saya bahagia. Setiap pagi ayah saya, yang sudah pensiun bertahun-tahun yang lalu, akan membersihkan pekarangan dan rumah. Ritual selanjutnya adalah minum kopi di pagi hari. Dan tidak ada satu hari pun berlalu tanpa dia bertanya pada Ibu, “Mau minum apa?” Lalu buatlah. Setiap hari.
Ayah dan Ibu sering duduk berdua, menonton televisi, atau membicarakan apa saja, mulai dari berita tentang tetangga yang pindah, gubernur dan wakil gubernur yang aneh, hingga pengeras suara masjid yang semakin mengganggu. Meski secara umum mereka adalah pasangan yang rukun, namun bukan berarti mereka tidak saling menggerutu, tidak pernah saling mengganggu dan mengeluh satu sama lain.
Mengamati interaksi mereka dari waktu ke waktu, saya sampai pada kesimpulan bahwa pernikahan membutuhkan kerja keras dan kesabaran yang tiada habisnya. Kehidupan sehari-hari dalam sebuah pernikahan bukanlah sesuatu yang glamor seperti di film-film romantis, namun lebih pada pembagian tugas mengenai cucian kotor, bersih-bersih rumah, dan kentut kencang yang baunya merasuk ke dalam hati. Ini bukan hanya tentang memiliki seseorang untuk menemani Anda, tetapi juga tentang “cara mencuri ruang Anda sendiri tanpa membuat mereka merasa diabaikan”. Semua remah-remah urusan sehari-hari dan kerumitannya, berlipat ganda selama beberapa dekade.
Wajar jika tidak semua orang mampu bertahan menghadapi semua ini. Segala rutinitas yang membosankan, dedikasi penuh untuk memberikan perhatian pada pasangan, kesiapan mendengarkan cerita pasangan padahal kita lebih memilih melakukan hal lain, dan segala pengorbanan yang lebih besar dari itu. Ada yang kemudian mencari perhatian lawan jenis, ada pula yang menghibur diri dengan ingin terlihat baik di mata diri sendiri dan orang lain, yang diwujudkan dalam sikap menasihati bahkan menindas orang lain agar segera menikah (kebutuhan selalu ada butuh teman kan? ).
Mereka melakukan intimidasi terhadap para lajang hanya karena itu adalah mekanisme untuk mendapatkan rasa aman, sebagai upaya untuk bertahan dalam hubungan mereka sendiri. Upaya untuk memastikan pada diri sendiri bahwa segalanya (kelelahan mengurus anak, dengkuran yang serak, wajah membosankan yang sama setiap pagi) layak untuk dijalani.
Saya teringat kisah Richard Muller, seorang profesor Fisika dari University of California, Berkeley di Amerika, yang menceritakan di akun Quora-nya bagaimana teman-temannya biasanya merasa malu ketika mereka memberitahunya bahwa mereka bercerai. Apalagi Muller sendiri memiliki usia pernikahan yang langgeng lebih dari 50 tahun.
Muller menghibur teman-temannya sambil mengutip hasil penelitian Stephanie Coontz yang terungkap dalam bukunya, Cara yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Usia rata-rata pernikahan di Amerika kolonial kurang dari 12 tahun karena kematian akibat kecelakaan, melahirkan, perang, atau pembantaian. Angka ini mungkin serupa dengan angka di Eropa, karena penyebab putusnya perkawinan bersifat universal.
Konsekuensi yang dapat ditelaah secara konseptual adalah pernikahan bukanlah sebuah institusi yang dirancang untuk bertahan lama. Jadi, hibur Muller, tak perlu merasa gagal jika pernikahan Anda putus.
“Menurut saya, pernikahan langgeng itu seperti memenangkan hadiah Nobel, itu bukan sesuatu yang bisa kita bidik, tapi patut diperjuangkan, dan kita akan bersyukur jika bisa mencapainya,” tulis Muller. Selamat kepada Muller dan istrinya serta orang tua saya, karena mereka memenangkan “Nobel”.
Pernikahan bukanlah institusi yang dirancang untuk bertahan lama. Bukankah itu sebuah pernyataan yang membebaskan?
“Mereka menindas orang lajang hanya karena itu adalah mekanisme untuk mendapatkan rasa aman, dalam upaya untuk bertahan dalam hubungan mereka sendiri.”
Saya tidak menulis ini sebagai kampanye anti-perkawinan, melainkan sebagai semacam ajakan untuk melihat pernikahan dengan cara yang baru. Jika pernikahanmu terasa sulit atau bahkan menyiksa, santai saja sob, kamu tidak sendiri. Tidak perlu merasa buruk, terlebih lagi tidak perlu mencari kompensasi dengan mengkritik orang lain yang tidak menempuh jalan yang sama. Terimalah itu sebagai bagian dari normalitas. Pernikahan yang gagal bukan berarti gagal juga.
Mereka yang memilih untuk tidak menikah mungkin mengambil keputusan yang tepat karena mengapa berinvestasi begitu banyak pada lembaga yang tidak dirancang untuk bertahan lama. Mereka yang ingin menikah namun belum tercapai, tak perlu merasa begitu sedih, sebab pernikahan hanyalah salah satu cara untuk bahagia, yang belum tentu berhasil setelah resepsi yang terlalu mewah.
Dan meskipun Anda pernah bahagia, tidak ada jaminan bahwa hal itu akan bertahan lama. Ini bisa berguna, bisa membuat Anda sengsara, tapi bukan itu saja. Pernikahan hanyalah sebuah institusi yang dirancang oleh orang-orang masa lalu, yang dengan sendirinya bisa membusuk, bahkan mungkin sudah tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini.
Baik yang sudah menikah maupun yang masih lajang, kita semua mempunyai kewajiban yang sama untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik bagi anak-anak di masa depan, baik mereka anak kandung kita atau bukan. Dibutuhkan sebuah desa untuk membesarkan seorang anak, kata pepatah Afrikaans. Keluarga hendaknya menjadi tempat yang aman, landasan yang sangat dibutuhkan seorang anak untuk memulai hidupnya dan belajar mencerna segala hal di dunia ini.
Namun masyarakat lainnya, termasuk yang belum atau belum menikah, adalah masyarakat desa yang juga wajib bekerja untuk memberikan ruang hidup yang terbaik bagi generasi penerus. Tidak perlu merasa kurang atau lebih dari orang lain karena pada dasarnya kita semua hanya berbagi tugas saja.
Orang-orang yang melakukan pelecehan terhadap para lajang adalah pengembara yang merasa tidak aman, dan membutuhkan segala yang mereka tahu bagaimana caranya untuk menjadi lebih kuat karena mereka berpikir cara terbaik untuk hidup di dunia adalah dengan menikah.
Menghadapi mereka sama saja dengan menghadapi pelaku intimidasi jenis lainnya, yakni dengan rasa iba pada mereka. Atau kalau kamu merasa punya waktu dan tenaga berlebih, coba bilang, “Hei, tahukah kamu, pernikahan sebenarnya tidak dirancang untuk hubungan jangka panjang, kan?”
Mungkin lain kali mereka akan meminta Anda untuk menceritakan kekacauan rumah tangga mereka. —Rappler.com
Feby Indirani adalah seorang penulis 69 Hal-hal yang patut disyukuri karena menjadi lajang (GPU, 2017). Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di magdalena.co