Aliansi Masyarakat Adat mengkritik ketidakjelasan status kawasan hutan
- keren989
- 0
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan korporasi menguasai 30 persen kawasan hutan
JAKARTA, Indonesia – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah merencanakan sejak dua tahun terakhir untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi no. 35/2012, namun tidak ada satu pun hutan adat yang ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Pokja Perhutanan Sosial di daerah baru terbentuk dan belum berfungsi. Tim penanganan kasus LHK yang pernah dibentuk Menteri dengan melibatkan CSO juga mangkrak dan tidak pernah bertemu lagi untuk menjalankan tugasnya,” kata Abdon Nababan kepada Rappler, Senin, 5 Desember.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) akhir pekan lalu bereaksi terhadap pernyataan Menteri Siti Nurbaya Bakar yang menyebut pengelolaan sumber daya alam (NRM) pada masa pemerintahan Jokowi-JK berpihak pada rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas menyebutkan puluhan juta hektar Lahan hutan adat yang tadinya diklaim sebagai milik negara, dinyatakan bukan milik negara lebih lama dan dapat dikelola serta dimanfaatkan oleh masyarakat adat. Selain menyampaikan komitmen pemerintahan Jokowi-JK, Menteri Siti Nurbaya juga memaparkan data pengelolaan hutan.
“Dari luas hutan 120 juta hektare, telah diberikan alokasi 34 juta hektare atau sekitar 30 persen izin pengelolaannya kepada korporasi. Idealnya negara hadir dengan BUMN-nya yang juga mengelola sekitar 30 persen, kemudian 40 persen lagi hak pengelolaannya diberikan kepada masyarakat, ini untuk mewujudkan keadilan proporsional, kata Siti seperti dikutip dari media.
Mirisnya, dari 34 juta hektare lahan yang dikelola korporasi, hanya 25 konglomerat saja yang memilikinya. Sementara masyarakat yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa, saat ini menguasai lahan kurang dari 1 juta hektar.
Merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar kekayaan alam Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kenyataan bahwa lahan hutan dikuasai sebagai sumber daya alam sungguh menyedihkan. Ironis.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi ingin membawa negara ke dalam politik sumber daya alam melalui intervensi negara dalam persoalan politik-ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satunya bagaimana menekankan penguasaan sumber daya alam di bawah pengawasan negara,” kata Siti.
Diakuinya, tantangan mewujudkan niat tersebut tidaklah mudah. Selain pengembangan sumber daya manusia, diperlukan pendanaan.
“Dalam kurun waktu 2015 – 2019, pemerintah berkomitmen memberikan hibah perhutanan sosial kepada masyarakat seluas 12,7 juta hektar. Hal ini merupakan koreksi kebijakan yang mendasar dalam upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Langkah ini merupakan upaya penting untuk membangkitkan Indonesia, mewujudkan Indonesia yang berdaya saing dan mempunyai kekuatan sendiri di bidang perekonomian,” kata Siti.
Mengutip arahan Presiden, Siti menjelaskan, karena hutan untuk kesejahteraan masyarakat, maka hak masyarakat atas tanah dapat diakomodasi dalam pemanfaatan ruang kawasan hutan, yang menyasar kawasan pengusaha hutan skala kecil dan kawasan hutan non kehutanan.
Kawasan pengusaha hutan skala kecil (masyarakat) melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa. Sementara itu, kawasan non kehutanan sedang dipersiapkan untuk Hutan Kemasyarakatan Kemitraan dan untuk memenuhi kebutuhan sektor non kehutanan melalui prosedur peraturan perundang-undangan yang sesuai.
Upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, dilakukan dengan membuka akses hukum dengan memberikan izin pemanfaatan kawasan hutan atau izin pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu, serta izin pemanfaatan jasa lingkungan (ekowisata). , keanekaragaman hayati, penyerapan atau penyimpanan karbon).
“Kegiatannya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian dengan tetap menjaga keberlanjutan,” ujarnya.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan sekitar hutan dilakukan melalui berbagai pendekatan, antara lain melalui kebijakan pemerataan akses pengelolaan atau pemanfaatan hutan. Diantaranya, HTR diperuntukkan bagi masyarakat yang siap berwirausaha; HKm diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak berdaya baik tanah maupun modal serta kemampuan wirausahanya masih perlu ditingkatkan; Hutan desa dimaksudkan untuk secara mandiri mendukung pembangunan desa di sekitar hutan; Kemitraan antara pengusaha besar pemegang izin usaha dengan masyarakat sekitar hutan.
Izin HKm dan Hutan Desa dapat diberikan pada Hutan Produksi dan Hutan Konservasi dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang, sedangkan izin HTR pada Hutan Produksi dapat diperpanjang untuk jangka waktu 60 tahun.
Untuk merangsang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, selain akses terhadap lahan hutan juga didukung dengan dana pinjaman bergulir dimana setiap kelompok masyarakat mempunyai akses terhadap pinjaman berbunga rendah.
Sehubungan dengan amanat undang-undang bahwa hutan dilestarikan untuk kesejahteraan masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terus menyelesaikan hak tenurial yang selama ini dijunjung oleh Mahkamah Konstitusi no. 35 Tahun 2012.
“Kita harus bisa menyelesaikan hutan adat yang merupakan hak masyarakat adat untuk dikeluarkan dari kawasan hutan. Untuk itu saya membentuk Tim Pengaduan Kerusakan Lingkungan yang anggota panelnya antara lain HuMa, WALHI, AMAN, Sajogyo Institute, Ecosoc, Epistema dan Greenpeace Indonesia, kata Menteri Siti.
Dengan adanya “alamat” pengaduan tersebut, ia berharap proses pengakuan dapat dipercepat melalui verifikasi dan validasi sebagai bagian dari upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera.
Abdon Nababan menjawab bahwa tindak lanjut visi presiden dan pernyataan menteri sangat lambat. Arah kebijakannya benar, implementasinya lambat, kata Abdon.
BA: Informasi pengelolaan hutan diminta dibuka
Salah satu penyebab lambatnya implementasi adalah belum jelasnya status kawasan hutan yang akan dialokasikan untuk perhutanan sosial, hutan adat dan juga TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Begitu pula dengan PIAPS (Peta Indikatif Perhutanan Sosial dan Peruntukan Hutan Adat) yang belum disahkan. “Peta indikatif kawasan hutan TORA juga belum ada,” tambah Abdon – Rappler.com