Anak muda jadi petani dan petani ikan, kenapa tidak?
- keren989
- 0
Menjadi petani dan penjual ikan juga menjadi pilihan karir kedua pemuda Indonesia ini, meski awalnya orang tua mereka menentangnya
JAKARTA, Indonesia — Berapa banyak anak muda yang berpikir untuk menjadi petani di masa depan? Hingga saat ini pekerjaan petani masih dipandang sebelah mata karena dianggap bahan yang dihasilkan sedikit dan tidak cukup untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap hari orang membutuhkan makanan untuk mengisi perutnya.
Peluang kerja di sektor pertanian sangat terbuka bagi generasi muda. Apalagi dengan potensi alam Indonesia yang subur dan bagus. Jika ditambah generasi muda yang memiliki pemikiran baru dan semangat tinggi, maka sektor pertanian di Indonesia bisa bergerak ke arah yang lebih baik.
Dua pemuda yang mempunyai passion dalam mengembangkan potensi alam Indonesia adalah I Gede Artha dari Bali dan Iqo dari Lampung. Kisahnya mereka bagikan pada acara Indonesia Climate Change 2017 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Keduanya diundang oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Oxfam Indonesia untuk berbincang mengenai perjuangan yang mereka hadapi selama ini.
Artha merupakan seorang petani yang masih kuliah di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, jurusan agrobisnis. Beliau merupakan Duta Petani Muda 2016 yang terpilih dari 514 peserta.
Artha sendiri sudah tertarik bertani sejak SMP. Meski orang tuanya melarang karena menganggap menjadi petani adalah pekerjaan yang kurang, ia mampu menjelaskan semangatnya bertani kepada orang tuanya.
Setelah mendapat izin, Artha akhirnya memilih menanam jamur tiram di kampung halamannya di Karangasem, Bali. Ia mempekerjakan beberapa orang di kampung halamannya untuk membantu Artha mengembangkan dan mengembangkan bisnis jamurnya secara organik.
“Saat saya pulang tidak ada orang seusia saya, sebagian besar sudah merantau. Di situlah saya berpikir, kalau orang tua adalah petani, pengetahuan dan teknologi mereka masih terbatas. “Jadi ini kesempatan saya kembali ke desa saya untuk membangun desa, mengembangkan pertanian,” kata Artha.
Usaha yang diberi nama “Jamur Gede” ini diharapkan dapat menginspirasi generasi muda lainnya untuk bertani. Artha yang mendalami bidang agrobisnis ini memiliki keinginan untuk menerapkan teknologi dalam dunia pertanian.
Untuk itu, ia juga berharap ke depan banyak generasi muda yang kembali ke kampung halaman untuk bertani dan menghapus anggapan bahwa bertani adalah hal yang kuno dan tidak kekinian. “Saya ingin menyebarkan berita ini semangat semangat pertanian khususnya kepada generasi muda,” kata Artha.
Iqo juga ingin menebar semangat yang sama, perempuan yang mendorong generasi muda untuk kembali beternak udang di Bumi Dipasena Sejahtera, Rawa Jitu Timur, Tulang Bawang, Lampung.
Sebelumnya, Dipasena dikenal sebagai produsen udang terbesar di Asia Tenggara. Namun sejak tahun 2011, popularitas udang Dipasena menurun akibat ditutupnya salah satu perusahaan yang mengelola budidaya tersebut.
Sebagai perempuan kelahiran dan besar di Dipasena, ia tak ingin kampung halamannya terbengkalai ketika mengalami kemerosotan. Untuk itu ia membangun Forum Mahasiswa Dipasena di tempat ia kuliah saat ini, Universitas Polinela Lampung. Forum tersebut merupakan perkumpulan orang-orang Dipasena yang bertujuan untuk menghidupkan kembali Dipasena.
“Di situ (Forum Mahasiswa Dipasena), kita memang membuat forum yang membahas bagaimana kita generasi muda bisa menghidupkan, menghidupkan kembali Dipasena yang kita cintai,” kata Iqo.
Untuk mewujudkan tujuannya, forum ini telah melakukan berbagai kegiatan seperti penanaman mangrove secara serentak untuk meningkatkan kualitas air.
“Udang dari perusahaan itu semua dibuang ke sungai, jadi sepertinya sungai itu tidak ada airnya, udangnya habis semua,” kata Iqo.
Kondisi sungai yang dulunya tidak layak membuat warga Dipasena memilih keluar kawasan untuk “menyelamatkan diri”. Namun Iqo dan kawan-kawan berusaha menebar semangatnya untuk kembali membudidayakan udang di Dipasena. Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya memperbaiki kondisi air terlebih dahulu.
“Orang tua saya melarangnya dan kami hampir pindah. Tapi saya terus memberikan pengertian dan penjelasan kepada mereka seperti “Saatnya diam kalau sedang bersenang-senang, kalau sudah seperti itu saatnya pindah” dan untung mereka paham,” kata Iqo. —Rappler.com