Ancaman terhadap Jurnalisme Investigasi di Era Digital
- keren989
- 0
Biaya yang diperlukan untuk melindungi sumber daya di era digital sangat besar dalam hal peralatan keamanan, pelatihan dan juga nasihat hukum.
JAKARTA, Indonesia – Kajian yang dilakukan UNESCO menyatakan bahwa jurnalis harus belajar tentang keamanan digital, mengedukasi masyarakat, dan menjadi pendukung institusi perubahan.
Sebuah studi mengenai tren media di 121 negara memberikan gambaran meningkatnya ancaman terhadap jurnalisme investigatif, seiring dengan peraturan keamanan dan teknologi baru yang semakin mempersulit jurnalis untuk melindungi narasumber mereka.
Bertajuk “Melindungi Sumber Jurnalisme di Era Digital”, kajian yang dilakukan UNESCO ini mengajak jurnalis untuk berperan melindungi sumbernya dengan mempelajari keamanan global digital, memberikan edukasi kepada masyarakat dan memperjuangkan perubahan kelembagaan.
Jurnalisme investigatif sangat bergantung pada kepercayaan pada narasumber dan pelapor pelanggaran (whistleblower), dan studi UNESCO menunjukkan bagaimana kombinasi pengawasan, penyimpanan data, dan peraturan keamanan negara telah menjadi tantangan dan mengancam jurnalisme investigatif yang sangat dibutuhkan.
Kajian ini ditulis oleh mantan World Editors Forum dan anggota WAN-IFRA Research, Julie Posetti, dan akan dipublikasikan pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, besok di Jakarta.
Dalam studinya, penulis membahas tren dan kejadian yang menurutnya mengerikan dan harus segera diubah, seperti: Penyadapan email wartawan oleh agen Bea Cukai AS Petugas menyita telepon wartawan Polisi Australia mengakses data dasar wartawan secara ilegal
Undang-undang keamanan, pengawasan, dan penyimpanan data
Cara-cara hukum untuk melindungi sumber daya kini tidak lagi dipertimbangkan dalam keamanan nasional, dan peraturan anti-terorisme, cara-cara tersebut telah dilumpuhkan oleh pengawasan massal dengan target tertentu, dan menghancurkan mandat penyimpanan seperti penyedia layanan Internet (ISP), perusahaan telekomunikasi, mesin pencari, dan media sosial.
“Studi ini menunjukkan bagaimana perlindungan terhadap sumber jurnalistik di tingkat nasional, regional, dan internasional semakin diperkuat dan diperkuat. Suatu perkembangan yang dipandang sebagai ancaman langsung terhadap hak asasi manusia untuk berekspresi dan memiliki privasi. “Hal ini juga jelas menimbulkan ancaman berbahaya bagi jurnalisme investigatif,” tulis UNESCO dalam rilisnya.
Posseti, sebagai penulis, juga berharap penelitiannya dapat memulai gerakan melindungi jurnalisme investigatif. Rilis UNESCO juga menjelaskan 13 kunci, berupa rincian tantangan, peluang, dan rekomendasi berdasarkan pengalaman negara-negara yang diteliti.
Persoalan terkait perlindungan sumber bersinggungan dengan persoalan pengawasan massal dan terarah, penyimpanan data, dampak peraturan antiterorisme terhadap keamanan negara, serta peran pihak ketiga yaitu perusahaan internet yang bertindak sebagai ‘perantara’.
Undang-undang dan peraturan yang melindungi narasumber jurnalistik terus diancam, dihapus, diikat, dan dilecehkan.
Ke-84 anggota UNESCO dari 121 negara yang diteliti menunjukkan bahwa perkembangan ini relevan untuk perlindungan sumber daya yang dapat diandalkan, sebagian besar mempunyai dampak aktual atau potensial dari tahun 2007 hingga pertengahan 2015.
Keadaan individu menimbulkan kebutuhan untuk memperkenalkan atau memperbarui undang-undang perlindungan sumber.
Undang-undang perlindungan sumber harus mencakup proses jurnalistik dan komunikasi, dengan menjaga kerahasiaan sumber terpercaya. Ini termasuk panggilan telepon, media sosial, aplikasi obrolan, dan email. Publikasi juga tergantung pada sumbernya.
Transparansi dan akuntabilitas mengenai pengawasan massal dan terarah serta penyimpanan data juga penting jika narasumber ingin terus berkomunikasi dengan jurnalis secara rahasia.
Tanpa penguatan undang-undang perlindungan, dan pembatasan signifikan terhadap pemantauan dan penyimpanan data, jurnalisme investigatif yang mengandalkan sumber akan kesulitan bertahan di era digital. Beberapa laporan menyebutkan akan ada kendala pada sumber potensial.
Kami merekomendasikan agar makna ‘tindakan jurnalisme’ didefinisikan dan dipisahkan dari ‘peran jurnalis’ untuk menentukan siapa yang dapat memperoleh manfaat dari undang-undang perlindungan sumber.
Untuk memaksimalkan keuntungan, undang-undang perlindungan sumber harus diperkuat bersama dengan perlindungan hukum yang mencakup pelapor pelanggaran (whistleblower), yang merupakan peran penting dalam sumber jurnalistik yang dapat diandalkan.
Jurnalis kini semakin terbiasa dengan kondisi yang ada, dan berusaha melindungi narasumbernya dari paparan. Namun, ada batasan dalam penggunaan nama samaran dan pengkodean yang mengganggu penyesuaiannya.
Biaya yang diperlukan untuk melindungi sumber daya di era digital sangat besar dalam hal peralatan keamanan, pelatihan dan juga nasihat hukum.
Ada kebutuhan untuk mendidik jurnalis dan masyarakat tentang keamanan digital. Jurnalis dan pihak lain yang mengandalkan sumber rahasia untuk pemberitaan kepentingan publik mungkin perlu melatih sumber mereka untuk berbagi informasi dan menghubungi satu sama lain dengan aman. —Rappler.com