‘Angka Menjadi Suara’, realita kehidupan buruh yang mengalami pelecehan seksual
- keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia — Seorang perempuan tampil dalam film dokumenter Angka menjadi suara. Wajahnya tertutup kegelapan dan suaranya tersamar. Wanita tersebut merupakan korban pelecehan seksual yang dialaminya saat bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Jakarta Timur.
Tidak mudah bagi wanita itu menceritakan kisahnya. Meski tidak diperlihatkan secara detail, namun beban psikologis yang ditanggungnya tergambar. Suatu kali dia berhenti berbicara dan menahan air mata.
“Sakit, sakit. “Saya tidak tahu apa-apa, orang awam,” kata wanita itu.
“Saat kejadian itu terjadi, saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya benar-benar tidak berdaya.”
“Jadi kalau bosnya, orang top yang melakukannya, mau lapor ke siapa lagi?”
Angka menjadi suara menunjukkan realita kehidupan pekerja perempuan yang belum terungkap, pelecehan seksual. Sebuah kejahatan yang ditutupi oleh rasa malu dan takut korbannya. Kejahatan yang terus berlanjut, meski terang-terangan, lalu dianggap biasa saja, di balik diamnya korban. Kejahatan diam-diam.
“Jadi kalau bosnya, orang top yang melakukannya, mau lapor ke siapa lagi?” tanya wanita itu.
Film dokumenter berdurasi 22 menit ini berupaya mengangkat isu pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja perempuan – dan memberikan pesan bahwa, selain masalah upah, kontrak kerja, dan peraturan yang bias gender, pekerja perempuan menghadapi kejahatan yang lebih mengerikan yang pernah dialami. , yaitu pelecehan seksual.
Alur cerita dijalin melalui perjuangan para pekerja perempuan yang tergabung dalam Komite Buruh Perempuan KBN, yang ingin memberantas praktik pelecehan seksual di tempat kerjanya. Beberapa anggota Komite Buruh Perempuan juga menjadi korban pelecehan seksual yang berusaha untuk bangkit dan menghentikan tindakan asusila tersebut.
Komite Buruh Perempuan berpindah dari asrama ke asrama untuk membahas isu pelecehan seksual dengan rekan kerja. Mereka juga menampung keluhan para korban dan melakukan penelitian mengenai masalah ini sejak tahun 2012, yang juga menjadi bahan cerita film tersebut. Angka menjadi suara.
Proses praproduksi film produksi Federasi Pekerja Lintas Pabrik (FBLP) ini memang memakan waktu lama. Namun dari situlah beberapa persoalan terkait isu pelecehan seksual terungkap. Terkait dengan masih banyaknya masyarakat yang belum memahami bentuk-bentuk pelecehan seksual, terdapat sikap menyalahkan korban karena diduga melakukan umpan, dan praktik pelecehan seksual itu sendiri. Semua ini tergambar jelas dari diskusi perumahan yang terekam dalam film dokumenter tersebut.
“Di area produksi tahun 2015, pelakunya Pak (bos) juga berpelukan dan berciuman di tempat umum dan banyak dilihat pekerja,” demikian kesaksian salah satu korban dalam diskusi perumahan di film tersebut.
Film yang diproduksi tahun 2016 ini juga menampilkan upaya Komite Buruh Perempuan yang mengadakan audiensi dengan sejumlah pihak terkait dalam upaya menghentikan praktik pelecehan seksual. Mereka mendatangi pimpinan KBN Cakung, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise yang tampil heboh.
Tujuan mereka adalah membuat tanda “Area Bebas Pelecehan Seksual” di kawasan KBN Cakung dan membuat posko pengaduan. Di akhir cerita, tujuan tersebut tercapai dalam adegan peresmian tanda “Area Bebas Pelecehan Seksual” di kawasan KBN Cakung.
Ketua Komite Buruh Perempuan KBN, Jumisih yang membacakan sambutannya mengatakan, upaya ini merupakan penyemangat bagi para pekerja perempuan untuk bangkit menghentikan pelecehan seksual di tempat kerja seperti yang tersirat dalam puisi “Angka menjadi suarayang dibacakan oleh Solikhatun, seorang pekerja perempuan, yang merupakan salah satu adegan dalam film tersebut.
Korban pelecehan bukanlah angka yang bisa dihitung
harus dicatat dan dianalisis
Karena angka telah menjadi suara
Korban siap menjadi pejuang
Film pekerja
Angka menjadi suara FBLP diproduksi pada tahun 2016 dan mulai ditayangkan di berbagai komunitas pada awal tahun 2017. Film ini telah diputar sebanyak 5 kali dan mengunjungi beberapa kota seperti Jakarta, Bali, dan Bandung. Peluncuran film garapan Dian Septi Trisnanti ini digelar pada 15 Mei 2017 di Jakarta.
Pembuatan film ini seluruhnya melibatkan pekerja yang tergabung dalam FBLP. Para kru yang terlibat mulai dengan mengikuti bengkel Produksi film telah dilakukan sejak tahun 2012.
Selama setahun mereka dididik tentang proses pembuatan film, di sela-sela aktivitas kerja mereka. Prosesnya tidak semulus yang dibayangkan. Banyak dari mereka yang terlibat akhirnya mengundurkan diri karena berbagai alasan, seperti terkena PHK, harus mengurus anak, dan lain sebagainya.
Sejumlah kendala juga dihadapi seperti kendala pendanaan, kurangnya peralatan dan tidak adanya korban yang bersedia memberikan bukti. Kendala-kendala inilah yang menjadi alasan mengapa film ini dibuat Angka menjadi suara baru diproduksi empat tahun kemudian.
Masalah utamanya adalah tidak ada korban yang bersedia menjadi pemeran utama film tersebut. Banyak korban yang tidak ingin pengalaman buruknya ditampilkan di layar lebar.
Jadi memang dari segi prosesnya yang cukup lama, ada satu kendala teknis, selain teman-teman menunggu ada yang berani bicara, kata Ari Widiastari, juru kamera, saat pemutaran film. Angka menjadi suara di Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, Kota Bandung, pada Jumat, 12 Mei 2017.
Lanjut Ari, para kru berusaha melakukan pendekatan personal dan dengan sabar mendampingi para korban pelecehan hingga mau berbicara. Namun, bahkan setelah seseorang ingin berbicara, proses pengambilan gambarnya lambat.
“Tidak mudah mencari berbagai tokoh yang mau angkat bicara, sulit sekali. Kami punya beberapa kali memotong. “Sampai saat ini ada yang berani, kami istirahat dua jam karena menangis,” kata Ari.
Namun terlepas dari segala kendala yang ada, Ari merasa puas ketika film ini akhirnya ditayangkan dan mendapat respon yang menggembirakan dari sejumlah pihak. Banyak yang menawarkan kerja sama untuk memutar film tersebut. Namun, FBLP memerlukan pemutaran film Angka menjadi suara harus dilanjutkan dengan dialog agar penonton dapat memahami secara utuh persoalan pelecehan seksual.
Ari sendiri mengaku bangga dengan pekerjaan pertamanya. Ia tidak menyangka bisa terlibat dalam produksi film sebagai pekerja.
“Sudah dimainkan beberapa kali. “Setiap saya tayangkan, saya tidak percaya itu pekerjaan pekerja yang pelatihannya, saya juga tidak ada pelatihan siswanya,” ujarnya.
“Saya lulus SMA di kota dan tidak pernah berpikir bahwa saya akan mampu memegang kamera dan melakukan hal-hal yang berhubungan dengan film.”
Menurut Ari, media film dipilih sebagai media sosialisasi isu pelecehan seksual karena dinilai efektif dibandingkan media sosialisasi lainnya. dia berharap Angka menjadi suara dapat membawa isu pelecehan seksual jauh melampaui wilayah KBN.
“Saya kira film ini merupakan salah satu cara yang efektif agar teman-teman di luar sana, selain teman-teman di daerah ini, mengetahui bahwa selain persoalan normatif, perempuan juga punya permasalahan lain,” kata Ketua Departemen Multimedia FBLP itu.
“Harus diketahui banyak pihak, harus banyak pihak yang mendukung korban agar kuat dan berani bersuara.” —Rappler.com