
Apa yang melatarbelakangi demonstrasi besar-besaran pada 4 November 2016?
keren989
- 0
Selain tudingan pengendara liar dan penodaan agama, ada pula kemarahan yang sudah lama menumpuk dan tak terlampiaskan.
JAKARTA, Indonesia – Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mungkin tak menyangka perkataannya pada Surat Al-Maidah ayat 51 akan berdampak jangka panjang. Besok, ribuan masyarakat dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam akan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara.
Aksi ini merupakan yang kedua kalinya setelah 14 Oktober 2016, dimana calon gubernur DKI Jakarta saat ini masih mengkhawatirkan dugaan penodaan agama. Namun dampaknya jauh berbeda.
Kali ini, nampaknya para pejabat politik turun tangan untuk meredamnya. Presiden Joko Widodo bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, serta mengundang ulama Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak hanya itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga membicarakan hal tersebut dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhyono.
pengendara gelap
Sejak awal, muncul dugaan bahwa aksi tersebut bukan hanya masalah Ahok saja. Diduga ada Ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan gerakan ini untuk kepentingan lain.
Salah satunya adalah Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri. “Jika ada individu yang ingin membangun negara baru, ideologi baru, atau ingin menjadi presiden, silakan menunggu mekanisme lima tahun (pemilu) yang ada,” ujarnya.
Pendapat ini juga diamini oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Brigjen Wuryanto yang bahkan mengibaratkannya sebagai sebuah gerakan. Musim Semi Arabdimana ada upaya untuk menggulingkan kekuasaan.
Bahkan, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, mengatakan pendukung kelompok militan akan ikut serta dalam aksi tersebut. Hal tersebut diungkapkannya dalam artikelnya yang berjudul Whe Indonesia Ekstremis mulai mendapat dukungan.
Pada tanggal 29 Oktober juga beredar foto anggota Front Kemenangan Suriah (Front Kemenangan Suriah atau Jabhat Fatah al-Sham) yang bersenjata lengkap dengan tulisan ‘Tangkap Ahok atau Peti Mati Ahok’. Kelompok ini sebelumnya dikenal sebagai Front al-Nusra.
“Jika melihat fakta tersebut, Gerakan 4 November berpotensi dimotori oleh kelompok garis keras,” tulisnya.
Kelompok yang juga dikenal dengan nama Al Nusra ini memiliki hubungan dengan sosok bernama Abu Jibril. Anak laki-laki tersebut adalah dirinya sendiri yang dibunuh di Suriah sebagai bagian dari kelompok teroris Al-Qaeda.
“Saya heran kenapa mereka menaruh perhatian pada Ahok dan Pilkada DKI. “Apakah ini seruan atau perintah kepada pengikutnya untuk berjihad di seluruh pelosok Indonesia,” ujarnya.
Ledakan kemarahan
Namun, peneliti Pusat Studi Asia Universitas Murdoch Ian Wilson mengatakan ada penyebab lain. “Kita harus mempertimbangkan konteks lain. Sejak menjadi gubernur pada tahun 2014, Ahok kkampanye penggusuran dan pemukiman kembali yang paling agresif melalui sejarah modern kota Jakarta,” ujarnya dalam artikel bertajuk Jadikan musuh sebagai teman.
Sejak ia berkuasa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat 113 kasus penggusuran yang menimpa 8.315 kepala keluarga dan 600 unit usaha. Kebijakan ini memang populer di kalangan kelas menengah sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang sudah berlangsung lama seperti banjir, kemacetan lalu lintas, dan pelanggaran hukum.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi mereka yang menjadi korban. Kemarahan mereka kemudian berujung pada protes yang diorganisir oleh organisasi massa.
Wilson mencontohkan Ahok yang dilempari batu oleh sekelompok pengunjuk rasa yang meneriakkan ‘Allahu Akbar’ pada Juni lalu, namun ternyata mereka bukan radikal. Para pelempar batu yang masih berusia remaja ini mengaku marah karena teman dan tetangganya kehilangan rumah akibat penggusuran.
“Saya ikut (melempar batu dan demonstrasi) karena separuh kelas saya menjadi tunawisma karena Ahok. Dia tidak diterima di sini,” kata salah satu pengunjuk rasa kepada Winson.
Ia juga mencatat, para pengunjuk rasa yang nantinya beraksi di bawah bendera FPI dan ormas lainnya adalah pendukung Ahok. Segalanya telah berubah sejak penggusuran paksa.
“Sejak kepemimpinan Jokowi, para intelektual publik dan aktivis kelas menengah telah mengesampingkan perjuangan masyarakat miskin perkotaan. Kelompok agama arus utama seperti NU juga bungkam ketika anggotanya digusur di Jakarta Utara, kata Wilson.
Isu penggusuran, serta rumor bahwa pengembang Tiongkok berada di balik penggusuran, memicu kemarahan yang terpendam. Dugaan penodaan agama melalui pidato kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada September lalu adalah saat api sudah mencapai ujung sumbunya.
“Dengan tidak adanya arahan yang koheren terhadap kelompok yang terpinggirkan oleh kebijakan Ahok, pintu terbuka bagi kelompok radikal. Dan mereka memanfaatkan kesempatan ini,” katanya.
Penundaan pemerintah
Sebenarnya, demonstrasi yang menggunakan isu agama bukanlah hal baru. FPI sudah lama dikenal dengan tindakannya yang menegakkan ‘hukum’ sendiri yang tentunya berlandaskan agama.
Kemarahan mereka terhadap Ahok yang diduga menghina agama, daripada hanya bisa dikesampingkan saja. Aksi 4 November tidak akan terjadi jika Ahok diproses hukum sejak dilaporkan ke Bareskrim, katanya. Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago.
Demonstrasi ini, lanjutnya, merupakan ujian bagi pemerintah. Bisakah Anda memperlakukan warga negara secara setara, tidak ada seorang pun yang tidak tersentuh oleh hukum?
Menurut Pangi, jika penegakan hukum terhadap Ahok tidak dilakukan, maka lembaga peradilan akan kehilangan kewenangannya karena masyarakat mulai tidak percaya pada lembaga peradilan yang tidak independen.
Tentu saja, hal ini tidak hanya berlaku bagi Ahok saja; juga bagi peserta demonstrasi, jika ada yang kedapatan melanggar hukum.
Kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah ke depan, untuk tidak sekadar membenarkan atau membiarkan masalah terus berlanjut hingga akhirnya meledak.-Rappler.com