• November 24, 2024

Apakah gerhana matahari tahun ini merupakan pertanda bahaya?

Langit pagi di 12 provinsi di Indonesia akan gelap sejenak pada Rabu, 9 Maret 2016. Gerhana Matahari Total (GMT) tahun ini akan terasa istimewa bagi masyarakat Indonesia. Hal ini menarik minat tidak hanya para pecinta fenomena alam, tetapi juga ribuan peneliti dari seluruh dunia.

Gerhana terjadi ketika suatu benda langit menjadi gelap akibat berpindah ke dalam bayangan benda langit lain, biasanya mengacu pada gerhana bulan atau gerhana matahari. Ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa gerhana dapat dijelaskan secara ilmiah, namun sejarah mencatat bahwa fenomena alam yang hanya berlangsung beberapa menit ini meninggalkan kesan mendalam pada peradaban manusia di masa lalu.

Orang-orang zaman dahulu menganggap pengamatan benda-benda langit sebagai aktivitas spiritual; instrumen dewa, simbol tatanan alam. Dengan demikian, ketika anomali terjadi, interpretasi terhadap bencana muncul di hampir semua peradaban.

Di Babilonia kuno, ada tradisi melantik raja baru untuk sementara saat terjadi gerhana untuk melindungi raja asli. Di Tiongkok kuno, kaisar wajib memperingatkan tentara dan menabuh genderang sekeras mungkin. Menurut legenda, dua astronom kekaisaran, Hi dan Ho, bahkan dieksekusi oleh kaisar yang kesal karena kegagalan mereka memprediksi gerhana matahari pada tahun 2134 SM.

Teror pemadaman listrik memang menakutkan bagi mereka yang berkuasa. Suiko, permaisuri besar Jepang, meninggal di bawah cahaya redup gerhana pada tanggal 15 April 628. Begitu pula Louis dari Bavaria (Prancis, 20 Juni 840), Henry I (Inggris, 2 Agustus 1133), serta Panembahan Senopati (Jawa, 1601). Demonstrasi kekuatan alam yang absolut terbukti ampuh menyikapi mentalitas dan arogansi raja-raja manusia di dunia.

Terkait atau tidak, respons pemerintah Orde Baru untuk mencegah kepanikan ala gerhana matahari 11 Juni 1983, yang lebih tepat dikatakan sebagai solusi yang berujung pada penipuan massal, bisa disebut sebagai wujud ketakutan tersebut.

Tak terkecuali pada tahun ini, saat itu Indonesia menjadi favorit para pemburu gerhana di seluruh dunia. Pasukan Peter – penembak misteri – bahkan diperingatkan pemerintah Orde Baru untuk melindungi aktivitas tamu asing, wisatawan, dan ilmuwan, menjelang gerhana matahari 11 Juni 1983 yang akan melewati Pulau Jawa.

Seperti yang ditulis oleh antropolog Amerika, John Pemberton dalam Tentang topik JawaSebaliknya, pemerintah justru menimbulkan histeria di kalangan masyarakat. “Gerhana telah menjadi fokus ketakutan baru. “Agar masyarakat Indonesia tidak ‘terbutakan oleh gerhana’, tegas para pejabat, sebaiknya mereka tetap berada di rumah selama fenomena tersebut terjadi,” tulisnya.

Harmoko Kementerian Penerangan juga menyampaikan imbauan serupa secara langsung melalui surat kabar, leaflet, stasiun televisi TVRI, dan lain-lain. Pejabat pemerintah seperti Bupati Sukoharjo Gatot Amrih bahkan mengaitkan mitos raksasa pemakan matahari untuk menakut-nakuti rakyatnya. Kisah makhluk pemakan sebagai pemicu gerhana ini juga berkembang di tempat lain, seperti naga (China), katak (Vietnam), serigala (Skandinavia), beruang (Indian Amerika), dan lain-lain.

Namun rupanya sosok raksasa tersebut cukup membuat masyarakat Jawa patuh. Pasca gerhana, masyarakat Jawa selamat, dan pamor pemerintahan Orde Baru pun naik di kalangan masyarakat Jawa yang masih percaya pada mitos dan ilmu gaib.

Agak ironis mengingat ketika tamu asing diundang, disambut, dan diperlakukan sedemikian rupa sehingga mereka nyaman menikmati pemadaman listrik, pemerintah malah menginstruksikan masyarakatnya untuk bersembunyi Di rumah. Gerhana dikendalikan sebagai sumber ketakutan, sama seperti Columbus menggunakan gerhana matahari pada tahun 1503 untuk menipu dan menundukkan penduduk asli Jamaika yang naif, sebuah plot yang kemudian digunakan dalam salah satu volume serial komik Tintin, Itu Petualangan Tintin: Tahanan MatahariKarya Herge pada tahun 1946-1948.

Pemerintah tegar, seolah kembali menunjukkan kekuasaannya, gerhana matahari 26 Februari 1998 mengawali runtuhnya Orde Baru beberapa bulan kemudian. Gerhana kembali berakhir dengan bencana bagi penguasa.

Abad ke-21, abad ilmu pengetahuan dan komunikasi. Percikan ilmu pengetahuan mengubah cara pandang umat manusia terhadap gerhana, alih-alih teror, rasa kagum menjadi hal yang utama. Perburuan gerhana di Indonesia telah menjadi trend bagi masyarakat dan akademisi yang tercerahkan, hal ini dapat ditelusuri dari fenomena gerhana 9 Mei 1929 di Aceh dan aliran beritanya yang sangat fenomenal karena berhasil membuktikan teori relativitas Albert Einstein.

Lantas, apakah reaksi gerhana sebagai tanda bahaya masih relevan bagi masyarakat abad 21, khususnya di Indonesia? Alangkah baiknya jika momen gerhana bisa segera menyelesaikan kembali pertikaian dan kekacauan di negeri ini, seperti gerhana matahari 28 Mei 585 SM yang membawa perdamaian antara Kerajaan Lydia dan Media di Asia Kecil.

Atau mungkin hal ini justru akan meningkatkan konflik; seperti gerhana matahari tanggal 21 Agustus 1914 di Eropa yang seakan menyiratkan bahwa Perang Dunia I akan berlangsung lebih lama dan lebih mematikan?

Apa pun yang terjadi, adalah manusiawi untuk bersukacita dan menikmati keajaiban alam gerhana tahun ini. Tidak ada salahnya menumbuhkan kesadaran kosmis melalui sains, sama seperti tidak ada salahnya waspada dan peka terhadap aspek spiritual gerhana.

Apakah gerhana tahun ini akan diikuti bahaya dan kerusuhan besar bagi Indonesia? Untuk menjawab hal tersebut, setidaknya sejarah peran gerhana dalam peradaban manusia telah memberikan peringatan yang lebih dari cukup. Mari kita melihat ke langit dan berdiri takjub. —Rappler.com

Rahadian Rundjan adalah sejarawan lepas yang saat ini bekerja di bidang sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini berdomisili di Bogor dan dapat beralamat di @rahadianrundjan.

BACA JUGA:

HK Prize