• November 26, 2024
Apakah pemblokiran aplikasi Telegram efektif memberantas terorisme?

Apakah pemblokiran aplikasi Telegram efektif memberantas terorisme?

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Saat ini yang diblokir hanya layanan Telegram lewat PC. Pengguna tetap bisa menggunakan Telegram melalui ponsel

JAKARTA, Indonesia – Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya memblokir 11 Domain Name System (DNS) Telegram per Jumat, 14 Juli. Pemblokiran itu dinilai perlu karena banyak informasi di saluran tersebut yang memuat konten radikalisme, terorisme, pemahaman kebencian, dan cara membuat bom.

11 DNS yang diblokir adalah: t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram .org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org dan flora-1.web.telegram.org. Dampak pemblokiran 11 DNS tersebut adalah layanan Telegram tidak bisa diakses melalui komputer. Meski demikian, layanan pesan singkat Telegram melalui ponsel masih dapat digunakan dengan lancar hingga berita ini ditulis.

Rupanya pemblokiran ini dilakukan secara bertahap. Pasalnya, pemerintah akan memblokir sepenuhnya aplikasi layanan pesan singkat tersebut di kemudian hari.

“Saat ini kami juga sedang mempersiapkan proses penutupan total aplikasi Telegram di Indonesia, apabila Telegram tidak menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan konten yang melanggar hukum dalam aplikasinya,” Dirjen Informatika. Aplikasi kata Semuel. A. Pangerapan melalui keterangan yang ditulis hari ini.

Ia menjelaskan, langkah yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan bagian dari upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Telegram dinilai berbahaya karena tidak memiliki SOP penanganan kasus terorisme.

Meski mengundang protes, Dirjen Aptics membantah bahwa yang mereka lakukan hanyalah implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 40 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mereka mengklaim bahwa ada koordinasi terlebih dahulu dengan lembaga pemerintah dan aparat penegak hukum sebelum suatu kebijakan diambil.

Tidak efisien

Namun, apakah kebijakan tersebut efektif memberantas paham radikalisme yang semakin berkembang di Indonesia? Ali Fauzy, mantan anggota kelompok Jemaah Islamiyah, meragukan hal tersebut. Menurut pria yang kini menjadi pengamat terorisme ini, Telegram hanyalah salah satu cara kelompok teroris berkomunikasi.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, mereka akan mempunyai cara lain untuk menyebarkan ide dan ideologinya.

“Mungkin akan efektif untuk sementara waktu. Tapi Anda bisa menemukan cara lain. Mereka masih mempunyai cara-cara radikalisasi melalui media sosial. Telegram hanya satu arah,” kata Ali yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Jumat malam, 14 Juli.

Alih-alih menutup aplikasi pesan singkat Telegram, Ali menilai pemerintah belum mengatasi akar permasalahannya. Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan kepolisian seharusnya bekerja sama dengan Kementerian Agama.

“Dengan melibatkan Kementerian Agama, dapat dilakukan diskusi mengenai ideologi dan perkembangan pemikiran. Persoalannya sekarang apakah Kemenag mau mengoptimalkan sumber daya manusia tersebut, padahal mereka punya banyak orang yang mampu, tapi tidak dimanfaatkan,” ujarnya.

Parahnya, menurut Ali, Kementerian Agama tidak memahami pemetaan penyebaran kelompok radikal di Indonesia.

Persoalan lain yang harus dihadapi pemerintah adalah menyamakan persepsi masyarakat bahwa terorisme merupakan ancaman nyata. Saat ini, ketika terorisme terjadi, sebagian masyarakat masih menganggapnya hanya rekayasa belaka.

“Masih banyak yang menganggap ini hanya tipuan polisi untuk mengalihkan persoalan. Masih terdapat kontradiksi. Jadi, mari kita samakan cara pandang di tingkat akademisi, generasi muda, dan agama mengenai ancaman terorisme,” ujarnya. – Rappler.com

Togel Sydney