Apakah perlu sujud dihadapan vagina?
keren989
- 0
Sederet peristiwa pemerkosaan yang memilukan muncul di muka media massa dalam sebulan terakhir. Awalnya disebabkan oleh tragedi YY, seorang gadis 14 tahun di Bengkulu yang diperkosa beramai-ramai lalu dibunuh oleh 14 pria.
Tak kalah brutalnya dalam mengoyak kewarasan masyarakat adalah nasib yang menimpa EF, seorang pegawai perempuan di Tangerang. Tak hanya diperkosa, kematiannya pun berakhir dengan gagang cangkul tertancap di vagina gadis tersebut.
Berdasarkan foto rontgen yang beredar di media sosial, gagang alat yang kerap dijadikan simbol kerja keras dan perlawanan itu masuk jauh ke dalam paru-parunya.
Ya, para pembunuh EF sebenarnya “bekerja keras” untuk menekan secara destruktif apa yang mereka pikir harus dilawan; ketidaktundukan perempuan.
Tapi kenapa harus vagina? Jawaban sederhananya dapat diberikan dengan mengajukan pertanyaan kembali: Apakah ada simbol lain yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari organ vital?
Vagina – begitu pula penis dan anus – merupakan bagian tubuh yang memiliki makna sosiologis lebih dibandingkan organ lainnya. Di sinilah pusat kehormatan seseorang ditempatkan – baik dalam aspek biologis, psikologis, maupun sosiologis.
Dulu, cara ampuh menghilangkan kejantanan pria adalah dengan mengebirinya. Alat kelamin mereka dipotong secara paksa agar pemiliknya menderita sakit fisik dan mental. Praktek ini sering dilakukan pada orang-orang yang kalah perang.
Ada pula cara lain yang lebih efektif untuk merampas kehormatan laki-laki, yaitu melalui pemerkosaan anal secara demonstratif di depan umum, seperti yang terjadi pada warga Nabi Luth. Pemerkosaan anal dalam tradisi kuno—seperti yang pernah dikatakan Donaldson—hal itu dianggap demikian penghinaan terbesar terhadap manusia.
Mirip dengan penis dan anus, keberadaan vagina di konstelasi ini kurang lebih sama, meski harus diakui keberadaan organ intim ini bersifat paradoks. Celah antara kedua paha dipuja oleh masyarakat pada masa itu sebagai simbol kesuburan, kekuatan dan kesucian.
Sebelum agama Kristen datang, kekuatan vagina sangatlah besar. Saat itu, gambar perempuan dengan organ intimnya mudah ditemukan di rumah-rumah dan gedung-gedung di Eropa. Gambar tersebut diyakini berfungsi secara ajaib sebagai jimat untuk mengusir setan dan kematian. Penggambaran serupa juga sering dipasang di sawah dan ladang untuk tujuan kesuburan.
Namun, ketika agama Kristen muncul – dan kemudian diwarisi oleh agama-agama berikutnya, agama ini berperan penting dalam mengubah pandangan tersebut dengan memperkenalkan konsep rasa malu.
Vagina dan organ intim lainnya tentu saja menjadi sasaran utama proyek aib ini. Melalui Tertullian, seorang tokoh penting dalam agama Kristen awal, vagina dipikirkan gerbang Nerakayang oleh karena itu harus dijaga agar setan tidak keluar darinya.
Dari sinilah terjadi konsolidasi wacana seputar mitos kesucian. Wanita yang berhasil menjaga “gerbang”nya dianggap suci. Akibatnya, pada Abad Pertengahan, vagina menjadi sasaran empuk penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan seorang wanita saat ditanyai.
Terhadap setiap jawaban yang diragukan kemurniannya (baca: kejujurannya), maka pewawancara berhak memasukkan besi ke dalam kemaluan wanita yang diwawancarai – tentunya dengan dorongan rasa kecewa karena merasa telah dibohongi.
Penyiksaan mengerikan semacam ini mungkin mengingatkan kita pada penderitaan yang dialami banyak perempuan yang dituduh menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Lima puluh tahun yang lalu, tidak sedikit dari mereka yang vaginanya dibakar, ditusuk dengan berbagai benda padat atau bahkan disetrum. Bahkan, ada pula yang dipotong untuk membuatnya suvenir. Malu.
Penghinaan terhadap vagina seperti ini juga menimpa ratusan perempuan Tionghoa saat kerusuhan awal reformasi terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Catatan tim sukarelawan untuk kemanusiaan dan tim fakta gabungan untuk acara bulan Mei menegaskan hal ini.
Namun, kehancuran vagina paling mengerikan dalam sejarah Indonesia mungkin dialami oleh Marsinah. Pada tahun 1994, pahlawan buruh asal Nganjuk ini meninggal dunia setelah mengalami penyiksaan berat. Kabarnya, alat kelamin pekerja PT CPS ini ditembus kayu. Namun, saya sendiri lebih menyukai pendapat ahli forensik ternama Indonesia, alm. Dr. Mun’im.
Dalam persidangan kasus tersebut, Mun’im secara mengejutkan menolak skenario log and vagina. Luka Marsinah hanya di sekitar labia minora yang berukuran 3 sentimeter, kata Mun’im.
“Lukanya bukan karena benda tumpul, melainkan karena peluru yang ditembakkan. “Itu hanya bisa disebabkan oleh proyektil yang memantul,” kata ahli forensik itu seperti dikutip Tempo.
Dalam situasi di mana gerakan perempuan menunjukkan kemajuannya, banyak pihak yang terkejut dengan maraknya kasus pemerkosaan. Saya sendiri tidak cukup terkejut mengingat arogansi laki-laki terhadap vagina tidak bisa direduksi sedikit pun oleh sistem pendidikan kita.
Begini, lingkungan kita pada umumnya masih terikat dengan berbagai mitos bodoh tentang perempuan, misalnya saja “perempuan yang berpakaian provokatif bisa dilecehkan”. Mitos ini secara mengejutkan biasanya diabadikan dengan nasehat: “Jadi jangan memperlihatkan bagian pribadimu. Pilihlah bahan pakaian yang tidak tembus pandang dan ketat.”
Sangat sedikit dari kita yang mampu secara kritis menentang saran yang ramah ini. Padahal jelas terlihat penalaran jahiliyah yang mengintimidasi perempuan. Ya, jahiliyah karena nasehat ini sama sekali tidak ada niat untuk mendidik orang yang melakukan kekerasan dan malah menyalahkan pemilik vagina. Betapa bodohnya jika kita menyalahkan korban pencurian sandal hanya karena ia tidak merantai sandal tersebut saat ia shalat.
Nasihat ini juga bernuansa intimidasi -seperti gaya Orde Baru Soeharto- karena menempatkan pemilik vagina sebagai objek yang harus menanggung ketakutan atas situasi tersebut.
Harus kita akui, menekan perempuan agar membalut tubuhnya dengan erat tidaklah cukup jika dipadukan dengan seruan serius agar laki-laki tidak mudah melanggar kehormatan perempuan.
Memang benar, ada ajaran penting untuk menghormati perempuan, namun seringkali dipahami dalam konteks yang sangat spesifik, yaitu terhadap ibu – dalam kaitannya dengan siapa yang harus dihormati antara ibu dan ayah.
Terhadap seorang wanita yang meskipun berpenampilan sopan namun memiliki kesan yang kuat akan keluhuran budi pekertinya, tetap ditentukan apakah ia ingin membungkus tubuhnya dengan erat atau tidak. Hijab/Jilbab dibuat sejenis ukuran untuk mengukur kualitas keimanan Islam seseorang.
Saya sangat prihatin bahwa alasan di atas akan semakin menegaskan kesalahpahaman mengenai perempuan dan cara mereka berpakaian.
Sujud di hadapan vagina merupakan ajakan serius kepada bangsa ini untuk menyadari betapa tidak adilnya pemikiran kita terhadap tubuh perempuan. Ketidakadilan ini pada gilirannya menyebabkan serangkaian kekejaman terhadap ratusan perempuan Tiongkok dan terdakwa Gerwani, Marsinah, YY, EF, dan korban lainnya yang masih takut untuk bersuara. —Rappler.com
Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Anti Diskriminasi Islam (JIAD) Jawa Timur. Saya pernah mengantri di Tambakberas Jombang dan Kedungmaling Mojokerto.
BACA JUGA: