Atas nama perempuan mereka akan bertindak
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Aktivis perempuan menggelar Women’s March di Jakarta pada Sabtu, 4 Maret.
Kegiatan yang diprakarsai oleh 33 organisasi ini merupakan upaya menyadarkan pemerintah akan pentingnya isu perempuan, khususnya hak-haknya.
Juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu perempuan, kata Olin Monteiro, Ketua Jakarta Women’s March, saat konferensi pers di kawasan Cikini, Kamis, 2 Maret.
(BACA: Lawan pelecehan jalanan bersama Hollaback! Jakarta)
Dalam Women’s March kali ini akan disampaikan 8 tuntutan yang mencakup berbagai bidang. Mulai dari tuntutan toleransi dan keberagaman; menghapuskan kekerasan dan memberikan perlindungan terhadap perempuan; pemerataan hak di berbagai bidang; untuk menghapuskan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Pada acara ini juga ditampilkan kegiatan perempuan lintas sektor yang menjelaskan isu-isu kritis yang harus menjadi perhatian pemerintah.
Hukum dan toleransi
Advokat Publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH), Naila Rizqi Zakiah menyampaikan posisi perempuan dari sisi hukum dan toleransi.
Ia mencatat, saat ini bermunculan kelompok-kelompok intoleran yang ingin memaksakan standar moral berdasarkan satu agama tertentu, di lingkungan Indonesia yang beragam.
“Standar ini juga dicoba diinternalisasikan dalam struktur hukum dan kebijakan kita sehingga berujung pada peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas,” kata Naila.
Salah satu yang masih berjalan adalah uji materi (KUHP) KUHP di Mahkamah Konstitusi yang ingin memperluas makna pasal perzinahan, pemerkosaan, dan kriminalisasi hubungan sesama jenis. Naila mengatakan, upaya kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Cinta Keluarga (AILA) menunjukkan upaya menolak keberagaman.
Jika permintaan ini dikabulkan, kata dia, maka banyak masyarakat yang terancam. Bukan hanya pasangan yang melakukan hubungan seks suka sama suka – baik heteroseksual maupun homoseksual – tetapi juga penganut keyakinan agama. Hingga saat ini, Komnas Perempuan mencatat terdapat 2 juta pernikahan yang tidak tercatat secara administratif.
(BACA: Apakah Zina Itu Urusan Pribadi, Agama, atau Negara?)
Undang-undang turunan seperti Peraturan Daerah (Perda) juga masih cukup diskriminatif. Jumlahnya mencapai 421 polis yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa di antaranya seperti hukum di Aceh, pemberlakuan jam malam di Padang, serta kriminalisasi terhadap pekerja seks dan homoseksual di Palembang.
Menurut Naila, pemerintah harus selalu mempertimbangkan toleransi dan keberagaman sebelum mengeluarkan kebijakan.
“Dalam konteks hukum, Anda tidak bisa mencampurkan satu moral dan menjadikannya undang-undang. “Kami sangat beragam dan memiliki banyak nilai moral dan budaya,” ujarnya.
Pendidikan
Deputi program KAPAL Wanita Budha, Utami menyoroti rendahnya tingkat pendidikan yang diraih mayoritas perempuan. Hal ini juga berdampak pada terbatasnya pekerjaan yang bisa mereka peroleh.
Data KAPAL Perempuan menyebutkan, hanya 60 persen perempuan Indonesia yang mengenyam pendidikan. Keterbatasan kemampuan ini membuat mereka lari untuk bekerja di sektor domestik, seperti menjadi buruh migran, atau tidak bekerja sama sekali.
“Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perempuan,” kata Budhis. Pembatasan ini juga menjadikan perempuan sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan.
Salah satunya karena ketergantungan pada suami. Para perempuan ini berada dalam posisi tidak berdaya dan terpaksa mengikuti apa pun yang diinginkan suaminya, meski bertentangan dengan keinginannya sendiri. Umat Buddha menekankan poligami sebagai salah satu bentuk kekerasan yang bisa dialami perempuan.
“Pendidikan alternatif penting untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan merupakan bentuk perlindungan terhadap kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.
Pekerja migran
Meski jumlahnya besar dan menjadi pahlawan devisa, pemerintah cenderung mengabaikan nasib dan keselamatan pekerja migran Indonesia (BWI), khususnya perempuan.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mencontohkan 11 perjanjian yang ditandatangani Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud saat berkunjung ke Jakarta beberapa hari lalu.
“Tidak ada satu pun poin yang membahas tentang perlindungan terhadap pekerja migran perempuan Indonesia,” kata Anis. Faktanya, di Arab Saudi terdapat 1,5 juta pekerja migran yang rentan terhadap penyiksaan atau hukuman mati.
Selain itu, dari 13 perjanjian yang ditandatangani Indonesia dengan berbagai negara lain, tidak ada satupun yang berpihak pada pekerja migran. Padahal, menurut Anis, mereka adalah garda terdepan dalam menafkahi keluarganya.
Banyak pula yang kemudian menjadi korban perdagangan manusia atau tertipu oleh sindikat narkoba. Saat ini, 89 persen penghuni Lapas Wanita Tangerang terlibat kasus ini dan sebagian besar lebih layak disebut korban.
Misalnya saja Merri Utami dan warga Filipina, Mary Jane Veloso yang saat ini masih khawatir akan dijatuhi hukuman mati atau tidak. Bahkan, kata Anis, mereka menjadi korban penipuan yang dilakukan pemain lain yang lebih besar.
(BACA: Dengar Suara Buruh Migran Tak Lagi Tersembunyi)
Menjelang Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap tanggal 8 Maret, ia pun mendesak pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang melindungi pekerja migran.
“(Dengan) mengesahkan undang-undang tentang pekerja migran dan meratifikasi Konvensi ILO tentang Ketenagakerjaan,” kata Anis.
Selain itu, pemerintah juga harus lebih aktif melakukan edukasi sebelum pemberangkatan. Anis mengatakan, pengetahuan tentang hak-hak perempuan dapat membantu menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Misalnya kesehatan reproduksi dan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.
Pernikahan anak
Selain itu, perkawinan anak di bawah usia 18 tahun juga tidak jarang terjadi di Indonesia. Namun dampaknya sangat besar.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartikasari mengatakan, pada tahun 2016 saja tercatat ada 750 ribu pernikahan anak. Beberapa di antaranya baru berusia 11-15 tahun.
“Bayangkan anak usia 12 tahun sudah menikah, apa yang bisa dia lakukan?” kata Dian.
Akibatnya, para korban perkawinan anak ini kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan atau berkarir dan akhirnya menjadi pekerja migran, pekerja seks, atau pekerja rumah tangga.
(BACA: Penyesalan Rukayah, Mantan Pelaku Pernikahan Anak di NTB)
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Agama enggan mengubah tren tersebut. Alasan mereka adalah fundamentalisme, budaya, dan kepentingan politik.
“Para orang tua segera menikahkan anak mereka untuk keluar dari kemiskinan. “Untuk kepentingan politik, seseorang bisa memilih jika sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah sehingga mudah dimobilisasi,” kata Dian.
Akibatnya, keterwakilan perempuan di bidang lain—seperti pemerintahan—juga menurun. Sejak Reformasi, tingkat keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah. “Bahkan trennya menunjukkan kondisi lebih buruk dibandingkan sebelum reformasi,” kata Dian.
Selain rendahnya pendidikan dan tertutupnya kesempatan akibat menikah di usia muda, ia menyoroti upaya dari pihak kanan. Salah satunya adalah proses peninjauan kembali pemilu legislatif. Dian mengatakan dalam rapat dengan DPR, ada pihak yang mengusulkan agar proses tersebut ditutup.
Cara ini rentan disalahgunakan, karena pemilih hanya melihat nama calon di depan tempat pemungutan suara (TPS); bukan pada surat suara. Selain rentan didominasi laki-laki, potensi nepotisme juga besar.
“Pemilu sistem tertutup penting bagi partai-partai besar. “Memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol masih sulit,” ujarnya.
Lingkungan
Nisaa Yura, Direktur Program Solidaritas Perempuan, mengatakan bagi perempuan, lingkungan sama dengan kehidupan. Ketika lingkungan rusak, kehidupan mereka juga ikut rusak.
“Di salah satu desa di Lombok Barat, sangat terlihat bagaimana lahan yang dikelola perempuan dialihfungsikan menjadi perumahan. Perempuan kemudian menjadi pekerja migran. “Perkawinan anak juga meningkat,” katanya.
Selain itu, pembangunan infrastruktur juga mempunyai pengaruh. Sayangnya, setiap keputusan mengenai perubahan atau pembangunan lingkungan hanya melibatkan kepala keluarga; yang didominasi oleh laki-laki.
Waria dan minoritas
Aksi Sabtu ini juga akan dipicu oleh perempuan trans—atau biasa disebut waria—dan perwakilan kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).
“Perempuan bukan hanya manusia yang terlahir dengan vagina. “Jika dia mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, maka dia adalah perempuan,” kata perwakilan Sanggar SWARA, Kanza Vina.
Perempuan trans dan LGBT lebih terpinggirkan dibandingkan perempuan karena stigma sosial yang sering melekat pada mereka. Tingkat kekerasan yang dialami cukup tinggi dan tidak ada solusi yang baik.
(BACA: Saya diejek dan dipukuli hanya karena saya gay)
“Ada waria yang dibunuh tapi polisi tidak berusaha maksimal untuk melacak pelakunya,” kata Kanza. Bahkan, mereka kerap mengalami kekerasan dari keluarga sendiri.
Karena mereka terpinggirkan, hak-hak mereka seringkali tidak terpenuhi. Jangankan keamanan, hal sederhana seperti pendidikan pun sulit. Data SWARA menyebutkan, hanya 40 persen waria yang terdaftar yang mengenyam pendidikan SMA. Keterbatasan pendidikan inilah yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam dunia prostitusi.
Pada aksi mendatang, Vina bersama 20 anggota SWARA lainnya akan melakukan aksi Kebaya Berdarah untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat akan hak-haknya.
Berkelanjutan
Seluruh aspirasi tersebut akan dituangkan dalam bentuk surat dan diberikan kepada instansi pemerintah terkait. Bahkan setelah aksinya, pertarungan tidak berhenti.
Organisasi pemrakarsa merencanakan kegiatan rutin seperti diskusi mengenai isu-isu perempuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat. Mereka juga akan menerbitkan panduan mengenai isu-isu perempuan.
Diperkirakan Women’s March Jakarta akan diikuti 400 orang dari berbagai latar belakang. Peserta akan mengenakan pakaian berwarna ungu atau merah muda dan berjalan kaki dari Gedung Sarinah menuju Istana Negara.
Mereka akan membawa plakat dengan slogan-slogan feminis yang sudah dibuat sebelumnya. Juga akan ada tarian dan nyanyian bertema pemberdayaan perempuan.
Apakah Anda juga tertarik untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam aksi ini? —Rappler.com