• April 19, 2025
Atletico Madrid vs Leicester City: Akhir dari keajaiban Shakespeare

Atletico Madrid vs Leicester City: Akhir dari keajaiban Shakespeare

Dosa masa lalu menghantui pertandingan tandang The Foxes di Madrid.

JAKARTA, Indonesia – Craig Shakespeare datang seperti keajaiban. Seorang asisten yang menjadi manajer telah mengembalikan mentalitas dan antusiasme yang hilang di Stadion King Power.

Di tangannya, Leicester menang 5 kali berturut-turut dalam 5 laga pertamanya bersama Shakespeare sebelum rekor itu berakhir 2-4 dengan Everton Minggu 9 April lalu. Bersamanya, Leicester menang 2-0 atas Sevilla untuk menjamin kemajuan Rubah ke perempat final.

Tindakan mengejutkan Shakespeare sebenarnya bisa dibenarkan. Manajer berusia 53 tahun itu sangat mengenal pasukannya. Ia mendampingi Wes Morgan jauh sebelum kedatangan Claudio Ranieri, manajer yang pertama kali membawa mereka juara Liga Inggris.

Shakespeare menjadi tangan kanan manajer sejak era Nigel Pearson. Artinya, ia sudah sangat akrab dengan King Power Stadium sejak tahun 2011 atau 6 tahun berturut-turut. Itu belum ditambahkan ke karyanya selama dua musim sejak 2008.

Cukup waktu untuk menjadi sosok yang mampu menghidupkan kembali semangat yang sama setelah sempat terpuruk di musim kedua Ranieri.

Keajaiban mantan pesepakbola profesional Inggris itu tak hanya datang dari pengabdiannya yang panjang. Tapi juga kemampuan untuk bertransformasi.

Menjadi asisten dan menjadi pemimpin tim merupakan sebuah proses perubahan yang tidak mudah. Apalagi dalam waktu singkat. Di tengah gejolak tersebut, tim dibayangi zona degradasi.

Namun, Shakespeare mampu melakukannya. Setidaknya melalui lima pertandingan pertamanya sebelumnya garis itu berakhir di Everton.

Di Liga Champions, Shakespeare juga tidak perlu khawatir. Ajang juara Eropa memang sudah memasuki fase serius. Namun orang seperti dia tetap bisa tampil kompetitif. Faktanya, hal itu tidak terduga. Pasalnya pelatih pengganti dari staf kerap memberikan kejutan.

Avram Grant langsung membawa Chelsea ke final Liga Champions setelah menjadi pengganti Jose Mourinho pada musim 2007-2008. Faktanya, Grant saat itu menjabat sebagai direktur tim.

Begitu pula Roberto Di Matteo. Ia menggantikan Andre Villas-Boas dari posisinya yang hanya sekedar asisten pelatih. Nyatanya, kejutan Di Matteo sungguh besar. Ia langsung membawa Chelsea menjadi juara Liga Champions untuk pertama dan satu-satunya hingga saat ini.

Menjadi orang kedua membuat posisi asisten pelatih berbeda. Dia bisa melihat kelemahan metode sang taktik. Di saat yang sama, ia juga bisa lebih dekat dengan para pemain.

Hal itulah yang menimpa Di Matteo, meski kedekatan tersebut akhirnya membuatnya kurang disegani oleh komplotan Didier Drogba – hingga akhirnya ia dipecat hanya beberapa bulan setelah meraih gelar juara Liga Champions.

Masalahnya, situasi Shakespeare berbeda dengan dua tokoh di atas. Sejumlah media Inggris menyebut dia merupakan salah satu aktor intelektual di balik pemecatan Ranieri.

Dalam suatu kesempatan, Ranieri juga mengaku ada yang menusuknya dari belakang. Salah satu yang membuat tim bergerak melawannya. Namun dia tidak menyebutkan siapa. “Saya tahu siapa dia,” kata Ranieri seperti dikutip BBC.

Shakespeare memang sudah menegaskan tak ada masalah antara dirinya dan Ranieri. Namun sulit untuk tidak percaya bahwa dia benar-benar musuh di balik selimut itu.

“Saya tidak pernah berdebat dengan Ranieri. Semua orang di tim bebas berpikir. Dan saya tidak punya masalah dengan itu,” protes Shakespeare.

“Urusan yang belum selesai” di masa lalu ini jelas akan mengganggu fokus Shakespeare. Apalagi lawannya kali ini adalah tim yang sudah punya cukup banyak pengalaman di Liga Champions selama 4 musim terakhir.

Laga melawan Atletico Madrid yang dihelat di Vicente Calderon, Kamis 13 April pukul 01.45 WIB akan memberi hikmah bagi Shakespeare.

Ya, Atletico Madrid hampir selalu berada di posisi 4 besar. Bahkan, mereka mencapai final musim lalu sebelum mimpi juara mereka dipatahkan oleh musuh bebuyutannya: Real Madrid.

Los Rojiblancos jelas menjadi lawan yang berbeda dibandingkan lawan Leicester sejauh ini di Liga Champions. Tim besutan Diego Simeone sebenarnya punya banyak kesamaan Rubah. Mereka membangun tim dari pertahanan yang tangguh dan bermain dengan mengandalkan serangan balik. Mereka pun membangun kedua timnya dalam formasi 4-4-2.

Namun, budaya pertahanan kuat Leicester jelas tidak setua Atleti. Diego Simeone membangunnya sejak kehadirannya di awal musim 2012.

Adapun Leicester baru benar-benar serius menjaga pertahanannya sejak kedatangan Ranieri musim lalu. Meski begitu, hal itu tidak terlalu serius karena di musim kedua mereka sudah merekrut N’Golo Kante dari Chelsea. Salah satu aktor penting dalam tembok pertahanan tim milik konglomerat Thailand tersebut.

Begitu pula dalam semangat juangnya. Atleti memiliki sikap yang jauh lebih agresif dibandingkan Leicester yang memilih memberontak terhadap sang pelatih dengan cara yang tidak elegan.

Situasi semakin sulit bagi Leicester karena kapten sekaligus salah satu penjaga pertahanan utama, Wes Morgan, absen. Yohan Benalouane, penggantinya, jelas tidak bisa langsung tampil maksimal jika harus tampil di pentas sebesar Liga Champions.

“Kami sebenarnya merasa terhormat bisa dibandingkan dengan Atletico. Tapi kami berbeda,” ujarnya seperti dikutip Guardian.–Rappler.com

pengeluaran sgp hari ini