• November 27, 2024
Aung San Suu Kyi mengajak dunia internasional untuk bekerja sama mencari solusi atas permasalahan di Myanmar

Aung San Suu Kyi mengajak dunia internasional untuk bekerja sama mencari solusi atas permasalahan di Myanmar

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Suu Kyi berjanji akan menerima kembali warga Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh selama mereka memenuhi syarat sebagai pengungsi

JAKARTA, Indonesia – Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi untuk pertama kalinya menyampaikan pidato mengenai situasi di negara bagian Rakhine. Pidato berdurasi 30 menit tersebut disampaikan di hadapan media internasional dan komunitas diplomatik untuk menekankan bahwa pemerintah Myanmar berupaya mencari solusi damai atas konflik di Rakhine.

Suu Kyi menyampaikan pidato tersebut setelah mendapat tekanan kuat dari dunia internasional, termasuk PBB. Bahkan, para menteri luar negeri ASEAN dijadwalkan bertemu di New York untuk membahas krisis yang menimpa etnis Rohingya.

Akibat krisis yang menimpa mereka, sebanyak 410 ribu warga Rohingya memilih mengungsi ke perbatasan Myanmar-Bangladesh sejak 25 Agustus. Namun sayangnya, Suu Kyi tidak mengkritik pihak militer yang dianggap menjadikan masyarakat Rohingya sebagai objek kekerasan. Ia juga menyebut orang-orang Rohingya sebagai ‘Bengali’, artinya imigran yang berasal dari Bangladesh.

Pidato Suu Kyi lebih menekankan apa yang telah dan akan dilakukan pemerintahannya untuk menemukan solusi damai. Salah satu cara yang ditawarkan adalah dengan menjalin kerja sama dengan dunia internasional.

“Kami ingin mengajak Anda semua dalam proses perdamaian ini dan berpartisipasi dalam mencari solusi jangka panjang atas konflik yang telah ada di negara kami selama bertahun-tahun,” kata Suu Kyi.

Proses perdamaian yang dimulai Agustus 2016, kata perempuan berusia 72 tahun itu, masih terus berjalan meski ada sejumlah kendala.

“Namun saya tidak terkejut karena begitulah proses perdamaian terjadi di berbagai belahan dunia. “Kadang berjalan lancar, namun tidak jarang menemui kendala,” ujarnya.

Suu Kyi nampaknya menyayangkan kasus yang terjadi di Rakhine State justru menutupi kejadian lain yang terjadi di Myanmar. Faktanya, permasalahan yang menimpa Myanmar tidak hanya terjadi di Rakhine State, tapi juga di wilayah lain.

Suu Kyi kembali menyatakan akan membuka pintunya bagi komunitas internasional untuk bekerja sama mencari solusi. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991 ini mengaku terbuka terhadap berbagai ide dan masukan.

“Bahkan kami bersedia mengajak Anda mengunjungi daerah bermasalah dengan jaminan keamanan. “Di sana Anda bisa melihat sendiri apa masalahnya dan kemudian Anda bisa memberi masukan kepada kami tentang solusi atas masalah tersebut,” ujarnya.

Bahkan, pemerintah Myanmar juga bersedia menunjukkan daerah-daerah yang tidak terkena dampak konflik. Komunitas internasional bisa membandingkan mengapa tidak semua warga negara melarikan diri. Mengapa Anda bisa hidup damai di sana?

“Kita juga bisa mendengar penjelasan tentang situasi dan keharmonisan di sana,” ujarnya.

Hal lain yang juga disorot dalam pidato Suu Kyi adalah mengenai rencana pemerintah Rohingya untuk menerima kembali masyarakat Rohingya. Namun Suu Kyi tidak menyebut mereka dengan nama etnisnya, melainkan menggunakan kata ‘pengungsi’.

Ia mengatakan jika mereka terverifikasi sebagai pengungsi, mereka dapat dipulangkan tanpa masalah, mendapat jaminan keamanan dan akses bantuan kemanusiaan. Namun pidato Suu Kyi tidak menjelaskan bagaimana pemerintah Myanmar menentukan warga negara mana yang memenuhi syarat sebagai pengungsi.

Tidak ada lagi tindakan kekerasan?

Dalam pidatonya, Suu Kyi menegaskan tidak akan ada lagi operasi militer di Negara Bagian Rakhine mulai tanggal 5 September. Namun pemberitaan media justru berkata sebaliknya.

Mereka mengaku melihat desa tersebut dibakar keesokan harinya. Hal ini diperkuat dengan kesaksian para pengungsi yang telah tiba di Bangladesh. Mereka mengatakan operasi militer masih berlangsung.

Faktanya, data terbaru yang diterbitkan organisasi Human Rights Watch hari ini menunjukkan 214 desa yang dihuni warga Rohingya telah hangus menjadi abu.

“Jika tidak terjadi apa-apa sejak 5 September, ketika semua warga Rohingya melarikan diri, lalu siapa yang membakar desa-desa tersebut?” Phil Robertson dari HRW bertanya kepada media.

Sementara itu, Amnesty International yang sebelumnya tak kenal lelah mengadvokasi pembebasan Suu Kyi dari tahanan rumah, kecewa mendengar pidatonya. Dia mengatakan wanita yang dijuluki ‘The Lady’ dan pemerintahnya menutup mata terhadap kengerian yang terjadi di Rakhine.

Suu Kyi mengatakan, masih ada 50 persen desa Muslim di Myanmar yang utuh. Warga pun memilih tidak mengungsi. – dengan pelaporan AFP/Rappler.com