• August 25, 2025

Bagaimana Swedia mengurangi tingkat pelecehan anak dalam 35 tahun

JAKARTA, Indonesia —Delegasi Swedia dan Indonesia bertemu pada Selasa, 23 Mei 2017, di Jakarta, Indonesia, untuk membahas perlindungan anak dan penghapusan kekerasan terhadap anak.

Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan kunjungan Raja dan Ratu Swedia ke Indonesia.

Ratu Silvia dari Swedia diketahui mempunyai kepedulian khusus terhadap perlindungan anak. Dia menemukan Yayasan Anak Dunia pada tahun 1999. Yayasan ini berfokus pada pencegahan eksploitasi dan kekerasan terhadap anak.

(LIHAT: Ratu Swedia mengajak anak-anak Indonesia untuk terus bermimpi dan belajar)

Selain itu, Indonesia dan Swedia merupakan dua dari sejumlah negara yang berkomitmen untuk mewujudkan hal tersebut mitra pencari jalan Kemitraan Global untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap Anak.

“Butuh waktu lama untuk memanfaatkan sumber daya manusia untuk mengajarkan hak-hak anak. “Profesi yang dekat dengan anak seperti guru, polisi, pekerja sosial dan lainnya harus memiliki kompetensi tersebut.”

Menjadi negara abu mitra pencari jalan artinya Indonesia dan Swedia berkomitmen untuk melakukan penilaian terhadap kinerja mereka mendukung penghapusan kekerasan terhadap anak.

Kinerja kedua negara harus inklusif, transparan, berdasarkan fakta dan data, serta fokus pada tujuan. Indonesia dan Swedia juga akan rutin mengadakan pertemuan global, berbagi gagasan dan program pemerintah yang telah berhasil dilaksanakan.

Komitmen itu pertama kali diperkenalkan pada 12 Juli 2016untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 poin 16.2 tertulis: “Hilangkan kekerasan, eksploitasi, perdagangan manusia dan segala bentuk kekerasan/kejahatan terhadap anak, termasuk penyiksaan terhadap anak.”

Respon pemerintah dan LSM di Indonesia

Delegasi Swedia bertemu dengan pemerintah, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan akademisi asal Indonesia. Diskusi terfokus pada kekerasan anak di sekolah dan kekerasan seksual terhadap anak (SDGs 16.2) dan pernikahan anak (SDGs 5.3)

Diskusi ini dimoderatori oleh Gunnila Olsson, perwakilan UNICEF Indonesia. UNICEF Indonesia rutin melakukan survei dan penelitian terhadap kondisi anak-anak di Indonesia.

Menteri Pemberdayaan Anak dan Perlindungan Perempuan RI Yohana Yembise turut hadir dalam diskusi tersebut.

Yohana menjelaskan, 320 kota di Indonesia telah mendeklarasikan komitmen menjadi kota layak anak dengan 31 indikator terkait. Program Berlian (Bersama Lindungi Anak) telah dilaksanakan di sejumlah lokasi. Pertunjukan tersebut menggunakan dialog musikal untuk menjelaskan topik perlindungan anak.

“Kekerasan terhadap anak tidak hanya berdampak buruk pada perkembangan kognitif dan fisik anak, namun juga pembangunan Indonesia. “Anak-anak adalah sumber daya kita yang paling berharga,” kata Yohana.

Saat ini, setidaknya terdapat 53 juta anak bersekolah di Indonesia. Mereka dilindungi dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 82 pada tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di lingkungan Satuan Pendidikan.

Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Subandi menekankan pentingnya mencatatkan kelahiran anak/identitas anak ke catatan sipil. Menurutnya, anak yang terdaftar akan lebih mudah mengakses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lainnya.

Namun UNICEF Indonesia mencatat 62% anak usia 0-4 tahun di Papua tidak memiliki akta kelahiran.

Hadir pula Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah yang menceritakan bagaimana kongres ulama perempuan se-Indonesia menghasilkan hasil fatwa/musyawarah agama. Fatwa batas minimal perempuan menikah adalah 18 tahun.

Selain peraturan negara, Prof. Irwanto dari Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) mengingatkan anak perempuan agar mereka juga dididik untuk menolak konsep pernikahan di bawah umur.

Pengalaman dari Swedia dan kerjasama global

Sementara itu, Swedia mengklaim berhasil menurunkan jumlah anak yang dipukuli oleh orang dewasa dari 90% menjadi sekitar 10% dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun.

Salah satu negara Skandinavia ini juga menjadi negara pertama yang melarangnya hukuman fisik (hukuman fisik) di sekolah. Pelayanan pendidikan dan kesehatan juga dapat diakses secara gratis oleh seluruh warga negara.

Sekretaris Negara Kementerian Anak, Lansia dan Kesetaraan Gender Swedia, Pernilla Baralt, mengatakan kuncinya adalah kompetensi dan pengetahuan tentang hak-hak anak.

“Membutuhkan waktu yang lama dan menggunakan sumber daya manusia untuk mengajarkan hak-hak anak. “Profesi yang dekat dengan anak seperti guru, polisi, hakim, pekerja sosial dan lainnya harus memiliki kewenangan tersebut,” kata Baralt.

Swedia, kata dia, juga membekali siswanya dengan pengetahuan tentang kekerasan. Orang yang mempunyai kemampuan ini dapat membuat anak mengutarakan pikiran dan perasaannya. Kemudian kita akhirnya dapat menemukan solusi untuk melindungi anak-anak dari kekerasan.

Ratu Silvia menyetujuinya. Ia mengatakan solusi bisa didapat dari anak itu sendiri. Oleh karena itu penting untuk mendengarkan anak dan membekali mereka mengenai hak-haknya sebagai anak.

“Anak-anak adalah wakil terbaik, mereka melihat langsung keadaan di lingkungannya sendiri,” kata Ratu Silvia.

Persoalan kekerasan atau kejahatan terhadap anak, menurut direktur program Save The Children International David Bloomer, harus dilihat secara holistik.

“Ini tentang mengubah sikap dan norma sosial yang ada,” kata Bloomer.

Ia juga mengingatkan, terkadang rencana dibuat dengan sebaik-baiknya, namun implementasinya gagal. Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil yang terintegrasi dan kerja sama global harus dilakukan, termasuk peran perusahaan swasta.

Pertemuan multilateral dengan topik mengakhiri kekerasan terhadap anak (The Global Partnership to End Violence Against Children) akan kembali diselenggarakan pada bulan Februari 2018 di Stockholm, Swedia. —Rappler.com

Togel Sydney