• October 7, 2024

Bagaimana UMKM Malang Menghadapi MEA

MALANG, Indonesia – Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Kota Malang punya banyak cara dan upaya menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) tahun ini. Meski mengaku belum terkena dampak pemberlakuan MEA, namun mereka yakin masa itu akan tiba.

Pelaku industri bermodal kecil dan rumah tangga optimis dengan tetap menjaga kualitas, produknya tidak kalah saing di negeri sendiri.

“Iya, saya dengar MEA sudah mendaftar, tapi sampai saat ini tempe saya masih terjual habis oleh pelanggan,” kata Yono, pembuat tempe di Sanan Tempe RT 08 RW 15, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Kamis. 14 Januari 2016 mengatakan.

Setiap hari Yono membuat tempe untuk keripik dan lauk pauk dari 500 kilo kedelai impor. Kebutuhan ini sudah berlangsung sejak tahun lalu hingga saat ini. Ada sekitar tujuh pelanggan yang menjual tempe untuk lauk pauknya dan sekitar 10 pelanggan lainnya yang menggunakan tempe sebagai bahan baku keripik.

Sebanyak 70 persen tempe yang dibuatnya masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembuat keripik tempe di Sanan Tempe. “Tempe yang saya buat pasti berbeda dengan tempe yang dibuat di tempat lain, ada sekitar 10 pembuat tempe seperti saya di Sanan, tapi kami semua punya pelanggan masing-masing,” kata Yono.

Pengrajin tempe yakin tempenya tahan bajak

Menurut Yono, tempe yang membutuhkan proses pemasakan dan fermentasi selama empat hari ini memiliki cita rasa yang tidak sama antara satu pembuat dengan pembuat lainnya. Menurutnya, pembeli tempe harus hafal dan bisa mengenali mana tempe buatan Yono dan mana yang bukan.

Proses pengolahan, kelembaban ruangan, lokasi rumah dan resep yang digunakan mempengaruhi hasil akhir produk tempe masing-masing perajin. Jadi Yono yakin setiap pemula yang ingin menjadi pembuat tempe pasti akan kesulitan membuat tempe dengan rasa yang sama.

“Saya yakin bisnis tempe tidak bisa dibajak di MEA ini. Jika memungkinkan, produsen makanan besar seperti Indofood akan membuat tempe instan dalam jumlah banyak. “Sampai saat ini buktinya tempe masih aman,” kata Yono.

Dengan omset bulanan puluhan juta, Yono mampu memberikan gaji kepada tiga pekerja tetap dan upah kepada empat pekerja kontrak setiap bulannya. Namun, ia semakin sulit mencari pekerja kontrak yang bersedia membersihkan 500 kilogram kulit kedelai selama dua hingga empat jam setiap harinya.

“Membersihkan kedelai dengan tangan itu sulit dan tidak banyak orang yang mau melakukannya. Saya harus membayar lebih untuk pemipil kedelai. “Dulu banyak perempuan, tapi sekarang mereka tertarik pada pekerjaan lain,” kata pria yang memulai usaha tempe bersama kedua saudaranya ini.

Impian Yono kini adalah memiliki mesin pengupas kulit yang dilihatnya di Mojokerto. Alat ini mempunyai dimensi yang cukup besar dan menggunakan tekanan air untuk mengupas kulit kedelai. Dibutuhkan modal dan ruang yang lebih besar untuk menggunakan alat tersebut.

“Uangnya harus lebih besar dan saya tidak berani menanyakan harganya, saya khawatir tidak mampu membelinya,” ujarnya.

Pengusaha chip mengandalkan kemasan

Hajah Halimah adalah salah satu pelanggan tempe Yono. Setiap harinya pemilik toko keripik swari selalu memastikan stok keripik tempe plus keripik buah sebanyak 3000 bungkus di tokonya.

Dari segi rasa, pengusaha yang mulai berwirausaha pada tahun 2005 ini yakin keripik buatannya akan terus menjadi juara dibandingkan banyak toko keripik lainnya di Sanan. “Silahkan dicoba rasa keripiknya di toko lain, kalau sudah coba semua pasti balik lagi ke sini,” ucapnya yakin.

Untuk keripik tempe dengan harga Rp 7.500 per bungkus, pembeli mendapatkan keripik tempe yang dikemas dalam alumunium foil. Sedangkan keripik aneka buah seperti nangka, apel, dan salak juga dijual dalam kemasan yang sama dengan harga antara Rp 15 ribu hingga Rp 17.500, tergantung beratnya.

Pada bulan-bulan tertentu, penjualannya bahkan bisa mencapai 10 ribu bungkus per hari. “Desember lalu ada libur Natal dan Tahun Baru, kami kewalahan dan tidak bisa memenuhi permintaan. “Karena pekerja saya banyak yang cuti, jadi tidak ada produksi,” ujarnya.

Halimah mengaku tak takut dengan MEA. Wanita yang pernah mencicipi produk serupa di Malaysia dan Thailand ini mengatakan, keripik tempe dan buah asal Malang lebih unggul dari segi rasa dan harga.

“Kami hanya kalah dalam pengemasan. Kemasannya bagus, tapi rasanya kitalah pemenangnya. “Juga harganya, harga di sini murah sekali kalau dikonversi ke mata uang mereka,” ujarnya.

Maka sejak tahun 2005, Halimah mulai mengganti bungkus plastik transparan dengan bungkus alumunium foil untuk mempercantik kemasannya. Selanjutnya, ia juga merencanakan kemasan baru agar keripiknya lebih cantik dan menarik.

“Aku sudah memikirkannya, tapi tetap tidak berhasil. “Kita uji pasarnya dulu, diterima atau tidak,” ujarnya. Keripik tempe ada sekitar 18 rasa, seperti jagung bakar, balado, original, pizza, sayur, bakso dan lain sebagainya.

Soal keripik buah, Halimah mengatakan hanya menyediakan tiga rasa tetap yakni apel, nangka, dan salak. Tiga buah yang melimpah di wilayah Malang Raya, seperti apel yang banyak dihasilkan di wilayah Batu dan Kabupaten Malang, serta Salak banyak ditanam oleh warga Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.

Nangka langka hampir sepanjang tahun. “Thailand mungkin produksi buahnya lebih besar dan murah, tapi dari segi rasa, kami yakin lebih baik,” ujarnya. Meski tidak mengekspor langsung, Halimah mengakui keripiknya banyak dijual kembali ke luar negeri, seperti Malaysia dan Taiwan.

Dari kabar yang disampaikan teman dan keluarga, mereka mengenali Swari Chips karena kemasan dan brandingnya masih melekat. “Di Taiwan harga satu paketnya Rp 90 ribu, sedangkan di sini Rp 7.500. “Isinya sama,” ujarnya.

Setelah 15 tahun berkecimpung di bisnis keripik, Halimah kini memiliki toko tempat ia berjualan keripik sekaligus rumahnya, serta 10 orang karyawan tetap yang digaji setiap bulan.

Ada pula 12 pekerja kontrak yang rutin membantu saat proses penggorengan tempe dimulai. “Kalau omzet sebulan mungkin hanya puluhan juta, yang penting cukup untuk membayar upah pekerja dan operasional lainnya,” ujarnya.

Ekspor Perajin Sepatu ke Malaysia dan Amerika

UMKM di bidang fashion, seperti Sepatu Waris di Jalan Nakula 18 RT 4 RW 5, Kelurahan Polehan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, mengalami peningkatan pesanan sejak berdiri dalam lima tahun terakhir.

Banyak pembeli di Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat yang memesan sandal dan sepatu motif etnik secara online. Sepatu berbahan batik dengan motif parang dan kawung serta tenun Kalimantan menjadi andalan ekspor sejak tahun lalu.

Setiap bulannya, dari 400 pasang yang diproduksi, mayoritas merupakan sandal dan sepatu etnik untuk memenuhi permintaan dari Malaysia, Singapura dan Amerika yang selama ini tidak berkurang malah meningkat.

Permasalahannya, keterbatasan tenaga dan bahan baku membuat Waris Shoes kerap menolak pesanan. “Bahan batik Bali dan tenun Kalimantan serta hiasan topeng Malangan sulit stoknya, sehingga permintaan kami disesuaikan dengan bahan baku dan tenaga kerja,” jelas Joko Pribadi, pemilik Sepatu Waris.

Home industri ini kini mempunyai 10 orang karyawan dengan status kontrak. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan kondisi awal tahun 2010. Modal dan jumlah tenaga kerja terus meningkat seiring dengan tingginya permintaan sepatu custom dari banyak toko sepatu di Malang.

Harga sepasang sepatu bisa dijual di kisaran Rp150 ribu hingga Rp700 ribu per pasang. Joko mengatakan, pendapatan kotornya mencapai puluhan juta dalam satu bulan.

“Bisa sampai Rp 30 juta,” ujarnya. Pendapatan setiap bulannya bisa digunakan untuk membayar 10 pekerja kontrak yang datang dan pergi ke tempatnya setiap hari.

Untuk memastikan pelanggan tidak ragu untuk kembali lagi, Joko menerapkan harga kompetitif, desain menarik, serta layanan purna jual. Karyawan wajib melayani pelanggan yang melakukan komplain setelah pembelian.

“Itu yang terpenting, terbukti pelanggan kami selalu datang kembali untuk memesan model lainnya,” ujarnya. Namun, Joko agak khawatir jika MEA mulai berdampak. Berbagai bahan kulit sintetis dan desain yang canggih serta input modal yang besar akan mampu menghasilkan sepatu yang lebih baik dengan harga yang lebih murah karena diproduksi dalam jumlah banyak dan menghemat tenaga kerja.

Meski demikian, Joko akan terus berusaha berkreasi dan menjaga kualitas produknya agar tetap diminati konsumen.

Mempercantik kemasannya

Ketua Ikatan UMK Malang Nanang Sugeng mengatakan kemasan menjadi kunci penting untuk bersaing di MEA. Banyak produk makanan anggotanya yang rasanya enak, namun kalah bersaing karena kemasannya yang kurang menarik.

Bekerja sama dengan koperasi dan UMK Kota Malang, asosiasi UKM mengajak anggotanya untuk menggunakan kemasan yang lebih cantik untuk menarik pembeli.

“Kami memberikan bantuan desain kemasan gratis sesuai target pasarnya. “Hasilnya bagus, dalam empat bulan terakhir salah satu dari 200 anggota kami mulai mengirim ke Hong Kong,” ujarnya.

Produk rambut Arbanat atau nenek dengan merek “Gendhis” dijual di Hong Kong. Menurut Nanang, jumlah pesanannya masih ratusan jas setiap bulannya. Namun penugasan itu datang setelah rambut nenek mengalami perubahan kemasan.

“Memang ada kenaikan harga dari sekitar Rp 1000 menjadi Rp 1500 dengan kemasan berbeda, tapi pasarnya juga akan semakin luas dan harga jualnya juga bisa naik,” lanjutnya.

Terdapat 1.030 UMKM di Malang yang sebagian besar merupakan industri rumahan dengan omzet antara Rp 300 juta hingga Rp 2,5 miliar per tahun. Ada empat hal yang ditekankan untuk menjangkau pasar yaitu rasa, aroma, warna dan kemasan.

Asosiasi UKM menyatakan tidak perlu dikaitkan dengan MEA. Dari sejumlah studi banding yang dilakukan, produk makanan UKM Malang lebih unggul dari segi rasa dibandingkan produk sejenis di Thailand, Singapura atau Malaysia.

“Tidak perlu terlalu berharap, kami masih merasa baik dibandingkan Thailand di sini. “Yang perlu diperbaiki adalah manajemennya,” ujarnya. — Rappler.com

BACA JUGA