‘Bahasa gaul LGBT’ vs akademisi super KW
- keren989
- 0
Di sela-sela Sabtu pekan lalu, saya tidak sengaja menemukan artikel berjudul “Gaul LGBT” karya Sarlito Wirawan Sarwono yang sepertinya menyandang gelar guru besar psikologi Universitas Indonesia. Artikel ini dimuat di majalah Gatra dengan judul “Melawan Aksi LGBT di Kampus” (edisi 4-10 Februari 2016).
Dalam pembukaan artikelnya, Sarlito menggambarkan dua tokoh kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) Indonesia, yaitu Dorce Gamalama dan mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi yang kini meninggal dunia pada masa Orde Baru yang namanya dirahasiakan (walaupun generasinya. Mereka yang hidup pada masa ini pasti tahu siapa nama asli menteri tersebut).
Melalui Dorce dan mantan menteri tersebut, penulis berpendapat bahwa keduanya telah banyak berkontribusi kepada masyarakat, sehingga sebagai bagian dari komunitas LGBT, mereka memiliki manfaat lebih dan “kerusakan-nya. Sarlito kemudian menyimpulkan bahwa kaum LGBT seperti kedua tokoh ini adalah kaum LGBT yang “sono” atau bawaan, sehingga tidak pernah lari dari kodratnya, menerima orientasi dan identitas seksualnya serta memaksimalkan potensinya untuk kepentingan orang lain. psikologi homoseksual jenis ini disebut homoseksual tipe sistonik.
Selain tipe sistonik, ada pula tipe homoseksual ego distonik. Pada kategori ini, seorang homoseksual akan merasa tidak nyaman dan tertekan terhadap orientasi seksualnya, sehingga ia akan mencari cara untuk menjadi heteroseksual. Namun, istilah ini bukannya tanpa perdebatan. Dalam budaya dan masyarakat yang menganggap homoseksualitas sebagai “penyimpangan sosial”, tidak mudah untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT.
Tekanan dan penilaian dari lingkungan sekitar akan membuat individu dengan orientasi seksual sesama jenis merasa takut, depresi, bahkan tak jarang melakukan percobaan bunuh diri. Oleh karena itu, ketika homoseksual ego dystonia dikategorikan sebagai bagian dari gangguan psikoseksual, maka disinilah kita harus bertanya secara kritis, bukankah tekanan dan perasaan depresi yang sering muncul akibat penilaian dan stereotip negatif terhadap kaum LGBT dari lingkungan. . lingkungan? Bagaimana jika stigma terhadap kelompok LGBT berkurang dan tingkat penerimaan terhadap kelompok ini membaik?
Hal inilah yang juga harus diperhatikan ketika membahas homoseksual tipe distonik, harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, yakni bagaimana perasaan depresi tidak bisa lepas dari lingkungan eksternal.
Di negara kita, menjadi tipe LGBT yang sistematik dan percaya diri terhadap seksualitasnya bukanlah hal yang mudah. Informasi mengenai keberagaman gender dan seksualitas merupakan hal yang tabu, stigma yang semakin kuat, dan bahkan minimnya pendidikan seksualitas membuat kelompok LGBT semakin sulit untuk menegaskan seksualitas mereka. Banyak dari mereka yang masih terpaksa bersembunyi dan rentan terhadap rasa bersalah dan depresi. Padahal, salah satu inisiatif menarik yang digagas tim Kelompok Dukungan dan Pusat Sumber Daya Studi Seksualitas Tujuan Universitas Indonesia (SGRC UI) untuk memberikan pengetahuan kritis tentang seksualitas ditentang keras.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir malah memperkeruh keadaan dengan melontarkan pernyataan-pernyataan yang bertolak belakang dengan perannya sebagai penjaga pendidikan tinggi di negeri ini.
Meski penulis terkesan ingin mengambil sikap netral, namun saya bingung dengan argumen yang tiba-tiba memunculkan istilah baru “gaul LGBT” yang mengacu pada bergabungnya kaum LGBT, gaya hidup, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, Sarlito mengambil contoh banyaknya bar gay eksklusif di Bangkok. Menurutnya, mereka hanya bertingkah gay saat bertugas di malam hari.
Ada dua tanggapan dari saya untuk menanggapi pernyataan ini. Pertama, bisnis apa pun pasti ingin mendapat untung. Tentu saja, jika seorang lelaki gay bekerja di bar gay eksklusif, ada kemungkinan dia akan berbicara omong kosong atau omong kosong penggoda dengan konsumen. Ujung-ujungnya lalai dalam menjalankan tugasnya, pelayanannya tidak prima, dan usaha tempatnya bekerja berpotensi merugi. Oleh karena itu, untuk menghindari hal di atas, bar khusus gay seringkali juga mempekerjakan laki-laki heteroseksual.
Kedua, untuk memahami kompleksitas seksualitas dikenal dengan istilah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), atau dalam bahasa Indonesia disebut Lelaki Seks Lelaki (LSL).
Orientasi seksual, identitas seksual, dan praktik seksual adalah tiga hal yang berbeda. Misalnya, karena kemiskinan, saya adalah seorang pemuda heteroseksual yang pergi ke kota. Karena keterbatasan pendidikan, saya menjadi pekerja seks untuk melayani laki-laki lain. Saya melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, tetapi saya tetap mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual dan berkencan dengan seorang wanita. Sementara itu, mereka bekerja memberikan layanan seksual kepada sesama laki-laki hanya untuk mendapatkan uang.
Contoh lainnya adalah laki-laki heteroseksual yang dipenjara. Karena tidak ada wanita di penjara yang bisa berhubungan seks dengannya, pria tersebut akhirnya berhubungan seks dengan sesama narapidana. Namun, praktik seksual tersebut tidak serta merta menjadikannya gay. Praktik seksual dengan laki-laki lain hanya untuk memuaskan hasratnya karena ketidakhadiran perempuan. Ketika dia keluar dari penjara, dia tetap menjadi pria heteroseksual yang memiliki istri atau pacar.
Oleh karena itu, istilah LSL atau LSL mengacu pada bagaimana praktik seksual, orientasi seksual, dan identitas seksual tidak selalu berjalan dalam koridor yang sama. Kedua istilah ini juga digunakan untuk menyebut laki-laki heteroseksual yang sudah menikah, namun juga memiliki pasangan laki-laki atau transgender. Mereka menolak untuk diidentifikasi sebagai gay atau biseksual.
Mungkin Sarlito akan bingung membaca penjelasan ini. Faktanya, seksualitas manusia bukanlah sesuatu yang hitam dan putih. Ini sebenarnya sangat, sangat kompleks.
Contoh lain yang sering ditemui adalah seorang gay yang dipaksa menikahi seorang perempuan. Orientasi seksualnya adalah homoseksual. Namun karena takut akan tekanan dan diskriminasi, ia kemudian menikahi perempuan, melakukan hubungan seksual dengan perempuan, sehingga memiliki identitas seksual sebagai heteroseksual. Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya dia menyukai laki-laki dan pikirannya dihantui ketika harus berhubungan seks dengan wanita.
Yang semakin membuat saya bingung ketika membaca dan mengikuti logika tulisan Sarlito adalah bagaimana membedakan LGBT yang sebenarnya (bawaan) dan LGBT yang gaul (istilah yang sepertinya ia ciptakan sendiri). Bagaimana dia bisa mengkategorikan Dorce dan mantan menterinya sebagai LGBT sejati, padahal ular lainnya adalah LGBT? Apa perbedaan mendasarnya? Apakah hanya dengan seketika seseorang bisa menerima identitas seksualnya dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, barulah ia disebut LGBT sejati (bawaan)?
Argumen ini kembali menjebak Sarlito dalam perdebatan klasik antara keduanya alam/pengasuhan (alam/sosial). Untuk menjawab perdebatan tersebut, Elizabeth Grosz, seorang filsuf perempuan menyatakan bahwa “tanpa sosialitas, seksualitas manusia tidak dapat berkembang(Tanpa interaksi sosial, seksualitas manusia tidak dapat berkembang).
Singkatnya, seksualitas manusia merupakan interaksi antara faktor biologis dan sosial. Tubuh biologis adalah bahan mentah, namun manusia hidup dalam dunia sosial. Di situlah ia menemukan dirinya, berinteraksi dengan orang lain dan membentuk dirinya melalui interaksi, komunikasi, dan proses belajar.
Namun sayangnya, masih banyak akademisi kita yang belum memahami kompleksitas seksualitas manusia. Dunia akademis yang seharusnya terbuka terhadap berbagai kajian, malah menjadi semacam agen penjaga moral yang justru menghambat diskusi dan kajian kritis terhadap hal-hal yang dianggap “tabu”.
Jika ada istilah “gaul LGBT”, maka bagi akademisi yang menjadi kelompok moralis yang menghalangi diskusi kritis, sudah sepatutnya disebut “Akademisi Super KW”. —Rappler.com
Hendri Yulius adalah penulis buku ‘Coming Out’ dan dosen kajian gender dan seksualitas.
BACA JUGA: