Bali mulai merobohkan kuburan korban tragedi 1965
- keren989
- 0
Sejumlah warga desa di Bali merasa resah karena sudah menjadi rahasia umum jika terdapat jenazah korban tragedi 1965 di bawah tanah di jalan utama yang mereka lewati.
DENPASAR, Indonesia – Meski banyak elit penguasa masih takut dengan rekonstruksi bersejarah tahun 1965, warga di sebuah desa di Bali punya cara sendiri untuk berdiskusi secara damai tentang tragedi berdarah ini.
Ratusan warga berkumpul di lokasi pemotongan jenazah korban peristiwa 1965 sejak pukul 07.00, Kamis, 29 Oktober. Mesin pengeruk berat mulai bekerja mencari sisa-sisa tulang yang terkubur 50 tahun lalu.
Orang tua dan anak-anak yang mengenakan pakaian adat Bali antusias melihat proses ini. Mereka berharap segera mendapatkan tulang belulang saudara, tetangga, dan kerabat mereka yang menjadi korban pembantaian massal yang saat itu disebut pihak berwenang sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, warga di desa terpencil saling membunuh, teman, bahkan keluarga sendiri.
Hal serupa juga terjadi di desa yang berjarak 3 jam perjalanan dari Kota Denpasar. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak peneliti yang mengungkap bahwa pembantaian warga pada tahun 1965-1966 merupakan genosida terbesar di negara tersebut dan mengorbankan ribuan warga tak berdosa. Di Bali sendiri diperkirakan ada 80 ribu korban.
Untuk memperingati 50 tahun pembunuhan massal tahun ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga didesak untuk meminta maaf kepada keluarga korban sebagai upaya rekonsiliasi. Namun, pada Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2015, Jokowi menyebut pemerintah berencana meminta maaf.
Tidak ada pemikiran untuk meminta maaf, sampai saat ini belum ada yang ke arah sana, kata Jokowi usai menjadi inspektur upacara Hari Kesaktian Pancasila di Tugu Pancasila Sakti saat itu.
Bali memulai upaya rekonsiliasi peristiwa pembunuhan massal tahun 1965, Kamis ini, secara mandiri di Desa Batuagung, Kabupaten Jembrana. Kawasan ini disebut-sebut menjadi salah satu kawasan yang paling banyak korban pembantaian pada masa kerusuhan politik saat itu.
Beberapa bulan terakhir, warga bergotong royong mempersiapkan upacara Pitra Yadnya, yaitu upacara keagamaan bagi orang yang sudah meninggal. Mereka membagi tanggung jawab sesuai kebutuhan, seperti mengumpulkan dana, melakukan presentasi dan lain-lain.
Ia mengaku masih ingat banyak orang yang diikat, dipukuli, lalu ditebas dengan senjata tajam saat itu. Entah apa, banyak yang tidak paham dan itu namanya PKI, ujarnya.
Terdapat 9 jenazah yang secara kolektif diidentifikasi sebagai korban peristiwa tahun 1965 yang masih terkubur di depan sekolah dasar dan taman kanak-kanak di kota tersebut.
Saat proses pengerukan, warga terlihat saling berbincang. Coba tebak apa yang terjadi hingga terjadi pembantaian di antara penduduk desa.
Puluhan tahun warga dirundung berbagai kejadian buruk karena tumpukan jenazah yang menumpuk di kawasan Dusun Masean yang bukan merupakan pemakaman desa.
“Ada banyak kejadian aneh di kota ini. Penduduk sepakat agar dipasang dan diberi upacara yang layak,“ kata Wakil Perbekel atau Wakil Kepala Desa Ida Bagus Suliksa.
Sejumlah warga merasa resah karena sepengetahuan masyarakat terdapat mayat di bawah tanah di jalan utama yang mereka lewati.
Peristiwa buruk juga dikaitkan dengan peristiwa ini, misalnya masih banyak orang yang melihat makhluk halus berkeliaran, sering ada siswa yang kesurupan, atau terjadi kekacauan karena lokasinya bersebelahan dengan sekolah. Ada juga kasus bunuh diri dan kecelakaan yang dianggap sebagai kematian yang salah atau kematian yang tidak wajar di Bali.
Suliksa mengatakan, pembongkaran makam para korban 1965 juga merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka yang harus menjadi korban dalam suasana politik yang penuh kekerasan saat itu.
“Sebagai umat Hindu kami percaya bahwa almarhum harus menerima upacara agar arwahnya dapat beristirahat dengan tenang. Mereka juga tidak berarti bahwa mereka bersalah.“ ujarnya seraya dengan waspada mengarahkan proses evakuasi melalui pengeras suara.
Diakui Suliksa, kesepakatan bersama ini dicapai setelah melalui serangkaian pertemuan menangkap atau pertemuan bersama dalam kelompok kecil dan besar warga desa yang berlokasi di Bali Barat.
Lebih dari 9 orang diyakini telah dimakamkan di kawasan ini, namun beberapa jenazah telah ditemukan oleh keluarganya sejak tahun 1980-an. Salah satu saksi mata pembantaian ini, Ida Bagus Ketut Krenda, dikepung warga dengan ekskavator saat proses pembongkaran.
Ia tergagap dalam bahasa Bali dan mengaku masih ingat banyak orang yang diikat, dipukuli, lalu ditebas dengan senjata tajam saat itu. “Entah apa, banyak yang paham dan disebut PKI,“ dia berkata.
Hingga sore hari, pengerukan masih terus dilakukan hingga jalan raya beraspal akhirnya dibongkar untuk mencari tulang belulang lagi. Selanjutnya akan dibakar bersama-sama, kemudian abunya akan diadakan upacara sebelum dibuang ke laut.
Beberapa keluarga korban melakukan ritual yang sama, namun tanpa jenazah. Hal ini dapat dilakukan jika jenazah tidak ditemukan dan hanya simbol yang digunakan.
Saat ini warga tampak lebih bahagia karena akhirnya ada benda fisik yang diyakini keluarganya hilang atau diambil paksa, meski hanya berupa potongan kecil tulang. Yang mungkin lebih penting lagi adalah saling menyadari kejadian buruk di masa lalu dengan bekerja sama melakukan pembongkaran dan ritual ini bersama-sama.
Ironisnya, di sisi lain masih ada elite penguasa yang ingin melanggengkan stigma tersebut dengan melarang segala bentuk pembahasan peristiwa 1965. Misalnya saja pembatalan nomor peristiwa terkait dengan Ubud Writers and Readers Festival yang sedang berlangsung di Bali. —Rappler.com
BACA JUGA: