• November 24, 2024
Bau narkoba dari balik tembok penjara narkoba

Bau narkoba dari balik tembok penjara narkoba

JAKARTA, Indonesia – Rendi bin Aih Matsani, 29 tahun, tampak risih saat ditanya tentang kesehariannya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, baru-baru ini.

“Saya belajar membuat roti, Pak,” kata Rendi, begitu ia biasa disapa teman-temannya sambil menggaruk-garuk kepala.

Rendi mengaku sudah mahir membuat roti dan ingin melanjutkan bisnis roti setelah keluar dari penjara. “Saya akui Pak, saya tidak mau lagi mengkonsumsi atau menjual narkoba. Aku lelah,” katanya.

Rendi yang mengaku lulusan Sekolah Teknik Mesin dan sempat magang di bengkel resmi Yamaha di Jakarta, tengah menjalani hukuman 4,5 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah menggunakan dan menjual narkoba pada 2013.

Tepat di depan toko roti tempat Rendi ‘dibina’, Ahmad Taher, 45 tahun, belajar membuat furnitur mulai dari lemari, meja, dan kursi. Ia mengaku belum memiliki pekerjaan tetap sebelum ditangkap pada tahun 2011 dan masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan setelah keluar dari penjara.

“Saya menjual ganja untuk menambah pendapatan keluarga agar bisa menyekolahkan anak-anak saya. Tapi sekarang dia tidak bisa belajar lebih lanjut karena saya di penjara. “Saya sangat sedih,” kata pria yang divonis 7 tahun 2 bulan penjara itu.

Rendi dan Ahmad Taher merupakan dua dari 3.068 warga binaan Lapas Narkoba Cipinang, lembaga pemasyarakatan narkoba pertama di Indonesia. Diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003, penjara ini memiliki 4 blok hunian, dengan 510 kamar yang terdiri dari 4 tipe. Tipe satu (didesain untuk satu orang) kini diisi tiga orang, tipe 3 sebanyak 7 orang, tipe 5 sebanyak 9 hingga 11 orang, dan tipe 7 sebanyak 21 hingga 25 orang.

Kondisi perumahan memang tidak normal dan kelainan ini berdampak pada penyediaan kebutuhan listrik, air, dan fasilitas lainnya bagi para narapidana, kata Kepala Lapas Andika Prasetya, Kepala Rappler, di ruang kerjanya.

Kabar buruknya, jumlah narapidana dan tahanan narkoba di Jakarta mencapai lebih dari 3.068 orang. Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan K. Dusak, jumlah narapidana dan narapidana narkoba di Jakarta mencapai 14.286 orang atau 88 persen dari total populasi lembaga pemasyarakatan yang berjumlah 16.173 orang. Dari 14.286 kasus narkoba, 8.009 orang merupakan pengedar dan pengedar, dan hanya 6.777 orang yang merupakan pengguna.

“Hampir 70% narapidana Lapas Umum di Jakarta adalah narapidana narkoba,” kata Dusak.

Ini berarti, pada kenyataannya Seluruh lembaga pemasyarakatan di Jakarta saat ini merupakan lembaga pemasyarakatan narkoba.

Secara nasional, jumlah narapidana dan tahanan narkoba mencapai 61.653 orang pada Maret 2016, atau 34 persen dari 181.978 narapidana dan tahanan di Indonesia.

Dengan 14.286 kasus, Jakarta menempati urutan pertama dalam daftar narapidana dan tahanan narkoba, disusul Jawa Barat 6.796 orang, Sumatera Utara 6.766 orang, Riau 3.723 orang, Kalimantan Selatan 3.448 orang, dan Kalimantan Timur 3.394 orang.

“Saat ini, narkoba secara drastis mempengaruhi generasi muda kita besar sekali dan itu bukan tidak mungkin (Indonesia akan mengalaminya) generasi kerugian karena obat ini,” lanjut Dusak.

Yang memprihatinkan, menurut Dusak, 65 persen dari 61.653 narapidana dan narapidana narkoba di penjara saat ini adalah pengedar dan pengedar. “Biasanya pengguna yang masuk penjara lebih banyak dibandingkan pengedar dan pengedar. Bukan di Indonesia. Artinya jaringan narkoba di sini sangat besar, ujarnya.

Dalam undang-undang no. 35 Tahun 2009 tentang Narkoba, pelaku kejahatan narkoba diancam hukuman mati. Dan memang, halPada tahun 2015 saja, Indonesia mengeksekusi 14 narapidana narkoba.

Kekhawatiran sang Dirjen bukan tanpa alasan. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (NNA), Komjen Pol. Budi Waseso, jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta orang pada November 2015, dibandingkan 4,2 juta orang pada Juni 2015.

Penjara umum dengan obat “bumbu”.

Sesuai dengan namanya, Lapas Narkoba Cipinang hanya menampung narapidana narkoba: pengedar, pengedar, dan pengguna. Namun, penyalahgunaan narkoba berakhir di situ. Menurut Dusak, struktur penjara, kegiatan sehari-hari dan program pembinaan narapidana di Lapas Cipinang dan Lapas Narkoba lainnya di Indonesia tidak berbeda dengan Lapas umum di lapangan.

Jadwal sehari-hari di Lapas diatur secara ketat dan diikuti mulai dari bangun pagi hingga tidur malam. Bangun pukul 06.00 pagi, langsung dipanggil ke setiap ruangan untuk melihat keberadaan para narapidana. 07.00: sarapan di setiap kamar. Setelah itu mereka boleh keluar ruangan untuk berolahraga atau membersihkan lingkungan, ruangan dan halaman.

Usai olah raga, para warga binaan mengikuti program pengembangan, baik pribadi maupun sosial. Ada yang belajar membuat roti seperti Rendi atau membuat furniture seperti Ahmad Taher, ada juga yang belajar memasak, menjahit, memotong rambut, dan membuat kerajinan tangan. Ada pula yang mengambil program pendidikan untuk mendapatkan ijazah paket C dan kursus komputer. Dan ada juga yang ikut serta dalam pengembangan kepribadian spiritual.

“Pelatihannya sama dengan narapidana lain: kemandirian dan keterampilan. Secara umum semuanya seperti itu, termasuk teroris atau narapidana koruptor. “Kami tidak memiliki program khusus untuk narapidana narkoba,” kata Dusak.

Idealnya, lanjut Dusak, narapidana narkoba ditempatkan di Lapas khusus yang program pelatihannya berbeda dengan narapidana umum. “Yang membedakan Lapas Narkotika dengan Lapas lain hanyalah ini tata nama atau namanya dan orang-orang yang ada di penjara itu,” kata Dusak.

“Kalau narapidana terorisme punya program deradikalisasi, maka narapidana narkoba tidak punya program de-narkobanisasi. “Kalaupun ada, jumlah pesertanya sangat sedikit,” kata Dusak.

Yang dimaksud Dirjen Dusak dengan de-narkobanisasi adalah program rehabilitasi yang dilakukan BNN 6 bulan sebelum seorang narapidana keluar dari penjara. Sepanjang tahun 2015, BNN telah merehabilitasi 3.845 narapidana narkoba di seluruh Indonesia, termasuk 60 orang warga Lapas Narkoba Cipinang.

“Tahun ini kami usulkan 1.000 narapidana, tapi sepertinya tidak akan mencapai 1.000 orang. “Kami beberapa kali melakukan pertemuan, dan sepertinya jumlahnya (peserta rehabilitasi dari Lapas Narkoba Cipinang) tidak akan mencapai 1.000 orang karena masalah anggaran,” kata Andika.

Sebelumnya, Deputi Rehabilitasi BNN Diah Hutami mengatakan kepada Rappler, pihaknya akan melaksanakan program rehabilitasi terhadap 3.700 orang sepanjang tahun 2016.

Tidak semua narapidana narkoba yang telah menyelesaikan masa tahanannya dapat mengikuti program rehabilitasi. Program ini hanya diperuntukkan bagi pengguna yang menunjukkan niatnya untuk tidak menggunakan narkoba lagi setelah keluar dari penjara. Sedangkan para pedagang dan pedagang tidak mengikuti program rehabilitasi.

“Rehabilitasi hanya bagi kategori pengguna dan berdasarkan penilaian dokter Lapas,” kata Kepala Lapas Narkotika Kelas IA Cipinang, R. Andhika Dwi Prasetya.

Di Lapas Cipinang sudah tidak ada lagi pengedar, pedagang maupun pengguna. Mereka semua adalah tahanan, bercampur dan hidup bersama. Makan, tidur, olah raga, membersihkan taman dan melakukan berbagai aktivitas bersama di dalam penjara.

“Untuk kamar tidur kami tentukan berdasarkan observasi awal, karakter narapidana dan hukumannya. “Kami tidak membeda-bedakan pengedar, pedagang atau pengguna, kecuali asing,” kata Andika.

Tahanan asing, yang berjumlah puluhan dan berasal dari lebih dari 20 negara, ditempatkan di kamar tidur terpisah. “Orang asing ini semuanya pedagang,” kata Andhika.

Seorang warga binaan yang masuk ke Lapas Cipinang harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Narapidana yang sehat akan ditempatkan di ruang isolasi selama satu bulan untuk observasi, sedangkan bagi yang masih ketergantungan obat harus menjalani terapi medis.

“Kami memberikan perawatan medis karena pecandu biasanya memiliki kesehatan yang buruk. Kedua, kita mengurangi ketergantungan mereka terhadap obat pengganti metadon, kata Andika seraya menambahkan, Saat ini masih ada 34 pecandu yang mengikuti program rehabilitasi medis.

Bau obat-obatan dari penjara anestesi

Beberapa langkah telah diambil pihak lapas untuk memastikan narkoba tidak lagi beredar di dalam lapas. Mulai dari sistem keamanan berlapis, lengkap dengan pencarian tubuhyang melarang petugas membawa ponsel di tempat tertentu, bahkan mewajibkan pengunjung memakai sandal yang disediakan Lapas sebelum bertemu dengan anggota keluarga atau kenalan yang menjalani hukuman.

Penjara juga melakukan penggerebekan setiap hari, termasuk eksekusi pencarian tubuh kepada para tahanan, dan dengan cermat memeriksa semua barang di kamar mereka.

Hasil?

“Saat penggerebekan tidak jarang petugas Lapas menemukan bong – alat untuk menghisap narkoba dari botol – lengkap dengan sedotan dan plastik kosong yang diduga merupakan bungkusan narkoba. Dan hampir setiap melakukan penggerebekan, petugas menemukan telepon seluler, padahal di dalam lapas sudah ada bilik telepon, kata Andika.

“Alat penyedot ini menjadi gambaran masih adanya penyalahgunaan narkoba di lapas. Barang-barang ini ada di tempat sampah dan sulit bagi kami untuk mengarahkannya ke orang-orang tertentu.”

Fakta bahwa petugas lapas melakukan penggerebekan setiap hari menunjukkan bahwa kami yakin masih ada penyalahgunaan dan peredaran narkoba di (lapas), kata Andika.

Ia menduga petugas lapas sendiri terlibat dalam pengedaran narkoba di Lapas Kelas Satu tersebut. “Untuk pengunjung dan anggota keluarga mengikuti prosedur. Karyawan juga memiliki prosedur yang tetap. Siapa lagi kalau bukan orang dalam, kata Andika.

Dirjen Dusak tidak menampik adanya peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan di Indonesia, termasuk di lapas khusus narapidana narkoba.

“Harus jujur, sepertinya banyak barang (narkoba – kecuali) yang masuk ke (lapas). Jika banyak hal yang masuk, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya? “Jangan sembunyikan data itu,” kata Dusak.

Dusak meyakini tidak semua 514 Lapas di Indonesia bermasalah dengan narkoba. Pihaknya juga meminta Kanwil Provinsi melakukan pemetaan dan penunjukan Lapas Bebas Narkoba dalam programnya.

“Jika kita ingin mensterilkan narkoba, kita harus memisahkan lapas narkoba dengan lapas bebas narkoba,” kata Dusak.

Saat ditanya alasannya belajar membuat roti sebagai bagian dari program pengembangan sosialnya, narapidana Rendi terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Daripada berdiam diri di kamar dan tergoda narkoba lagi, lebih baik saya menyibukkan diri dengan membuat roti,” ujarnya.

Namun dia menolak memberikan informasi apakah para narapidana masih memiliki akses terhadap narkoba di penjara. “Saya tidak tahu Pak, saya tidak tahu,” katanya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Live Result HK