Beberapa aksi solidaritas Indonesia untuk etnis Rohingya
- keren989
- 0
Massa menuntut agar pembantaian terhadap etnis Rohingya dihentikan dan akses bantuan dari Indonesia tidak dipersulit
JAKARTA, Indonesia – Agresi militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya menuai protes dari pihak lain. Salah satunya di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan kawasan Asia Tenggara.
Saat ini, kedutaan Myanmar didatangi banyak pengunjuk rasa yang menuntut agar konflik di Rakhine, tempat tinggal etnis Rohingya, diselesaikan. Sekitar pukul 13.00, puluhan orang dari Diversity Parade tiba.
Mereka mengenakan kaos hitam dan membawa spanduk berwarna biru tua bertuliskan #SaveRohingya. Selain itu, ada juga rangkaian bunga bertuliskan ‘belasungkawa’.
Peserta aksi juga membawa bunga mawar putih dan poster. Empat siswa SMA terlihat memegang tulisan #SaveRohingya.
“Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memegang teguh sila ke-2 Pancasila, aksi solidaritas ini kita adakan,” kata salah satu peserta, Raja Juli Antoni, Kamis, 24 November di Jakarta.
Berbeda dengan aksi unjuk rasa masyarakat pada umumnya, Diversity Parade menjalankan aksinya dengan khidmat dan damai. Tuntutan mereka adalah agar pemerintah Republik Indonesia melalui mekanisme ASEAN dan PBB harus proaktif dalam mencari solusi damai dan keadilan bagi kelompok etnis Rohingya di Myanmar.
Upaya diplomasi juga harus terus didorong, termasuk pelaksanaan intervensi kemanusiaan. “Kami bahkan akan mengambil langkah-langkah untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan rezim Myanmar jika terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Selain itu, jika ada warga Rohingya yang meninggalkan negaranya dan mendarat di Indonesia, maka pemerintah dan masyarakat harus terbuka. Mereka harus disambut dengan pelayanan dan fasilitas.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penyebaran informasi terkait kejadian ini di media sosial. Raja melihat adanya potensi menebar kebencian dan permusuhan, termasuk melalui pertemuan langsung.
Aksi ini berlangsung kurang dari 1 jam, namun Kedutaan Besar Myanmar tak henti-hentinya melakukan protes. Kemudian Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA) Persis pun tiba. Sekitar 30 orang berjaket merah tua membawa bendera hijau bertuliskan nama organisasi dan plakat.
Para mahasiswa juga mengecam keras pembantaian ‘saudara Muslim’ mereka di Myanmar dan bahkan menyebut negara tersebut sebagai teror.
Mereka dengan keras menuntut agar diizinkan masuk dan bertemu dengan duta besar Myanmar.
“Kami meminta polisi untuk memberi tahu kedutaan bahwa kami ingin masuk dan menemui duta besar Myanmar,” kata pemimpin demonstrasi yang mengenakan topi hitam.
Perwakilan Persis, Ceceng Waliluloh akhirnya diizinkan Kedutaan Myanmar bertemu dengan Sekretaris III Kedutaan Myanmar. Ceceng menyerukan segera dihentikannya pembantaian terhadap etnis Rohingya.
“Kami juga meminta agar akses bantuan bagi warga Rohingya asal Indonesia tidak dihalangi,” kata Ceceng.
Perwakilan dari kedutaan Myanmar menyatakan akan menyampaikan tuntutan tersebut kepada pemerintahnya.
Penutupan kedutaan
Demonstrasi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, rratusan orang yang tergabung dalam Keluarga Besar Persatuan Islam (Persis) Jabar pun menyampaikan aspirasinya di depan Gedung Sate, Bandung.
“Aksi solidaritas ini merupakan respon kami terhadap peningkatan kekerasan yang luar biasa di Myanmar yang mengakibatkan ratusan warga Muslim Rohingya menderita bahkan meninggal,” kata Dian Hardiana, Koordinator Aksi Keluarga Besar Persis Jabar, di sela-sela aksi.
Mereka mendesak pemerintah Indonesia mengeluarkan protes diplomatik dan mengambil sikap tegas terhadap pemerintah Myanmar.
“D“dengan mengusir Duta Besar Myanmar untuk Republik Indonesia yang bermarkas di Jakarta,” kata Dian.
Hingga saat ini konflik berdarah masih terus terjadi di Myanmar. Lebih dari 100 orang telah terbunuh sejak tahun 2012 dalam pertempuran antara penduduk mayoritas Buddha dan Muslim Rohingya, yang menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi dan terpaksa tinggal di kamp-kamp pengungsi.
Peristiwa ini juga membuat Aung San Suu Kyi berada dalam kesulitan karena dunia menilainya gagal mengendalikan tindakan militer negaranya. Peraih Hadiah Nobel Perdamaian ini juga mendapat banyak kritik karena tetap diam mengenai penderitaan Rohingya
Mandat PBB untuk Myanmar Yanghee Lee mengkritik cara pemerintah menangani krisis ini. Dia menyerukan tindakan khusus untuk melindungi warga sipil.
“Aparat keamanan tidak boleh menyerah dalam meningkatkan operasinya,” ujarnya dalam keterangan resmi. —dengan laporan ANTARA/Rappler.com