Belajar Islam dan mengamalkan Pancasila di Pondok Pesantren Alpansa
- keren989
- 0
SOLO, Indonesia — Siang hari, Masjid Al Muttaqien Jami di Desa Troso, Karanganom, Klaten, dipenuhi pelajar dan warga desa yang akan melaksanakan salat Jumat di minggu pertama Ramadhan. Sesaat kemudian azan dikumandangkan dan khatib menuju mimbar untuk menyampaikan khutbah singkat dalam bahasa Arab.
Usai memimpin salat Jumat, imam langsung berdiri dan mengajak para santri dan jemaah menunaikan salat dua rakaat untuk mendoakan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Bukan karena memperingati hari lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, melainkan meneruskan tradisi yang diturunkan secara turun temurun oleh pendiri pesantren tersebut.
“Hal ini sudah menjadi kebiasaan Mbah Lim sejak lama sebagai permohonan kepada Allah agar Indonesia aman, damai, dan sejahtera. Agar pembuat onar negara sadar, koruptor sadar, kata Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti (Alpansa), KH Saifuddin Zuhri atau Gus Zuhri yang menjadi imam salat sore itu.
“Jika ada yang bilang bid’ah (ibadah yang tidak ada tuntutannya terhadap Nabi), ya terserah anda saja, bukan apa pun. “Mbah Lim selalu bilang, kalau ajaran ini dosa biarlah dia menanggungnya sendiri, yang penting Indonesia aman,” kata putra ketiga Mbah Lim ini.
“Keyakinan yang diajarkan Mbah Lim kepada kami adalah bahwa Pancasila adalah bawaan bangsa Indonesia. “Masyarakat mau teriak khilafah, NKRI tidak berubah karena khilafah tidak ada akarnya di Indonesia.”
Mbah Lim atau KH Muslim Rifai Imampuro adalah pendiri pesantren Alpansa. Dia meninggal lima tahun lalu pada usia 91 tahun. Namun segala tradisi yang berbau nasionalisme tetap dilestarikan di kediaman Islam ini, seperti upacara bendera dan nyanyian lagu Indonesia Rayaberdoa untuk NKRI setiap sebelum memulai salat lima waktu di Masjid Jami, dan salat berjamaah setiap hari Jumat.
Mbah Lim merupakan seorang ulama kharismatik yang akrab di kalangan semua kalangan, mulai dari masyarakat biasa hingga tokoh nasional. Cara berpakaiannya nyentrik, dan jauh dari kesan pendeta. Dia terkadang suka memakai kemeja dan topi usang, pakaian petani atau seragam tentara. Gayanya spontan dan jenaka.
Ia pernah menjadi valet mobil kepresidenan Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada sebuah acara di Jawa Timur. Saat ditegur Paspampres, dia tidak marah dan malah tersenyum ramah. Gus Dur kemudian menurunkan kaca jendela mobil, memberitahu anggota Paspampres, lalu memberitahu siapa lelaki tua itu.
Bagi sebagian kalangan nahdliyin –pengikut Nahdlatul Ulama (NU) – Mbah Lim dikenal sebagai salah satu dari sedikit kiai memeriksa. Bahkan ada yang menilai Mbah Lim memiliki sifat bak wali karena doa dan perkataannya kerap terkabul, salah satunya pernyataannya di tahun 1980-an tentang cucu KH Hasyim Asyari yang kelak menjadi pemimpin bangsa.
Banyak tokoh bangsa sejak Orde Baru yang datang ke kediaman Islam Alpansa untuk meminta doa kepada Mbah Lim. Di era Reformasi, kiai nasionalis ini juga menjadi penasehat spiritual Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden.
Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar NU, Gus Dur sempat dekat dengan Mbah Lim. Oleh karena itu, pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan Islam yang melindungi semua golongan sedikit banyak terinspirasi dari Mbah Lim.
Lima tahun sebelum kematiannya, Mbah Lim mendirikan Joglo Damai di Kompleks Perumahan Islam sebagai simbol dari idenya yang ingin mempersatukan masyarakat di Indonesia yang berbeda keyakinan dan keyakinan. Di dalam joglo tersebut, Mbah Lim dimakamkan dengan ditutupi bendera merah putih.
Mempertahankan Pancasila dan keberagaman
Warisan Mbah Lim merupakan gagasan utuh tentang Islam dan Pancasila. Pancasila merupakan bagian dari pengamalan nilai-nilai Islam dalam masyarakat majemuk. Baginya, untuk menjadi seorang muslim tidak perlu mendirikan negara Islam.
“Keyakinan yang diajarkan Mbah Lim kepada kami adalah Pancasila bekerja (asli) Orang indonesia, watak asli kita. Orang ingin berteriak KhalifahNKRI tidak akan berubah karena Khalifah tidak berakar di Indonesia,” kata Gus Zuhri.
“Tidak perlu fitnah, mereka juga saudara kita, doakan saja yang mau Khalifah menyadari kesalahannya.”
Ketika muncul ideologi Islam transnasional di Indonesia pada tahun 1980-an yang mempertanyakan relevansi bentuk dan dasar negara, maka Pondok Pesantren Alpansa menjadi pembela Pancasila.
Islam adalah agama damai yang menghargai perbedaan, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW yang sangat menghormati pamannya, Abu Thalib, meski berbeda keyakinan.
Bila kelompok radikal menyebut Pancasila, maka bendera dan lagu Indonesia Raya as pikir, Pesantren Alpansa sebenarnya melestarikan simbol nasionalisme. Selain kurikulum agama sebagai landasan pembelajaran, siswa juga diajarkan materi tentang keindonesiaan dan keberagaman. Sebab Islam mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Nafas dakwah kediaman Islam Alpansa adalah Islam rahmatan nag alamin, agama yang membawa kebaikan bagi seluruh alam. Sebagai agama dengan penganut mayoritas di Tanah Air, menurut Mbah Lim, Islam merupakan agama yang harus memberikan manfaat bagi sesama dan mendorong persatuan bangsa Indonesia.
“Seperti para pendiri republik yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mereka mampu mempersatukan Indonesia dengan rumusan Pancasila yang dapat diterima semua agama,” kata Gus Zuhri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Perbedaan adalah hal yang wajar karena kehendak Tuhanlah yang menciptakan alam dan manusia. Lalu bagaimana seharusnya setiap umat Islam bersikap di hadapan orang-orang yang berbeda keyakinan?
Mbah Lim mengajarkan bahwa setiap anak Adam adalah bersaudara, sebagaimana dikatakan Ali bin Abu Thalib bahwa siapa yang bukan saudara seiman maka ia adalah saudara seiman.
Terkait keyakinan yang dianut seseorang, pesantren ini mengajarkan agama sebagai wilayah pribadi yang tidak bisa dipaksakan dengan mengutip ayat Alquran, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”.
“Jika ada pemimpin non-Muslim, Mbah Lim selalu berdoa agar bisa memimpin dengan baik, amanah, dan bermanfaat bagi semua umat beragama,” kenang Gus Zuhri.
Terjalinnya kerukunan antar umat beriman
Pesantren Alpansa juga mengajarkan toleransi antar umat beriman. Mbah Lim mewarisi semangat persaudaraan antar umat meski berbeda agama dan keyakinan. Karena pada hakikatnya, setiap manusia adalah ciptaan Allah, baik anak Nabi Adam, maupun penduduk NKRI – sebagaimana pesan yang tertulis dalam Joglo Damai.
Salah satu menantu Mbah Lim yang juga pengurus pondok Alpansa, KH Jazuli Kasmani atau Gus Jaz, merupakan penerus cita-cita kiai untuk mencapai perdamaian.
Gus Jaz menjabat sebagai Ketua Forum Kebersamaan Umat Beragama (FKUB) Klaten sejak tahun 1998, sebuah organisasi yang mendorong dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam masalah sosial kemanusiaan di Kabupaten Klaten.
Pondok Pesantren Alpansa kemudian menjadi tempat bertemunya para pemuka agama dan agama. Seperti halnya Mbah Lim yang mengajarkan untuk menghormati tamu apapun latar belakang sosial dan agamanya, maka pesantren yang berada di pusat kota ini tidak pernah menolak tamu termasuk yang berbeda agama, misalnya saja kunjungan karang taruna Katolik untuk belajar tentang toleransi dan dialog antaragama. bulan April lalu.
Gus Jaz mengetahui bahwa Islam adalah agama damai yang menghargai perbedaan, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW yang sangat menghormati pamannya, Abu Thalib, meski berbeda keyakinan. Oleh karena itu, sebagai pesantren yang moderat, Alpansa selalu berusaha menebarkan dakwah Islam yang sejuk, yaitu merangkul semua kalangan, bukan yang mengedepankan kekerasan.
Sejak dini siswa dikenalkan toleransi terhadap keberagaman, menjalin kejujuran dan keikhlasan serta menghindari prasangka buruk terhadap orang lain meskipun berbeda agama.
“Sejak zaman Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW, hingga saat ini ciptaan Allah bermacam-macam. “Sejak kecil kita ajarkan kepada mereka untuk mencintai semua makhluk dengan mengakui dan menghargai perbedaan,” kata Gus Jaz.
Kapolres Klaten AKBP Muhammad Darwis yang berkunjung ke Pondok Pesantren Alpansa dalam rangka Pekan Pancasila mengatakan, Pondok Pesantren Alpansa telah memberikan kontribusi penting dalam menyebarkan pesan perdamaian, membangun nasionalisme, mencegah kejahatan dan mengusir benih-benih kejahatan. radikalisme melalui pendidikan agama. —Rappler.com