Benarkah masyarakat Aceh tidak bisa lepas dari ganja?
- keren989
- 0
Sekitar tahun 1980-an, ganja perlahan-lahan dihapuskan di Aceh. Tidak lagi ditanam di pekarangan
BANDA ACEH, Indonesia – Pohon dagga banyak tumbuh subur di negeri Aceh. Padahal, jenis tumbuhan yang kemudian tergolong narkotika ini sudah ada di Bumi Rencong sejak dahulu kala.
Masyarakat Aceh umumnya memanfaatkan akar, daun, dan batang ganja sebagai obat dan bumbu masakan. Tak heran jika ganja diidentikkan dengan Aceh. Namun benarkah masyarakat Aceh tidak bisa lepas dari ganja?
Malam perlahan mulai merayap masuk. Angin sejuk menerpa pria berkacamata melalui celah dinding bambu kantin Smea di Lampineung, Banda Aceh. Di tangannya, dia sesekali mengusap gadget hitam.
Pesan kopi dulu, kata Tarmizi A Hamid saat menerima Rappler di pojok kedai kopi Kota Banda Aceh, Selasa, 17 Oktober 2017. Kolektor naskah kuno Aceh ini nampaknya ramah. Ia dikenal dengan nama Cek Midi.
Rappler bertanya kepadanya tentang bekas ganja di serambi Mekkah. Selain itu, Aceh menerapkan hukum syariah Islam yang melarang minuman keras seperti ganja.
“Ratusan tahun yang lalu biji ganja dijadikan bumbu, kemudian batang dan akarnya dijadikan obat,” Cek Midi mulai bercerita tentang penggunaan ganja pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Katanya akar ganja sangat baik untuk penderita diabetes.
“Masyarakat Aceh dulu menanamnya untuk hal-hal positif,” ujarnya. Saat Aceh mengalami beberapa kali peperangan, pohon dagga digunakan sebagai obat luka dan anestesi.
Dulu, kata Cek Midi, belum ada obat kimia. Masyarakat Aceh bertahan hidup dengan menggunakan obat herbal dari daun salah satunya ganja karena keterbatasan teknologi farmasi pada saat itu.
Cek Midi mengatakan, sekitar tahun 1970-an tanaman ganja masih ditanam bebas di pot depan rumah. “Tujuannya untuk memasak bumbu dan obat,” kata pria berusia 48 tahun itu.
Ganja dipercaya ampuh melunakkan daging saat dimasak. Masakan khas Aceh yang sering ditaburi ganja adalah sambal Beulangong dan berbagai masakan lainnya yang berbahan dasar daging.
Kemudian seiring berjalannya waktu, ganja di Aceh mulai disalahgunakan oleh generasi penerus. Berawal dari rempah-rempah dan obat herbal, belakangan ini mulai diisap seperti rokok.
Saat itu ganja perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat Aceh karena takut akan menghancurkan generasi Aceh. Selain itu masih banyak bumbu masakan lainnya untuk melunakkan daging. Karena sudah tidak diperlukan lagi, tanaman yang ditanam di taman depan rumah pun ditebang seluruhnya. Dan ada kekhawatiran bahwa hal itu akan disalahgunakan.
Sekitar tahun 1980-an, tanaman ganja perlahan-lahan dimusnahkan di Aceh. Tidak lagi ditanam di pekarangan.
Kemudian sekitar tahun 1997, disahkan undang-undang yang secara resmi melarang peredaran tanaman ganja. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, ganja termasuk dalam golongan narkotika golongan I.
“Sekarang ganja tidak lagi digunakan untuk obat atau bumbu masakan, karena masih banyak obat atau bumbu masakan lain yang lebih baik dari ganja,” kata Cek Midi sambil menghisap rokoknya perlahan.
Matanya sesekali berkeliaran di sekitar kedai kopi. Cangkir kopi hitamnya kosong. Pertemuannya dengan Rappler hampir larut malam. Dia berkendara pulang melalui keheningan.
Keesokan harinya, Rabu 18 Oktober 2017, Rappler mengunjungi warung makan khas Aceh Besar di pinggiran Kota Banda Aceh, Aceh. Di sana mereka menyajikan saus Beulangong. Cek Midi mengatakan, dulu masakan Kuah Beulangong sering ditaburi sedikit biji ganja.
Toko masih sepi. Tiga orang terlihat keluar masuk toko. Di teras depan, seorang lelaki sedang mengaduk panci dengan api yang masih menyala. Masakan itu adalah sambal beulangong.
Masakan khas Aceh yang unik dimasak oleh chef laki-laki. Terbuat dari daging sapi atau kambing dengan campuran rempah-rempah. Sehingga menciptakan cita rasa yang khas.
Kuah beulangong sering dihidangkan pada saat hajatan, acara kebudayaan dan lain-lain. Dibuat dengan bumbu khas Aceh seperti campli kleng (cabai kering), u neu lheu (kelapa gongseng), kayu mameh (kayu manis) dan rempah-rempah lainnya.
Nah, untuk melunakkan daging sapi atau kambing, dulu ganja sering digunakan.
“Saya tidak menggunakan ganja. Dulu hampir semua masakan Aceh yang ada dagingnya pasti dibubuhi ganja,” kata Basri kepada sang juru masak sambil terus mengaduk Beulangong Kuah yang hampir matang.
Kini, kata Basri, ada bumbu lain yang juga bisa melunakkan daging. Namun jika ditaburi ganja, rasanya malah lebih nikmat.
“Saya sudah lama memasak sop Beulangong, saya sudah menaburkan ganja di atasnya dan rasanya pasti berbeda, dagingnya empuk merata,” ujarnya sambil tersenyum. Ia telah membuka stand makanan tersebut selama delapan tahun dan tidak pernah menggunakan ganja dalam masakannya.
Secara terpisah, Rappler bertemu Dawn. Pemuda berusia 23 tahun ini menghisap ganja saat masih duduk di bangku SMA. Namun kini dia sudah berhenti mengonsumsi ganja. “Saya nyaman hanya merokok,” ujarnya.
Ganja yang dulunya merupakan bumbu dan obat kini menjadi tabu untuk digunakan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Aceh merupakan lahan paling subur bagi tanaman hijau ini. —Rappler.com