Benarkah media cetak sudah hadir?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia— Tulis Ini waktu kita oleh jurnalis Kompas Bre Redana dibuka dengan ilustrasi penderitaan jurnalis media cetak di tengah pesatnya perkembangan media online di tanah air.
“Kami adalah jurnalis media cetak, ibarat penumpang kapal yang mendekati akhir hayat,” dia berkata.
Artikel tersebut kemudian menjelaskan alasan mengapa media cetak lebih ‘tertinggal’ dibandingkan media online. Salah satunya adalah pengiklan mengalihkan investasi mereka ke media online.
Padahal, kata Bre yang membandingkan karya jurnalis media online dan cetak, belum tentu yang memberitakan lebih dulu adalah yang terbaik. Tak jarang ada jurnalis yang sekedar menyalin jumpa pers menjadi orang pertama yang menginformasikan kepada pembaca.
Bre juga mengkritisi perilaku jurnalisme yang semakin bergantung pada internet. “Internet menyediakan semua data, namun tidak pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan wawancara,” katanya.
Artikel Bre mengacu pada media cetak tanah air yang akan menutup pintunya dalam waktu dekat. Pertengahan Desember, koran Jakarta Globe tertutup Dan akhir Desember menyusul sinar Harapan selamat tinggal selamanya kepada para pembacanya. sinar Harapan diumumkan kapan edisi terakhir akan diterbitkan beberapa waktu sebelumnya.
Benarkah nasib media cetak sama suramnya dengan gambaran jurnalis cetak, dan kualitas pemberitaan media saat ini semakin memburuk?
Benarkah penurunan investasi periklanan?
Pengamat media Ignatius Haryanto mengatakan, ada keterkaitan antara pesatnya pertumbuhan media online dengan menurunnya investasi pengiklan di media cetak.
Penurunan investasi ini sebenarnya terjadi di semua media karena kondisi perekonomian yang kurang baik.
Namun dari data yang diperolehnya, pendapatan iklan di media cetak pada tahun 2014 masih lebih tinggi dibandingkan media online, yakni sekitar Rp 10 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan media online yang hanya mampu meraup total Rp 700-800 miliar pada tahun yang sama.
Dilihat dari pendapatan iklan, media cetak masih unggul jauh dibandingkan media online. “Di sinilah letak dilemanya, media telah beralih ke online, pembaca telah beralih ke online tetapi uang saat ini tidak dapat menggantikan pendapatan dari media cetak. “Ini membingungkan banyak awak media,” katanya.
Satu-satunya hal yang dapat membuat bisnis surat kabar terhenti adalah kondisi ekonomi global dan perubahan yang dilakukan di setiap redaksi.
“Saya pikir surat kabar akan dipilih berdasarkan mana yang akan bertahan atau mana yang sehat dari segi bisnis dan mana yang akan bertahan. Pilihan pasar inilah yang terjadi sekarang. “Media yang tidak cukup kuat untuk bertahan akan tergusur,” katanya.
“Lalu masalahnya adalah bagaimana media cetak yang masih bertahan bisa berinovasi untuk memperpanjang umurnya?” katanya lagi.
Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Koran Tempo, membenarkan bahwa pendapatan media cetak lebih tinggi dibandingkan media online. Grup Tempo mengelola majalah tersebut Laju, Koran Tempo, Tempo.coDan waktu TV.
Namun, Daru mencatat pendapatan media cetak dari iklan terus menurun sebesar 15 persen setiap tahunnya. Sementara pendapatan iklan dari media online meningkat 10 persen setiap tahunnya.
“Itulah yang menyebabkannya menurunnya pendapatan bisnis media,” katanya kepada Rappler.
Kualitas media online bisa disamakan dengan media cetak
Ignatius termasuk salah satu yang tidak setuju dengan pandangan bahwa media cetak adalah satu-satunya sumber bacaan yang berkualitas. Dalam perkembangan media saat ini, beberapa artikel di media online juga dinilai memenuhi kriteria surat kabar.
Menurut Ignatius, saat media sedang meliput kerusuhan di Tolikara, Papua, salah satunya media daring CNN memberikan cakupan yang komprehensif.
Liputan ini membuktikan bahwa permasalahan jurnalisme bukan pada platformnya. “Ini bukan tentang surat kabar vs media online. “Media online dengan demikian bisa berfungsi sama mencerahkannya dengan media cetak,” ujarnya.
Ignatius mencontohkan media online lain di luar negeri, Untuk Negara yang memenangkan Penghargaan Pulitzer untuk jurnalisme kelas dunia beberapa tahun lalu.
Namun ada juga kesalahan yang dilakukan media online, kata Ignatius Republika Daring ketika akun Twitter para pemimpin ISIS, Irak dan Suriah salah diberi nama.
“Jadi bukan soal medianya apa. Tapi apakah manajemen media mau menghasilkan karya jurnalistik yang bagus, menantang, eksklusif atau tidak, ujarnya.
Daru Priyambodo membenarkan pendapat Ignatius. “Apa yang disampaikan Bre juga salah, dia berasumsi kualitas jurnalisme media cetak jauh lebih baik dibandingkan jurnalisme media online. “Sepertinya media online dikutuk,” katanya.
Artinya, pendapat ini seolah-olah menganggap bahwa semua jurnalisme media cetak berkualitas baik, dan semua karya di media online jauh dari kata berkualitas baik.
Diakui Daru, seperti halnya di media cetak, terdapat tradisi yang sudah berlangsung lama seperti menutupi kedua sisi dan verifikasi.
Tapi model verifikasi dan menutupi kedua sisi Saat ini juga digunakan oleh media online seperti katadata.co.id.
“Katadata bisa menjadi referensi yang bagus. Kami bahkan mencoba berkolaborasi melalui penelitian mereka Koran Tempo,” dia berkata.
“Selama verifikasi dilakukan dengan benar, maka akan dihasilkan tulisan yang berkualitas,” ujarnya. Daru menambahkan, soal verifikasi, tidak semua media cetak menerapkannya, seperti lampu merah.
“Jadi cetak atau online itu tidak penting. Yang terpenting adalah prosedur verifikasi tetap terjaga. Itu yang terpenting,” katanya.
Netizen: Media online lebih praktis untuk dibaca
Lebih lanjut Ignatius mengatakan, budaya membaca masyarakat saat ini memang sedang mengalami perubahan dan beberapa media lamban dalam mengantisipasi hal tersebut.
Tak hanya Ignatius, Rappler pun menanyakan hal tersebut kepada netizen. Mereka menyadari bahwa pemilihan media online adalah soal kepraktisan.
Tweeps, kira-kira apa alasan kenapa koran tutup? Tolong bantu RT artikel saya @arman_dhani @savikali @DamarJuniarto 😀
— Febriana Firdaus (@febrofirdaus) 2 Januari 2016
Teknologi itu mudah, tapi jurnalisme itu sulit
Nezar Patria, anggota Dewan Pers menambahkan pernyataan Ignatius dan Daru Priyambodo.
“Media digital seringkali digugat dan dipandang identik dengan bentuk ‘iman’ jurnalisme yang dangkal, mungkin setingkat di bawah kemurtadan. Katakanlah ada media digital seperti itu, seperti ada media cetak yang memilih gaya stensil dan menyebarkan informasi dengan murah. Itu adalah sebuah pilihan dengan beban setiap dosa,” katanya kepada Rappler.
Tapi, sebelum kita melangkah terlalu jauh dengan saling menyalahkan platform internet sebagai pelakunya, tidak apa-apa untuk tetap mempercayai hal itu, “Teknologi itu mudah, tapi jurnalisme itu sulit“.
“Jurnalisme adalah ilmu dan seni. Dia juga sejenis roh. “Tidak boleh mati hanya karena bentuk medianya berubah,” kata Nezar.—Rappler.com
BACA JUGA