Benarkah penutupan saluran menjadi solusi pengurangan kebakaran lahan gambut?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Presiden Joko “Jokowi” Widodo baru saja meresmikan sekat kanal untuk kawasan bencana seluas 350 hektar di Desa Tumbang Nusa, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Sabtu, 31 Oktober.
Sabtu sore itu, Jokowi mengajak media berjalan menyusuri saluran irigasi baru. Ia mengikuti papan kayu sejauh lebih dari satu kilometer, yang membawanya dan kelompoknya ke sebuah waduk (kolam).
Selama kurang lebih 30 menit, Jokowi didampingi Luhut Panjaitan, Menteri Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani meninjau ujung kanal yang dipimpin oleh Direktur Insinyur Angkatan Darat. Brigjen TNI Irwan.
Usai memantau pembangunan kanal, Jokowi memberikan penjelasan kepada media.
“Kami datang ke sini sebulan yang lalu ketika lahan gambut terbakar. Sebelumnya tidak ada air. Itu sebabnya lahan gambut mudah terbakar, kata Jokowi.
Kini, kata dia, air di kanal-kanal itu mengalir hingga ke Sungai Kahayan di pinggir Desa Tumbang Nusa.
“Kalau ada air seperti itu, airnya akan meresap ke rumput dari kedua sisi. “Inilah yang menyebabkan lahan gambut tidak terbakar,” ujarnya meyakinkan.
Ia juga mengungkapkan akan memperluas area saluran air limbah di seluruh tempat rawan kebakaran. “Semua provinsi rawan kebakaran, terutama yang berada di lahan gambut,” ujarnya.
Namun apakah blok-blok tersebut benar-benar efektif dalam mengurangi kebakaran lahan gambut?
14.15 Presiden Jokowi meninjau saluran di Desa Tumbang Nusa bersama para menteri @RapplerID pic.twitter.com/woV26FbvLR
— Febriana Firdaus (@febrofirdaus) 31 Oktober 2015
Tentu saja pertanyaan ini tidak bisa dijawab dalam sehari. Namun Direktur Operasi PT Rimba Utama, Rezal Kusumaatmadja, yang bekerja di bidang restorasi lahan gambut di Katingan, Kalimantan Tengah, tidak sepenuhnya setuju dengan rencana presiden tersebut.
“Kanal tersebut mengering. Faktanya, kanal bisa mengeringkan lahan gambut. “Kalau kering, risiko terbakar sangat tinggi, karena air akan masuk ke saluran,” kata Rezal.
Menurut Rezal, Seharusnya pemerintah menjelaskan sistem kanalisasi yang dimaksud, apakah kanal baru harus dibangun atau kanal lama dihidupkan kembali?
“Kalau yang dimaksud dengan embung (bendungan penyimpan air) masuk akal. Andai saja salurannya mengering. Makanya saluran itu harus ditutup, kata Rezal.
Menurut Rezal, prinsip pertama yang harus diterapkan pemerintah dalam program kanalisasi ini adalah pengendapan air pada satu tempat seperti kolam penampungan air, bukan kanalisasi yang mengalir.
Prinsip (kedua) rumput tidak bisa dikeringkan, ujarnya.
Prinsip ketiga yang harus diperhatikan adalah program saluranisasi tidak boleh membangun saluran-saluran baru, melainkan memanfaatkan saluran-saluran yang sudah ada.
“Sederhana saja, tujuannya membasahi rumput, dan tidak mungkin salurannya basah,” ujarnya.
‘Pemblokiran saluran dapat diandalkan’
Direktur Jenderal Pengendalian dan Pencemaran Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Karliansyah kata Jokowi bercerita, yang dimaksudnya bukan sekadar kanal, melainkan sekat kanal.
“Saya dengar langsung dari beliau, untuk menghidupkan kembali saluran yang ada dan membuat pembatas saluran agar ada bendungan air dan lahan basah,” ujarnya.
Karliansyah mengatakan, sebelumnya lahan gambut di lokasi bencana kering.
Maksudnya, kalau ada genangan air, harapannya bara api padam dan asapnya bisa teratasi. Pemblokiran “Kanal bisa menampung air,” ujarnya.
Karliansyah juga mengatakan, pemerintah tidak membangun saluran baru melainkan menghidupkan kembali saluran yang sudah ada dengan memblokirnya.
“Ini bagian dari upaya rehabilitasi lahan untuk memulihkan air di lahan gambut. Prinsipnya harus basah, ujarnya.
“Pemblokiran Saluran merupakan suatu teknik untuk menahan air. “Salah satunya dengan membangun waduk,” ujarnya.
Demikian skema pembangunan sekat kanal di Desa Tumbang Nusa dengan luas 350-1.400 Ha. Sekarang masih 350 Ha @RapplerID pic.twitter.com/zHGyiAh7Rd
— Febriana Firdaus (@febrofirdaus) 31 Oktober 2015
Tidak pernah gagal
Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Bambang Triatmodjo memiliki catatan akademis tentang penyaluran.
Bambang mencontohkan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dibangun di Kalimantan Tengah pada 1995-1998.
Pembukaan lahan gambut yang diharapkan menjadi persawahan dan meningkatkan perekonomian masyarakat justru berujung pada bencana, kata Bambang dalam opininya yang dipublikasikan. Republik.
“Pembukaan lahan melalui penggundulan hutan dan pembongkaran gambut tebal telah menyebabkan ribuan hektar hutan rusak.
“Pembangunan kanal sepanjang ratusan kilometer di lokasi PLG membuat lahan gambut kehilangan kemampuannya menahan air di musim hujan sehingga mempercepat kekeringan di musim kemarau dan membuat lahan gambut mudah terbakar,” tulis Bambang.
“Setiap tahun terjadi kebakaran hutan di kawasan ini. Pada musim hujan, air hujan langsung mengalir banjir dan mengikis tanah yang tidak lagi ditumbuhi tanaman. “Sedimen yang terbawa banjir menyebabkan pendangkalan sungai sehingga mengganggu pelayaran saat musim kemarau.”
Menurut dia, penutupan kanal tersebut bertujuan untuk membasahi lahan gambut. Dia bertanya apakah Pembuatan saluran yang diblokir adalah pembuatan saluran baru atau pemblokiran pada saluran lama yang sudah ada.
“Kalau dibuat kanal baru, timbul pertanyaan, dari mana air untuk mengairi lahan gambut?”
“Jika hal ini dimaksudkan untuk membuat penyekatan pada saluran yang sudah ada sehingga air tanah tersumbat dan permukaan air di saluran meningkat, mungkin ada benarnya. Namun hal ini masih diragukan karena pada musim kemarau panjang permukaan air tanah turun akibat adanya saluran drainase. dia berkata.
Mungkinkah keputusan presiden untuk menghidupkan kembali saluran tersebut bukanlah pilihan yang tepat?—Rappler.com
BACA JUGA: