• April 18, 2025
Bentrok eksekusi tanah Desa Bugis di Bali menyebabkan warga terluka

Bentrok eksekusi tanah Desa Bugis di Bali menyebabkan warga terluka

DENPASAR, Indonesia — Ratusan warga Desa Bugis, Pulau Serangan, Denpasar, Bali menangis tersedu-sedu saat panitera Pengadilan Negeri Denpasar hendak mengeksekusi tanahnya pada Selasa, 3 Januari 2017.

Selepas subuh, warga mulai memenuhi jalanan. Perahu juga terlihat ditempatkan di jalan untuk menghentikan polisi.

Proses eksekusi berlangsung alot, warga bahu membahu mempertahankan rumahnya. Sejak pukul 07.00 warga WITA termasuk anak-anak berkumpul menyanyikan sholawat diiringi tangis duka. Mereka didampingi oleh Raja Pemecutan Anak Agung Ngurah Manik Parasara yang bergelar Ida Cokorda Pemecutan XI.

Warga Desa Bugis di Serangan mengaku sudah menempati lahan mereka selama ratusan tahun. Tanah yang dihuni warga Kampung Bugis merupakan tanah pemberian Kerajaan Badung yang kekuasaannya dipegang oleh Puri Pemecutan.

Eksekusi lahan bermula saat warga Desa Bugis, Maisarah, mengklaim lahan seluas 94 hektare sebagai miliknya dengan bukti sertifikat tanah tahun 1992.

Warga Desa Bugis kemudian melakukan perlawanan melalui jalur hukum hingga ke Mahkamah Konstitusi (MA). Pada tanggal 27 Februari 2014, terjadi upaya eksekusi tanah tersebut. Namun, untuk menghindari bentrokan antara warga dan aparat, eksekusi tersebut gagal.

Pada 28 Mei 2014, warga berupaya mengajukan Judicial Review (JRC). PK tersebut didasarkan pada ditemukannya bukti baru dari warga, adanya kesalahan sasaran objek tanah di dua lokasi berbeda.

Pengacara warga Kampung Bugis, Rizal Akbar Maya Poetra mengatakan, dalam kabar eksekusi tersebut, Putusan Kasasi MA No. 3081/pdt/201 tanggal 22 Maret 2012. Jadi, menurut dia, belum ada surat keputusan eksekusi No. 3081 Tahun 2012.

“Yang ada itu tahun 2010,” kata Rizal.

Dia menjelaskan, dalam putusan MA, batas timur adalah tanah milik Haji Mohammad Anwar dan tanah kehutanan.

“Sebelum dilakukan eksekusi, terlebih dahulu dicek tanah mana yang dimaksud,” ujarnya.

Menurut dia, jika pihak eksekutor melakukan kesalahan, maka eksekusi sebenarnya tidak layak dilakukan. Sebab, lanjutnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN)-lah yang menentukan batasnya.

Badan Pertanahan Nasional tidak terlibat, eksekusi ini tidak jelas, kata Rizal.

Kapolresta Denpasar Kompol Hadi Purnomo mengatakan, sebanyak 1.278 personel dikerahkan untuk mengawal eksekusi hari ini. Personelnya berasal dari gabungan Polresta Denpasar, Polda Bali, dan TNI. Menurut Hadi, jumlah personel tersebut diperlukan agar eksekusi bisa cepat selesai.

“Kami tidak ingin gagal seperti sebelumnya. “Tahap mediasi sudah kami lakukan, tergugat tidak mengakui eksekusinya,” ujarnya.

Hadi menjelaskan, jumlah 1.278 personel tersebut disesuaikan dengan eskalasi mengingat adanya potensi perlawanan. Ia menambahkan, eksekusi kali ini merupakan eksekusi ketiga.

“Yang pertama dan kedua pada tahun 2014 gagal. Alasannya masih dalam peninjauan karena ada kekurangan. “Kami pastikan eksekusi ini bersifat final,” ujarnya.

Petugas kepolisian mulai memantau proses eksekusi yang dimulai sekitar pukul 09.30 Wita. Suasana semakin pedih ketika ratusan warga Desa Bugis Serangan menolak dieksekusi di rumahnya. Isak tangis anak-anak semakin nyaring seiring mereka terus melantunkan doa.

Saat alat penggali berat hendak masuk, polisi berusaha mengusir warga dari jalan. Polisi terus memberikan tekanan. Pentungan terus dilakukan polisi, dan darah terlihat mengucur dari kepala beberapa warga yang dipukul polisi.

Sontak kejadian tersebut membuat anak-anak yang berada di kerumunan tersebut berteriak ketakutan dan melarikan diri. Polisi pun menembakkan gas air mata, warga tak kuasa menahan sakit dan sesak napas, akhirnya pergi.

Tangan kanan Hery Purwanto (38 tahun) tampak bengkak setelah ia menangkis tongkat polisi. Sayangnya, setelah enam kali pukulan, tongkat tersebut mengenai bagian kiri kepalanya.

“Begitu kena di kepala, langsung mengeluarkan darah,” ujarnya. Ia juga terlihat menderita sakit di bagian belakang leher yang bengkak akibat tembakan gas air mata.

“Sakit dan panas sekali sampai membuat saya tercekik dan saya langsung keluar,” kata Hery.

Seorang warga lainnya juga mengalami luka di bagian kepala. Setelah dua tongkat polisi mendarat di kepala Zaenudin (35 tahun), ia langsung mengeluarkan darah.

“Saya sendiri terpaksa keluar dari pengepungan karena banyak darah yang keluar dari kepala saya,” ujarnya.

Muhammad Nuh (51 tahun) mengatakan pengawalan polisi saat eksekusi dinilai berlebihan. Sebab menurutnya jumlah warganya hanya sekitar 150 orang.

“Apakah harus seperti ini? Mereka ribuan polisi,” katanya.

Suasana mulai agak tenang sekitar pukul 11.20 WIB seiring warga mulai menjauhi aparat kepolisian. —Rappler.com

lagu togel