Berbagai keluhan kesehatan dari warga di Rumah Oksigen
- keren989
- 0
Keluhan warga yang datang hampir sama, yakni sesak napas dan batuk
PALANGKARAYA, Kalimantan Tengah—Ruang oksigen RS Doris Sylvanus baru dibuka pada 27 Oktober lalu, namun sudah ada 300 orang yang mendaftar untuk terapi.
Menurut seorang penjaga, keluhan warga yang datang hampir sama: sesak napas dan batuk. Selain masalah kesehatan, mereka juga mengeluhkan kelangkaan masker N95.
Rappler mewawancarai penghuni ruang oksigen pada Selasa malam lalu dan Rabu pagi, 27-28 Oktober. Berikut ringkasannya:
Sabarini, 32 tahun, guru SMK
Sabarini baru saja datang dari Kereng, ia ingin terapi oksigen karena menderita sakit di bagian belakang kepala. “Kemudian napasnya menjadi pendek,” katanya. Hidungnya juga tersumbat. Setiap hari dia mengaku memakai masker. Masker yang ia gunakan beragam, mulai dari masker standar hingga tipe N95.
Namun kesibukannya mengajar di sekolah membuat ia tidak bisa menghindari asap tebal. “Saya seorang guru SMK yang mengajar Fisika. “Kita wajib tetap turun meski asap tebal, tidak ada hari libur,” ujarnya.
Ia kemudian menyampaikan harapannya kepada pemerintah. “Jika ada bantuan seperti masker, sebaiknya langsung disalurkan kepada masyarakat,” ujarnya.
Muhammad Ipandi, 56 tahun, penjaga lahan
Ipandi sesak napas saat berbicara dengan Rappler. Napasnya pendek. Dia menarik napas dalam-dalam sesekali. Lalu hembuskan lagi. Rentan.
Apa keluhannya? Batuk berdahak,” ujarnya. Sebagai penjaga lahan, dia mengaku menghabiskan waktunya di luar. Dari pagi hingga larut malam. Saat lahan terbakar, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menghirupnya.
Lalu masker apa yang dia gunakan untuk melindungi dirinya dari asap? “Saya tidak memakai masker. “Kalau maskernya dipakai, saya tidak bisa bernapas,” ujarnya. Ipandi melanjutkan, dirinya sudah tinggal di Palangkaraya sejak lahir. Namun baru kali ini saya merasakan ada yang berbeda dengan bencana rokok.
“Sepertinya ada kebakaran di dalam rumah. Asapnya tebal,” ujarnya. Ia lantas mengaku heran mengapa pemerintah lambat memberikan bantuan. “Mereka bilang itu tanggung jawab BNPB, tapi kenyataannya tidak ada. “BPJS tidak bisa digunakan,” ujarnya.
Pria yang tinggal di kontrakan berukuran 3×4 meter ini mengaku hanya bisa pasrah.
Barly, berusia 65 tahun, pensiun dari dinas transportasi
Ia mengaku hanya mengikuti saran putranya untuk datang ke rumah oksigen. “Saya ingin lebih sehat meski tidak ada keluhan,” ujarnya.
Namun ia mengaku cemas setiap kali keluar rumah. Saat tidur pun, ia memilih memakai masker. Keputusan itu diambilnya setelah istri dan anak-anaknya jatuh sakit akibat terpapar asap.
Lalu dia menyebut bencana asap tahun ini adalah yang terparah. Namun pemerintah tidak serius dalam mencegahnya. “Perbaiki segera. “Bagaimana kita bisa mengurangi asap ini,” ujarnya. Ide rumah oksigen baru terealisasi pada tahun ini setelah puluhan tahun dilanda bencana asap.
Kristian Primayoga, 22 tahun, pelajar
Mahasiswa Universitas Palangkaraya ini mengaku sempat sakit kepala. Dia terkena oksigen di rumahnya saat Rappler bertemu dengannya. Sejak dua minggu lalu, dia tidak bisa tidur nyenyak karena harus menahan sakit kepala. Ini adalah pertama kalinya dia akhirnya meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit.
Setiap hari dia mengaku memakai masker. Dari model biasa hingga yang terbaru, N95. “Tapi masker N95 saya rusak. “Saya mau beli lagi, tapi harganya Rp 20.000,” ujarnya. Dan dia mengaku belum mengetahui adanya pembagian masker N95. Belum ada informasi dari pemerintah daerah setempat.
Ia menduga distribusi masker tidak merata. “Hanya di bundaran besar, tapi tidak sampai pinggirnya,” ujarnya. Terengah-engah, dia menyampaikan harapannya. “Pemerintah tolong distribusikan masker ke rumah-rumah, pemerintah harus aktif mendistribusikan masker ke rumah-rumah,” ujarnya.
Ayu, 20 tahun, pelajar
Saat Rappler bertemu dengannya, kondisi Ayu sudah membaik. Dia baru saja menjalani terapi oksigen selama 1,5 jam. Sebelumnya ia merasa pusing, sesak napas. Hal ini sudah berlangsung selama dua bulan.
“Saya baru sempat datang ke sini,” katanya. Gadis asal Kasongan, 4 jam dari Palangkaraya ini, sudah beberapa bulan kesulitan bernapas karena asap tebal menyelimuti kotanya.
Untungnya, ada pemberitaan di media sosial yang memberitakan tentang oksigen gratis di rumah. Dia berhenti.
Namun keluarganya di Kasongan tidak seberuntung dirinya. “Ibu, ayah, dan adikku juga sesak napas. “Tetapi mereka tidak tahu bahwa rumah oksigen ini ada,” katanya. Ia berharap ke depan ada sosialisasi agar warga di pinggiran seperti di desanya juga ikut menikmati. —Rappler.com
BACA JUGA: