Berbagai kritik terhadap keputusan Ahok
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Keputusan hakim tersebut menyoroti kuatnya mobokrasi selama persidangan.
JAKARTA, Indonesia – Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memvonis Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama 2 tahun penjara dan penahanan menuai banyak kritik. Keputusan ini rupanya muncul dari tekanan massa yang sangat besar sejak kasus dugaan penodaan agama bermula akhir tahun lalu.
Hendardi, Direktur Eksekutif SETARA Institute, mengatakan keputusan ini luar biasa. Karena hakim memutus lebih jauh dari tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum), ujarnya dalam siaran pers, Selasa, 9 Mei 2017.
Vonis terhadap Ahok merupakan kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Pasal 156 a KUHP yang didakwakan Majelis Hakim terhadap Ahok banyak menuai kritik karena multitafsir dan kerap disalahgunakan.
Hendardi menilai putusan tersebut tidak biasa karena lemahnya bukti-bukti sepanjang masa persidangan. Padahal, dalam tuntutannya, JPU mengaku tidak bisa membuktikan penodaan agama sehingga menggunakan pasal alternatif 156 tentang penodaan agama golongan.
Fakta tersebut seharusnya bisa meyakinkan hakim untuk membebaskan Ahok, atau setidaknya menjatuhkan hukuman yang tidak melebihi tuntutan jaksa. Namun majelis hakim malah membuat pertimbangan sendiri dalam memenuhi unsur Pasal 156 a KUHP.
Hendardi juga mengatakan ada standar ganda dalam isi keputusan tersebut. “Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban masyarakat akibat perkataan Basuki; Namun di sisi lain, hakim ahistoris mengenai peristiwa di balik pernyataan Basuki dan pemberitaan kelompok masyarakat, ujarnya.
Dia merujuk pada Pilkada DKI Jakarta yang sarat dengan politisasi identitas dan peristiwa hukum untuk dijadikan sarana penaklukan yang efektif untuk memenangkan suatu kontestasi. Ketimpangan perlakuan terhadap aspek non hukum inilah yang membuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara menekankan adanya mobokrasi atau peradilan yang dilakukan secara massal.
Sejak kasus Ahok mencuat, berbagai aksi yang melibatkan ribuan peserta kerap terjadi. Tuntutannya tak lain hanya meminta Ahok dijebloskan ke penjara, bahkan jauh sebelum ada keputusan pengadilan. Kerumunan dipandang sebagai sumber legitimasi atas tindakan aparat penegak hukum.
“Majelis hakim memilih jalan yang absurd dengan mengutamakan hidup berdampingan secara sosial dibandingkan memberikan keadilan kepada warga negara seperti Basuki,” kata Hendardi.
Faktanya, uji coba massal mungkin tidak sejalan dengan hal tersebut aturan hukum dan membahayakan demokrasi dan supremasi hukum kita, karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Konstitusi menjadi kedaulatan rakyat.
Hal ini dibuktikan dengan diterapkannya proses peringatan dan proses non-yudisial dalam penegakan Pasal 156a UU No. 1/PNPS/1965 ibarat peringatan sebelum ada yang dituntut.
Tekanan massa juga membuat hakim tidak percaya diri memahami dasar-dasarnya “in dubio pro reo” yang mengarahkan mereka untuk membuat keputusan yang paling menguntungkan bagi terdakwa ketika ada keraguan. “Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah,” ujarnya.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga terus mengkritisi keberadaan Pasal Penodaan Agama dalam peraturan hukum Indonesia. Dalam implementasinya, pasal-pasal tersebut berkembang selama ini sehingga seringkali merugikan kepentingan kelompok minoritas.
Permasalahan ini terjadi karena rumusan pasal 156 a KUHP merupakan rumusan yang tidak dirumuskan secara ketat sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang sangat beragam dalam pelaksanaannya, kata Supriyadi Eddyono, Direktur ICJR, kepada Rappler.
Pengadilan dinilai gagal menguraikan secara tajam soal “kesengajaan menyinggung peristiwa yang terjadi di Kepulauan Seribu”. Tak hanya itu, ICJR juga menyayangkan perintah penahanan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Syarat penahanan Ahok tidak ada. Dalam kasus ini, terdakwa mengikuti dan bekerja sama sepanjang proses persidangan. Oleh karena itu, penahanan dianggap tidak diperlukan. Ahok dibawa ke Rutan Cipinang dengan mobil lapis baja usai sidang.
Meski mendapat kritik, ICJR belum berencana mengajukan uji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. “Belum ada rencana, tunggu KUHP baru,” ujarnya.
Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RCUHP) yang tengah disusun, masih dicantumkan pasal penodaan agama. ICJR menilai sebaiknya menunggu sampai disahkan, barulah permohonan peninjauan kembali diajukan. —Rappler.com