Bertemu Aung San Suu Kyi, Apa yang Dibicarakan Menlu Retno?
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Retno berharap pemerintah Myanmar dapat menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan perlindungan kepada seluruh warga yang tinggal di Rakhine State, termasuk etnis minoritas Muslim.
JAKARTA, Indonesia – Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu dengan timpalannya Menteri Luar Negeri Aung San Suu Kyi di kota Naypyidaw, Myanmar pada Selasa, 6 Desember. Pertemuan kedua membahas perkembangan situasi di Rakhine State yang melibatkan warga etnis Rohingya.
Masyarakat menilai oknum militer Myanmar kembali menindas warga Rohingya yang notabene merupakan minoritas di negara tersebut. Informasi tersebut didapat dari pengakuan sejumlah warga Rohingya yang mengungsi dari Rakhine State ke Bangladesh.
Mereka mengatakan personel militer membunuh dan memperkosa warga Rohingya.
“Saya kembali menyampaikan keprihatinan Indonesia kepada Menteri Luar Negeri Aung San Suu Kyi terhadap situasi di Rakhine State,” kata Retno usai bertemu rekannya, seperti dikutip dalam keterangan tertulis Bisnis Kementerian Luar Negeri pada Rabu, 7 Desember.
Retno mengatakan, situasi yang aman dan stabil merupakan modal penting bagi pembangunan berkelanjutan di Rakhine State. Mantan Duta Besar RI untuk Belanda ini juga berharap pemerintah Myanmar terus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan perlindungan kepada seluruh warga yang tinggal di Rakhine State, termasuk etnis minoritas Muslim.
“Kunci pembangunan inklusif adalah semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama,” kata Retno.
Hak yang dimaksud menteri luar negeri perempuan pertama di Indonesia ini adalah akses terhadap pendidikan dan kewajiban. Sementara itu, seluruh warga di sana juga wajib mematuhi peraturan hukum yang diberlakukan oleh otoritas setempat.
Retno juga berharap akses bantuan kemanusiaan ke Rakhine State tetap terbuka. Termasuk bantuan dari Indonesia.
Permintaan ini rupanya mendapat respons positif dari Myanmar. Mereka telah memberikan akses bantuan kemanusiaan dari Indonesia sejak 9 Oktober.
“Pemerintah Myanmar membuka pintu bantuan kemanusiaan dari Indonesia sehingga bantuan bisa diperoleh dari Pos Kemanusiaan Peduli Masyarakat (PKPU) untuk mencapai Rakhine State,” kata Retno.
Sejauh ini Indonesia telah memberikan bantuan berupa pembangunan dua sekolah di wilayah Rakhine. Kedua sekolah tersebut juga telah selesai dibangun. Kini Indonesia membantu membangun 6 sekolah lagi di wilayah Rakhine. Selain itu, Indonesia juga berencana membangun rumah sakit di kawasan seluas sekitar 4.000 meter persegi.
Sementara itu, untuk terus meningkatkan sikap toleransi dan kerukunan antar masyarakat di Rakhine State, kedua negara sepakat untuk menyelenggarakan dialog antaragama. Dengan cara ini, Myanmar dapat mendengar langsung pengalaman Indonesia mengenai isu ini.
“Indonesia akan secara intensif membantu Myanmar dan Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan selama ini,” kata Retno.
Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang pernah melakukan dialog bilateral dengan Myanmar. Pria bermarga Tata ini mengatakan, alasan mereka memilih Indonesia sebagai mitra dialog karena menilai pemerintah konsisten menunjukkan niat dan tindakan baik untuk membantu membangun demokrasi di Myanmar.
Sikap Indonesia yang tidak mengecam tindakan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mendapat kecaman dari masyarakat Indonesia. Namun pemerintah nampaknya belum mau mengedepankan “diplomasi megafon” dalam menangani persoalan ini.
Kementerian Luar Negeri memilih melakukan pendekatan dialog, dibandingkan menyampaikan kritik. Hal ini dipandang jauh lebih efektif dibandingkan berteriak bersama dan berdemonstrasi serta menuntut Aung San Suu Kyi mengambil langkah konkrit.
Setidaknya jika melihat kebijakan yang diambil pemerintah Malaysia, Myanmar tidak bersimpati. Ketika Perdana Menteri Najib Tun Razak memilih ikut serta dalam demonstrasi bersama masyarakat dan menyerukan diakhirinya kekerasan.
“Apakah mereka ingin aku memejamkan mata? Apakah kamu ingin membungkamku?” teriak Najib pada aksi protes Minggu 4 Desember seperti dikutip Saluran Berita Asia.
Alhasil, saat Najib mengutus Menteri Luar Negeri Anifah Aman ke Myanmar untuk menemui Suu Kyi, ia menolak. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian itu hanya bersedia menerima Anifah jika tidak menyinggung soal Rakhine State. – Rappler.com